Srihadi, ”Manusia 90”
Dalam juluran panjang usianya, Srihadi mengambil 75 tahun untuk kegiatan kesenilukisannya, yang dilakoni tanpa henti. Srihadi berkali-kali menyumbangkan lukisannya yang berharga hingga miliaran untuk aktivitas sosial.
Pada 4 Desember 2021 pelukis Srihadi, atau lengkapnya, Prof Kanjeng Pangeran Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, MA, genap berusia 90 tahun. Luar biasa, dalam usia yang begitu lanjut, pelukis ini masih aktif berkomunikasi dengan sahabat-sahabatnya lewat berbagai cara. Kadang menelepon. Sering ber-Whatsapp. Kadang berjumpa-ria.
Beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 melanda, dalam usia 88 tahun, ia menggalang pertemuan dengan para sahabatnya di sebuah resto. Di situ Srihadi menyanyi dengan gembira. Beberapa minggu setelah itu, bulan Maret 2020, dalam usia 89 tahun, ia menggelar pameran tunggal dengan mengundang publik umum di Galeri Nasional Indonesia. Sebuah peristiwa yang layak dicatat oleh Muri (Museum Rekor Indonesia) sebagai pameran tunggal yang dilakukan oleh pelukis aktif tertua di Indonesia.
Seniman kelahiran Surakarta 1931 ini memang selalu bergairah meletupkan dan merealisasi ide. Ia bahkan selalu menyambut gagasan yang memerlukan napas panjang. Misalnya ide pembuatan buku baru tentang kehidupannya yang membentang itu. Padahal, buku tentang dirinya telah berderet dalam berbagai judul.
”Ada kisah-kisah incredible dictum yang belum saya ceritakan,” katanya. Ucapan, pikiran, dan ingatan Srihadi nyata masih sangat terang.
Tepat pada hari ulang tahunnya, beberapa sahabat Srihadi membuka link Zoom silaturahmi untuk berucap ulang tahun. Srihadi yang duduk di studionya di Ciumbuleuit, Bandung, tampak segar. Ia menyambut sanak saudara dan sahabatnya yang datang tanpa masker lantaran semua sudah dites antigen. Seusai meniup lilin, sebuah rahasia dikemukakan. ”Saya akan membuat sesuatu yang besar dalam ukuran saya. Sesuatu yang belum pernah saya pikirkan sejak dahulu kala,” katanya. Sambil berkata begitu, ia menunjukkan sebuah artwork berwarna putih yang menjanjikan kemegahan. ”Biarlah rahasia ini terungkap ketika semuanya sudah menjadi,” lanjutnya.
Sitti Farida, istrinya, yang master seni rupa, sering terperangah dengan semangat itu. ”Pak Sri semakin muda saja. Kesibukannya sering tak terduga,” ujarnya. Farida pun sering diminta menjadi narasambung apa yang ingin dibicarakan suaminya kepada sejumlah orang. Farida memformulasi dalam kalimat tulis dan lantas mengirimkan. Misalnya yang berkait dengan pesan, agar seniman selalu bersemangat soliter, bersendiri, sehingga kuat tegak seperti badak hitam, jadi unggul seperti macan tutul. Guyub hanya untuk pergaulan, bukan untuk dunia penciptaan.
Di lain hari, ketika melihat maraknya korupsi di Tanah Air, Srihadi geram. Ia lalu mengambil kanvas dan melukiskan wajah Pangeran Diponegoro, sosok pemimpin yang sangat antikorupsi. Pengetahuannya ihwal sikap Sang Pangeran ini ia petik dari sehelai gambar Jawa kuno. Gambar itu mengilustrasikan Diponegoro sedang menampar wajah Raden Adipati Danurejo IV dengan selop lantaran si patih memanipulasi uang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Belanda, sebelum Perang Jawa, 1825-1830. Srihadi lalu menitipkan foto lukisan itu kepada Farida untuk diviralkan kepada sahabat-sahabatnya.
Namun, Srihadi memiliki nomor gawai sendiri untuk japri (jalur pribadi). Di situ ia sigap bertanya jawab. Sejumlah emoji dan sticker lucu dan berkonteks terkirim. Begitu juga petikan berita serta foto-foto yang berhubungan dengan perkembangan kesenirupaan. Termasuk tentu konten-konten yang berkaitan dengan upaya manusia menerima usia tua dengan semangat muda.
Seniman kelahiran Surakarta 1931 ini memang selalu bergairah meletupkan dan merealisasi ide.
Satu hal yang pantang dilupa, Srihadi suka mengirimkan video musik keroncong yang melodius dan merdu sekali, di samping konten Tiktok yang jenaka dan impresif (seperti kisah singkong rebus dengan asap mengepul) untuk sekadar mengucap ”selamat berkopi pagi”. Ia kadang meng-upload lagu perjuangan, seperti nyanyian Toto Salmon serta sederet ciptaan Ismail Marzuki. Lagu-lagu yang selalu mengingatkannya kepada momentum perebutan kedaulatan di Yogyakarta 1947-1949, arena ia berdarah-darah terlibat.
Di hari tuanya, Srihadi semakin memahami, mengapa musik seperti keroncong tak kalah menggetarkan perasaannya dibanding komposisi Mozart, Tchaikovsky, Chopin, sampai Wagner. Jenis musik yang juga ia hayati selama studi seni rupa di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang ITB jurusan seni rupa). Apalagi ketika ia jadi mahasiswa pascasarjana di Ohio State University, Amerika Serikat. Ia mengaku, pergaulannya yang mendalam di perkumpulan SIM (Seniman Indonesia Muda) di Yogyakarta dan HBS (Himpunan Budaya Surakarta) dirasakan kuat menanamkan langgam keroncong itu.
Olahraga, olah rasa
Pikiran kesenian Srihadi tak berhenti mengembang sejalan dengan tubuhnya yang segar dan wajahnya yang selalu kelihatan girang. Srihadi memang sehat walafiat.
Pasalnya, ”manusia 90” ini setiap hari berolahraga di rumahnya walaupun untuk kegiatan itu ia harus menggunakan korset untuk menjaga stabilitas tulang belakang. Peralatan olahraga tertata rapi dekat studio seni lukisnya. Pada jam-jam tertentu dalam setiap hari Srihadi menggunakannya dengan teratur, sesuai arahan instruktur. Disiplin ini disertai hasratnya untuk secara berkala check up kesehatan ke dokter pribadinya. Suatu hal yang dilakukan sejak usianya terbilang 80-an. Hasilnya mencengangkan. Pada beberapa tahun lalu Srihadi sanggup push up belasan kali dengan tangan menggenggam!
”Gila, ya. Padahal yang jauh lebih muda saja sudah banyak yang berurusan dengan jantung,” kata Jean Couteau, penulis buku Srihadi Soedarsono – Man x Universe, terbitan Afterhours Book, Jakarta, 2020.
Tetapi, menurut Farida, buah kesehatannya yang mengagumkan bukanlah push up itu, melainkan lukisan-lukisan barunya yang berukuran dua sampai tiga depa. Sampai hari ini Srihadi masih saja membentangkan kanvas besar untuk disapu dengan kuas segede telapak tangan. Sebelum sekarang, pada tengah tahun 2021 Srihadi melahirkan lukisan berukuran 2 x 4 meter. Lukisan itu bertema sejarah Jakarta sejak zaman VOC, era masa kini dan ”ramalan” masa mendatang. Dalam kanvas ia menggambarkan pergesekan sejarah itu secara metamorfosis. Lukisan yang ia juduli ”Jayakarta: The Glory of The Past, Present and Future” tersebut diluncurkan lewat pameran online (karena pandemi) pada Juni 2021, kala kota Jakarta berulang tahun ke-494.
Pada bulan Oktober lalu panitia Borobudur Writers Cultural Festival (BWCF) menyampaikan pertanyaan: apakah sebagai pelukis bermedium konvensional Srihadi pernah mencipta seni instalasi? Dengan cepat Srihadi menjawab, yang kemudian disampaikan lewat Whatsapp.
Srihadi pernah membikin seni instalasi untuk Osaka Expo 70 di Pavilyun Indonesia dalam judul ”The Hanging of Janur”. Di situ ia menghiasi plafon panggung tari dengan potongan-potongan tembaga yang mencitrakan janur. Srihadi juga pernah membuat seni instalasi di ruang terbuka Jakarta Fair (kini Pekan Raya Jakarta) pada era Gubernur Ali Sadikin. Lempeng-lempeng tembaga tipis dipertemukan dengan angin. Karya itu berjudul ”Flying Sculpture dan Space Sculpture”. Karya itu, kata sejumlah ahli, tidak kalah dibanding patung kinetik seniman Amerika, Alexander Calder.
Kerja ini menegaskan bahwa ternyata Srihadi yang sangat dikenal sebagai ”pelukis konvensional” juga mencipta seni instalasi. Bahkan, pekerjaan itu dilakukan 20 tahun sebelum para perupa muda kontemporer heboh berinstalasi menjelang tahun 1990.
Rumus hidup panjang
Dalam usia 90 tahun kurang 14 hari, Srihadi (yang sudah menerima 30 penghargaan nasional dan internasional) mendapat Sang Hyang Kamahayanikan Award dari BWCF. Penghargaan tinggi itu diberikan atas upaya Srihadi dalam mendekatkan keagungan dan spiritualitas Candi Borobudur kepada publik dunia lewat lukisannya yang sangat khas. Srihadi memang sangat menjiwai Borobudur lantaran ia telah menelusuk candi itu sejak masa revolusi. Semua sisi bangunan batu tersebut disentuh dan dihayati, sampai akhirnya sang candi tidak lagi terasa sebagai wadag. ”Sejak lama sekali Borobudur saya tangkap sebagai ruh,” katanya. Itu sebabnya, ketika proyek restorasi Borodudur dikerjakan atas dukungan UNESCO pada 1973, lukisan Srihadi dipakai sebagai ilustrasi poster utama.
Dalam juluran panjang usianya, Srihadi mengambil 75 tahun untuk kegiatan kesenilukisannya, yang dilakoni tanpa henti. Sebentang konsistensi yang hanya mampu dijalani oleh I Gusti Nyoman Lempad (1865-1978) di Bali, Salim (1908-2008) di Perancis, Arie Smit (1916-2016) di Bali, AD Pirous (kelahiran 1932) di Bandung, dan Amrus Natalsya (kelahiran 1933) di Kabupaten Bogor.
Apa rumus hidup yang dipakai sehingga ia bisa panjang umur, selalu sehat, dan bisa mencipta karya tanpa sedikit pun rehat? Ini jawabannya:
Kehidupan yang ia bangun sesungguhnya bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk Sang Empunya Dunia. Baginya, tiap gerak kehidupan, termasuk kreativitas atas seni, akan bermuara kepada sikap manunggaling kawula lan Gusti. Dalam kemanunggalan itu yang dituntut sangatlah sederhana: melakoni ikhtiar, menjalankan keseimbangan.
”Jika diberi peluang, kerjakan. Kalau diberi kemampuan, tinggikan. Jika diberi prestasi, abdikan. Kalau diberi kelebihan, bagikan. Apabila dianugerahi kelimpahan, amalkan. Hidup kita akan lapang dan tenteram,” katanya.
Masyarakat Indonesia tahu, maestro ini telah berkali-kali menyumbangkan lukisannya yang berharga ratusan juta sampai miliaran itu untuk aktivitas sosial. Dari pendirian rumah rehabilitasi narkoba sampai penanggulangan Covid-19. Srihadi Soedarsono pun dengan bahagia menjejaki usia sembilan dasawarsa.
Agus Dermawan T, Kritikus. Penulis Buku Podium Sahibulhikayat