NU dan Poros Indonesia
Semua pihak harus mendukung agar NU tetap berperan sebagai poros bangsa: menancap kuat, berada di tengah, dan terhubung dengan semua pihak, termasuk mereka yang menjadi “musuh negara”.
Nahdlatul Ulama akan menggelar hajatan akbar, yaitu muktamar ke-34. Sebagai forum tertinggi, muktamar NU tak hanya membahas pergantian kepemimpinan, tetapi yang paling penting justru membahas persoalan-persoalan krusial yang berdampak besar terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Namun, karena kebijakan terkait Covid-19, rencana pelaksanaan muktamar kali ini dipastikan berubah dari tanggal yang direncanakan (23-25 Desember). Apakah muktamar akan dimajukan (taqdim) atau justru akan dimundurkan (ta’khir) dari tanggal yang telah direncanakan di atas? Ini pertanyaan yang menjadi ujian bagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Disebut sebagai ujian, karena masing-masing dari mereka yang menghendaki memajukan (ashabut taqdim) dan cenderung memundurkan (ashabut ta’khir) muktamar pasti memiliki landasan yang sangat kuat, tidak hanya dari segi aturan organisasi, tetapi juga berdasarkan konstitusi atau bahkan Al Quran dan hadis.
Maklum, NU dikenal sebagai organisasi Islam yang menghimpun para alim dan ulama dan memiliki nalar hukum yang sangat kokoh, baik dalam pengertian hukum Islam (al-ahkam as-syariyyah) maupun dalam pengertian hukum positif (al-ahkam al-wadh’iyyah).
Oleh karena itu, perbedaan terkait pelaksanaan muktamar ke-34 tak perlu dilihat dari sisi landasan hukumnya, tetapi justru harus dilihat dari keberpihakannya pada kemaslahatan masyarakat banyak, mulai dari kalangan internal NU (kaum nahdliyin) hingga masyarakat secara luas. Ini mengingat pelaksanaan muktamar kali ini masih dalam situasi pandemi.
Dengan kata lain, pelaksanaan muktamar kali ini harus memperhatikan potensi ada/tidaknya atau besar/kecilnya penyebaran Covid-19.
Dengan kata lain, pelaksanaan muktamar kali ini harus memperhatikan potensi ada/tidaknya atau besar/kecilnya penyebaran Covid-19. Hampir bisa dipastikan, pengurus dan pembesar NU akan memilih waktu yang paling kecil risiko buruknya, khususnya terkait potensi penyebaran Covid-19. Karena begitulah khitah perjuangan NU selama ini: meletakkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Poros Indonesia
Dilihat dari peran dan kontribusinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, tak berlebihan jika NU disebut sebagai poros Indonesia. Tentu NU tak sendiri. Ada beberapa ormas lain yang selama ini turut berperan sebagai poros bagi Indonesia.
Poros adalah sesuatu yang menancap kuat, berada di tengah sekaligus terhubung dengan banyak sisi. Inilah gambaran dari peran dan kontribusi NU selama ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai poros, NU selama ini kerap berperan sebagai mediator antara pemerintah (ululamri) dan rakyat (ar-ro’iyyah), khususnya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kehidupan orang banyak. Dengan demikian, tidak terjadi ketegangan antara pemerintah dan rakyat, terlebih lagi sampai menimbulkan aksi-aksi kekerasan yang merugikan masyarakat luas—walaupun sebagian tokoh NU belakangan lebih cenderung kepada pihak ululamri.
Baca juga : Buka Ruang Kontestasi di Muktamar Ke-34 NU
Pun demikian, sebagai poros, NU selama ini kerap berperan sebagai mediator antara umaro’ (pemerintah) dan ulama. Hingga terjadi keharmonisan di antara dua pihak yang sama-sama penting dalam kehidupan masyarakat, walaupun belakangan sebagian tokoh NU lebih cenderung kepada pihak pemerintah.
Bahkan, dalam kapasitasnya sebagai poros, NU selama ini juga kerap berperan sebagai mediator antara mereka yang menghendaki Indonesia menjadi negara sekuler dan mereka yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam.
Sejarah BPUPKI dan pembuangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (yang mendapat penolakan keras dari tokoh-tokoh di luar Islam) bisa dijadikan salah satu bukti terkait peran mediasi NU untuk menurunkan tensi panas di kalangan para pendiri bangsa (”Peran NU Meluruskan Isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945”, Fathoni Ahmad, nu.or.id; 22 Juni 2020).
Dalam Muqaddimah Qanun Asasi yang disampaikan di Surabaya pada tahun 1926, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari sangat menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan.
Mereka yang terpecah belah diibaratkan seperti domba-domba yang tercerai-berai di padang pasir. Risalah ini memperlihatkan dengan jelas fungsi poros dan peran mediasi yang dilakukan NU sejak zaman prakemerdekaan.
Melalui posisinya sebagai poros Indonesia dan fungsinya sebagai mediator yang mendekatkan pandangan mereka yang bertentangan, NU selama ini berhasil menjaga keutuhan NKRI. Walaupun ada konflik yang mengemuka dalam perjalanan Indonesia, hal itu tidak terus berkelanjutan memecah belah dan menghancurkan kehidupan generasi selanjutnya.
Poros seperti inilah yang tak dimiliki banyak negara di Timur Tengah dan dunia Islam, khususnya negara-negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Islam. Akibatnya kerap terjadi konflik yang bersifat diametral antara satu pihak dan pihak lain, kerap terjadi konflik terbuka antarelemen bangsa, bahkan konfrontasi langsung antara masyarakat dan unsur negara.
Mereka yang terpecah belah diibaratkan seperti domba-domba yang tercerai-berai di padang pasir.
Konflik berkepanjangan yang saat ini melanda negara-negara di Timur Tengah bisa dijadikan contoh dari sebuah negeri yang tak memiliki poros kebangsaan sebagaimana diperankan NU dalam konteks Indonesia selama ini.
Penyeimbang
Oleh karena itu, semua pihak harus mendukung agar NU tetap berperan sebagai poros bangsa: menancap kuat, berada di tengah, dan terhubung dengan semua pihak, termasuk mereka yang menjadi ”musuh negara”. Hingga segala perbedaan yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap terkelola dengan baik dan persatuan Indonesia tetap terjaga.
NU tak cukup hanya berpegangan pada prinsip-prinsip seperti tawazun (keseimbangan), i’tidal (tegak lurus), dan tawassut (moderat). NU harus menjadi pelaku aktif dari nilai-nilai di atas, menjadi penyeimbang dan wasit yang terus mengikuti setiap pergerakan yang ada sembari menegur yang perlu ditegur atau merangkul yang perlu dirangkul.
Dalam beberapa waktu terakhir, sikap oknum tertentu seakan menegaskan bahwa NU tak lagi berperan sebagai penyeimbang, tetapi bersikap laiknya pemerintah atau bahkan aparat. Hingga NU tidak bisa menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah ataupun negara sekalipun.
Adalah benar bahwa NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sudah final. Namun, hal ini tak boleh menjadi alasan untuk memutuskan ari-ari kebangsaan mereka yang ”belum menerima” NKRI.
Justru prinsip-prinsip dasar kenegaraan yang bersifat final seperti di atas harus dijadikan sebagai modal berharga untuk menghimpun dan menyatukan mereka yang belum menerimanya. Disebut sebagai modal karena prinsip-prinsip kenegaraan tersebut bisa dijadikan bahan pembahasan bersama untuk mendekatkan perbedaan pandangan yang ada.
Kondisi ini tentu jauh lebih mudah dan ringan, khususnya jika dibandingkan dengan era para pendiri bangsa atau prakemerdekaan. Pada zaman prakemerdekaan, semuanya masih menjadi pembahasan terbuka dan bahan-bahan tersiar.
Semua ini tentu membutuhkan kerja keras dari semua pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga ormas keagamaan seperti NU. Pemerintah harus membuka semua opsi untuk kebaikan yang lebih besar, aparat harus fokus pada bahaya keamanan dengan penegakan hukum, sementara NU sebagai salah satu poros Indonesia bisa berkomunikasi dengan semua pihak untuk semakin mendekatkan dan mempersempit ruang perbedaan yang ada.
Inilah semangat ”meng-Indonesia” yang diwariskan oleh para pendiri bangsa dalam menghadapi segala perbedaan dan silang pendapat.
Baca juga : Kembali ke Khittah 1926, NU Diharap Fokus dalam Politik Kebangsaan
Muktamar NU kali ini sejatinya digunakan untuk menguatkan kembali peran NU sebagai salah satu poros Indonesia. Hal ini sangat mendesak mengingat sikap pemerintah belakangan ini sangat tegas (bahkan cenderung keras) terhadap mereka yang belum menerima NKRI.
Sebaliknya, kelompok-kelompok yang belum menerima NKRI juga tak pernah berhenti, bahkan semakin keras, dalam melawan pemerintah walau mungkin tak selalu terlihat secara kasatmata.
Apa yang terjadi dengan Jamaah Islamiyah (JI) dalam beberapa waktu terakhir bisa dijadikan salah satu contoh perlawanan tak pernah berhenti dari kelompok yang anti terhadap NKRI. Alih-alih selesai setelah penegakan hukum dilakukan terhadap orang-orang JI ataupun organisasinya, belakangan JI justru berjuang ”di atas tanah” (bukan di bawah tanah) laiknya ormas-ormas keagamaan pada umumnya.
Bahkan beberapa sayap usahanya memiliki badan hukum seperti dalam penggalangan dana melalui kotak amal (”Kelompok Teror yang Kian Dekat ke Masyarakat”, Kompas.id, 11/11/2021).
Tanpa adanya mediasi, sangat mungkin ketegangan yang ada terus meningkat dan mengancam persatuan. Padahal, meminjam logika hukum Islam yang dipedomani di kalangan NU, menjaga persatuan Indonesia merupakan sebuah kewajiban kebangsaan. Maka, menjalankan fungsi mediasi pun merupakan sebuah kewajiban.
Sebab, persatuan Indonesia tak pernah dan tak akan terwujud tanpa peran-peran mediasi, khususnya dari ormas keagamaan yang berperan sebagai poros Indonesia seperti NU. Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun (sesuatu yang menjadi penyempurna kewajiban juga merupakan sebuah kewajiban).
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Terorisme dan Dunia Islam