Cerita Silat, ”Imigrasi” Sastra Populer Tiongkok ke Indonesia
Karya Kho Ping Hoo umumnya terbagi jadi empat, yaitu cersil, ”novel sejarah” Jawa, novel spionase, dan novel percintaan. Tapi dari sekian jenis karya yang dihasilkan, terbanyak sekaligus membuatnya terkenal cerita silat.
Oleh
ANGGA T SANJAYA
·4 menit baca
Cerita silat (cersil) pernah menjadi bacaan yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia pada 1950-an. Pembaca cersil berbahasa Indonesia tidak terbatas pada masyarakat keturunan Tionghoa, tetapi juga digemari masyarakat pribumi.
Sebagai contoh, dalam suratnya kepada Leo Suryadinata (1985), Asmaraman Sukowati alias Kho Ping Hoo (sosok penting penulis cerita silat di Indonesia) menyebutkan, karya cersilnya setiap terbit dapat mencapai 10.000 sampai 15.000 jilid dan habis hanya dalam waktu satu bulan, hingga dalam empat atau lima tahun mengalami cetak ulang sekali.
Dalam catatan Kho Ping Hoo, hampir di seluruh pelosok daerah terdapat tempat yang menyewakan buku-buku silat. Apabila setiap satu jilid ada sekitar 25 pembaca, maka setiap edisi ada sekitar 1,6 juta pembaca.
Dalam catatan Kho Ping Hoo , hampir di seluruh pelosok daerah terdapat tempat yang menyewakan buku-buku silat.
Menemukan pasar pembaca
Pada mulanya, seperti penelusuran Suryadinata (1996) melalui ”Cerita Silat Tionghoa di Indonesia”, cersil memang hanya dibaca oleh masyarakat Tionghoa Indonesia, yang terdiri dari Tionghoa ”Peranakan” yang tak berbahasa Tionghoa dan Tionghoa ”Totok” yang masih mempertahankan bahasa Tionghoa dan dialek China.
Kedua jenis masyarakat Tionghoa ini awalnya membaca cersil terjemahan roman sejarah Tiongkok, misalnya Sanguo zhi yanyi (”Kisah Tiga Negara”), Sanhe mingzhu baojian (”Tiga Pasang Pedang Mutiara Sakti”), Sun Pang douzhi yanyi (”Pertempuran antara Sun Bin dan Pang Juan”), Xue Rengui zheng xi (”Si Jin Kwi ke Barat”), Xue Rengui zheng dong (”Sie Jin Kwi ke Timur”), dan Fan Tang Yanyi (”Pemberontakan Melawan Tang”) (Salmon, 1982).
Setelahnya, orang-orang Tionghoa Peranakan menerjemahkan cersil tersebut ke bahasa Melayu/ Indonesia, dengan ditopang oleh surat kabar berbahasa Indonesia Kiam Hiap (Jago Silat) edisi bulanan pada 1930. Semenjak itu, cersil bermunculan.
Tahun-tahun berikutnya, dua perubahan besar politik yang begitu cepat ikut mengubah arah penerbitan cersil di Indonesia. Pertama, berubahnya situasi politik Indonesia yang menjadi kekiri-kirian selurus dengan pengaruh PKI yang bertambah besar, membuat cersil dianggap Pemerintah Indonesia sebagai karya ”kontra-revolusioner”. Hal ini menyebabkan dilarangnya cersil berbahasa Indonesia dimuat di surat kabar harian. Namun, untuk penerbitan buku tetap diizinkan.
Tidak lama semenjak adanya pembatasan tersebut, fakta politik yang berubah haluan ”lagi” dengan kudeta PKI yang gagal (G30S) sehingga menyebabkan tumbangnya PKI hingga jatuhnya Soekarno, diikuti munculnya militer oleh Soeharto, semua surat kabar Tionghoa berhaluan Peking dilarang terbit.
Surat kabar bahasa Indonesia yang berhaluan kiri pun tidak luput dari larangan ini. Keberadaan cersil dalam surat kabar jumlahnya kian sedikit sehingga banyak penerjemah cersil yang beralih ke wilayah penerbitan dalam bentuk buku saku yang mereka dirikan sendiri.
Puncak penerbitan buku cersil di Indonesia
Seiring tumbuhnya penerbit oleh para penerjemah dan pengusaha kecil, maka muncul penerbit yang mulai terkenal kala itu, ”Mekar Segar”, ”Sunrise”, ”Gema”, dan ”Panca Satya”. Dari sinilah pintu penerbitan buku cersil yang sudah memiliki pasar pembaca sebelumnya mulai mengudara di Indonesia.
Cersil berbahasa Indonesia sesudah Perang Dunia II jumlahnya kian bertambah dengan karya yang paling banyak diterjemahkan adalah cersil-cersil Liang Yusheng, Jin Yong, dan Gu Long. Akhir 1950 hingga awal 1960 merupakan masa emas cersil berbahasa Indonesia.
Satu nama yang juga tersohor dan banyak diminati (seperti yang sudah disebutkan di awal) adalah Kho Ping Hoo. Selama 30 tahun, mulai tahun 1959, ia sudah menuliskan 120 karya. Seperti yang disampaikan Suryadinata, satu karya berjudul Bunga Teratai Emas merupakan sebuah terjemahan, sisanya adalah ciptaannya. Karya Kho Ping Hoo umumnya terbagi menjadi empat, yaitu cersil, ”novel sejarah” Jawa, novel spionase, dan novel percintaan. Namun, dari kesekian jenis karya yang dihasilkan, jumlah karya yang terbanyak sekaligus membuatnya terkenal adalah cersil.
Pengaruh cersil bagi masyarakat Indonesia
Ketenaran cersil, baik terjemahan maupun yang ditulis oleh keturunan Tionghoa di lingkungan masyarakat Indonesia, telah memengaruhi munculnya beberapa penulis pribumi. Beberapa yang cukup terkenal yaitu SH Mintardja, Herman Pratikno, dan Arswendo Atmowiloto.
SH Mintardja menulis cersil berlatar belakang sejarah Pulau Jawa. Karya-karyanya paling sering muncul di surat kabar harian Yogyakarta sebagai cerita bersambung, baru kemudian dikumpulkan dan diterbitkan. Salah satu yang terkenal adalah Naga Sosro dan Sabuk Inten, yang melahirkan tokoh terkenal Mahesa Jenar, sebagai mantan prajurit Kesultanan Demak yang mencari pusaka kerajaan.
Tidak berbeda dengan pendahulunya, Herman Pratikno dan Arswendo Atmowiloto juga menuliskan cersil yang berlatar sejarah Jawa. Herman Pratikno menulis kisah sejarah abad ke-18 dengan judul Bende Mataram, sedangkan Arswendo Atmowiloto menulis cersil berjudul Senopati Pamungkas yang berlatar belakang Jawa abad ke-13, sebuah kisah runtuhnya Kerajaan Daha dan munculnya Kerajaan Majapahit.
Kenyataan tersebut membuat cersil di Indonesia sekalipun sebagai bagian sastra diremehkan (Heryanto, 1988: 3-16), merupakan warisan sastra Tionghoa yang masih terus hidup hingga tahun 1965, sebelum digantikan oleh penulis pribumi dengan latar penulisan yang seutuhnya berdasarkan sejarah kerajaan Indonesia. Di poin ini, seharusnya kita sama-sama sepakat, keberadaan cersil menunjukkan adanya proses indonesianisasi khasanah kebudayaan Tionghoa bagi kebudayaan Indonesia.
Pada mulanya memang cersil sekadar sastra imigran, tetapi lambat laun posisinya tuntas sebagai bagian dari sastra nasional.
Angga T Sanjaya,Esais dan Cerpenis. Alumnus Universitas Ahmad Dahlan dan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta