MUI dalam Kemelut Masa Lalu
Dalam hal mengantisipasi masuknya oknum dengan paham yang tidak sejalan dengan cita-cita UUD 1945 dan ideologi Pancasila, standardisasi keanggotaan MUI terlebih dahulu perlu ditetapkan.
Penangkapan anggota Majelis Ulama Indonesia Pusat, AZN, oleh Densus 88, meninggalkan jejak ”buruk” di tubuh lembaga tersebut.
Pasalnya, Ahmad Zain An Najah (AZN), yang tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, diduga berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI). Seiring dengan itu, Ketua MUI Muhammad Cholil Nafis menyampaikan pernyataan bersayap, bahwa yang menimpa salah satu anggotanya adalah murni urusan pribadinya.
Di satu sisi klarifikasi Cholil menegaskan bahwa MUI adalah organisasi moderat sehingga keterlibatan AZN dengan JI tak ada kaitannya sama sekali dengan internal MUI. Di sisi lain, dengan klarifikasi itu, seolah MUI hendak ”cuci tangan” sehingga tidak ada upaya untuk mengakui keteledorannya dan meminta maaf kepada khalayak karena itu.
Setelah peristiwa ini, ada satu ”pesan” penting yang akan tetap melekat di tubuh organisasi bentukan Orde Baru ini: MUI kecolongan.
Pasca-penangkapan AZN muncul banyak kritik bahkan desakan pembubaran MUI. Kritik terhadap MUI sah-sah saja selagi itu membangun. Sebab, bagaimanapun, MUI bukan lembaga ”suci” yang antikritik, yang bisa dianggap ”sakral” kedudukannya.
Produk-produk fatwanya pun bersifat legal opinion, bukan legal standing. MUI adalah organisasi keulamaan yang secara periodik akan terus mengalami pergantian ”pemain”. Dan, dalam perjalanannya, MUI selalu berada di bawah tekanan kelompok tertentu, bahkan oleh politik kekuasaan.
Pada masa Orde Baru, MUI nyaris tak bisa berkutik di bawah pemerintahan yang sentralistik-hegemonik itu.
Jejak historis
Pada masa Orde Baru, MUI nyaris tak bisa berkutik di bawah pemerintahan yang sentralistik-hegemonik itu. Hal ini terlihat jelas dalam fatwa-fatwanya yang sebagian besar saat itu cenderung ritualistik dan normatif. Tidak ada fatwa MUI yang bertentangan—atau setidaknya sejalan belaka—dengan kebijakan politik Orde Baru.
Era Reformasi adalah momen di mana MUI mulai masuk ke wilayah politik praktis. Hal itu ditandai dengan dukungannya terhadap BJ Habibie pada Pilpres 1999, sembari memojokkan Megawati karena status jender (perempuan)-nya yang dianggapnya tidak legitimate dalam pandangan Islam. Dengan terpilihnya Habibie sebagai presiden, posisi MUI praktis menjadi sangat dekat dengan kekuasaan.
Pemandangan itu tak terlihat sama sekali pada pemerintahan Gus Dur. Ketika Presiden Gus Dur berinisiatif menjadikan MUI organisasi atau LSM biasa yang tak dapat pendanaan langsung dari pemerintah, praktis MUI jadi kelompok oposisi pemerintah. Perdebatan tentang status halal-haramnya Ajinomoto antara MUI dan pemerintah membuktikan fakta itu.
Baca juga : Ketua Umum MUI: Penangkapan Tersangka Teroris Tak Guncang MUI
Pada era Presiden SBY, MUI kembali merapat ke kekuasaan. Bahkan, pada era ini, MUI bersama kelompok-kelompok ”konservatif-radikalis” berada di belakang SBY sembari memberi dukungan politik agar ia jadi presiden. Ada semacam ”komitmen politik” SBY akan memenuhi apa saja keinginan MUI (Ahmad Suaedy, 2016).
Pada era ini pula lahir fatwa MUI tentang keharaman pluralisme (2005). Asbabunnuzul fatwa ini agaknya tak jauh dari kemunculan pemikiran-pemikiran liberal kala itu yang dianggap bisa mengganggu kemurnian akidah. Inti sari fatwa itu adalah melarang umat Islam menganut sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.
Kita boleh tak sepakat terhadap suatu paham. Namun, begitu kita melarang orang lain menganut suatu paham, sama halnya dengan kita memberangus kemerdekaan berpikir dan berpendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan amanat konstitusi. Itu sebabnya, Mun’im Sirry (2013) berpendapat bahwa fatwa ini berpotensi membuka keran-keran intoleransi dan konflik sektarian antarumat beragama.
Kebersamaan MUI dengan kelompok-kelompok konservatif-radikalis berlanjut hingga periode pertama pemerintahan Jokowi. Pada era ini MUI tampak semakin leluasa mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan syariat Islam. Ujaran kebencian dan konflik sektarian kian menyeruak mengiringi Pilkada DKI Jakarta 2017.
Aksi Bela Islam 212 dengan sentimen sektarian antara Muslim dan non-Muslim serta pribumi vs nonpribumi adalah bukti ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan gerakan ini. Harus diakui, dalam Aksi Bela Islam yang menjebloskan Basuki Tjahaja Purnama ke dalam penjara ada peran penting MUI. Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin kala itu memberi kesaksian di pengadilan bahwa Ahok menghina Islam, setelah mendapat ”tekanan” dari para demonstran.
Momentum berharga
Jadi, bahwa hari ini sebagian anggota MUI terafiliasi dengan kelompok yang berkhayal mendirikan negara Islam raksasa di Asia Tenggara, hal ini sangat dimungkinkan karena adanya ”residu” masa lalu. Terungkapnya peristiwa ini harus dijadikan momentum berharga bagi MUI untuk berbenah diri dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Dalam hal mengantisipasi masuknya oknum dengan paham yang tidak sejalan dengan cita-cita UUD 1945 dan ideologi Pancasila, standardisasi keanggotaan MUI terlebih dahulu perlu ditetapkan. Sebab, sejauh ini, proses perekrutan anggota MUI cenderung bergantung pada kedekatan personal atau afiliasi keormasan. Maka, siapa saja yang akan menduduki MUI bisa dibaca dari siapa dan dari ormas apa ketua umumnya. Sistem seperti ini tidak senapas dengan demokrasi kita.
Sejak Miftachul Akhyar terpilih sebagai Ketua Umum MUI, restrukturisasi besar-besaran terjadi.
Selain itu, rupa-rupanya sulit menangkal satu fakta bahwa MUI hari ini ”didominasi” para ulama dari kelompok yang selama ini getol menyuarakan sikap moderat: NU.
Sejak Miftachul Akhyar terpilih sebagai Ketua Umum MUI, restrukturisasi besar-besaran terjadi. Struktur kepengurusan MUI berubah. Perubahan kepengurusan ini seharusnya juga bisa mengubah wajah MUI jadi lebih segar dan berkualitas produk-produk fatwanya.
Fatwa yang berkualitas adalah fatwa yang moderat. Fatwa moderat pun perlu diperluas jangkauannya. Istilah ”moderat” tidak dipersempit hanya pada urusan kerukunan umat beragama dan pengendalian akidah, tapi sebisa mungkin juga menjangkau masalah ketimpangan sosial-ekonomi yang menimpa sebagian besar umat Islam sendiri. Ke depan, MUI harus lebih ”arif” di hadapan pemerintah dan menghadapi tekanan kelompok tertentu.
Dengan begitu, MUI tak lagi terombang-ambing di tengah ”kasak-kusuk” kekuasaan dan kepentingan politik kelompok tertentu, seperti yang sudah berlalu, dan agar MUI hari ini tak hanya menjadi tempat orang-orang yang hanya pandai fikih, tetapi bodoh ilmu kehidupan, seperti yang dikatakan Gus Dur belasan tahun lalu.
Moh Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta