Predator Pendidikan
Rupiah mengundang para predator pendidikan berebut kekuasaan demi berbagai kepentingan. Membatasi gelojoh nafsu para predator pendidikan merampok anggaran pendidikan adalah sebuah kemendesakan!
Pendidikan nasional selalu menjadi alat tarik-menarik berbagai kepentingan politik. Alasannya satu: banyak uang! Rupiah mengundang para predator pendidikan tersebut berebut kekuasaan demi berbagai kepentingan.
Membatasi gelojoh nafsu para predator pendidikan merampok anggaran pendidikan adalah sebuah kemendesakan!
Ombang-ambing dan tarik-menarik kepentingan politik telah membuat pendidikan kita stagnan sampai hari ini.
Apabila ditarik titik pusatnya, semuanya ada dalam pusaran politik ekonomi. Siapa pun pelakunya, politik ekonomi larinya ke materi, yaitu penguasaan modal dan kapital. Pendorongnya bisa ideologi politik, sosial, atau ekonomi yang mengusung kepentingan diri dan kelompok (lokal, nasional, global, sekuler, atau spiritual-keagamaan).
Akar politik
Analisis Rosser (2018) dalam dokumen Beyond access: Making Indonesia ’s education system work menyimpulkan bahwa mandeknya kualitas pendidikan di Indonesia berakar dari persoalan politik dan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa rendahnya performa pendidikan di Indonesia tidaklah sekadar karena rendahnya anggaran belanja di bidang pendidikan, defisit SDM, insentif struktural yang merusak dan buruknya tata kelola; tetapi juga berakar pada persoalan politik dan ekonomi.
”Perubahan kualitas dalam sistem pendidikan di Indonesia akan sangat tergantung dari keseimbangan kekuasaan antara koalisi yang berkepentingan dengan kebijakan pendidikan dan implementasinya,” simpulnya dalam laporan analisis tersebut.
Pendidikan nasional selalu menjadi alat tarik-menarik berbagai kepentingan politik.
Analisis Rosser pada 2018 sampai sekarang masih relevan. Bahkan, ia melihat belum ada perubahan berarti dalam politik pendidikan di Indonesia kekinian. Kondisi yang sama ia paparkan dalam Konferensi Tahunan RISE di Universitas Oxford, September lalu. Rosser, King, dan Widoyoko (2021) menyatakan bahwa krisis pemelajaran (learning crisis) yang terjadi di Indonesia sebenarnya merupakan cerminan dari dominasi politik selama masa Orde Baru dan Pasca-Orde Baru (era Reformasi).
Pada kurun waktu ini muncullah apa yang disebutnya sebagai elite predator dari kalangan politisi, birokrasi, dan korporasi yang menunggangi sistem pendidikan untuk mengakumulasi sumber-sumber kekayaan, mendistribusikan patronase-patronase atau raja-raja kecil, memobilisasi sumber daya pendidikan demi kepentingan politik, dan melakukan kontrol politik daripada berfokus pada penciptaan tenaga kerja terampil yang mampu mempertanyakan banyak hal secara kritis.
Apabila kita petakan siapa elite predator pendidikan ini sejak Orde Baru sampai sekarang, sebenarnya para pelakunya sama saja, tidak berubah, yaitu elite birokrat (pejabat, aparatur sipil negara, kepala daerah), elite politik (afiliasi organisasi massa), dan elite korporasi.
Di era Orde baru, elite birokrat lebih berkuasa. Merekalah yang merangkul elite politik dan elite korporat. Pada era pasca-Orde Baru, elite politik yang lebih dominan merangkul pejabat, birokrat, dan korporat. Saat ini terjadi perubahan pendulum, yaitu elite korporat yang merangkul pejabat, birokrat, dan korporat di tingkat global dan multinasional.
Ilusi transformasi
Asumsi bahwa posisi menteri pendidikan dijabat oleh individu dari kelompok yang tampaknya independen terhadap afiliasi politik (bukan birokrat dan organisasi massa) akan membawa perubahan signifikan, sampai sekarang tidak terbukti. Banyaknya kontroversi kebijakan yang muncul di era Nadiem Makarim bukanlah indikasi disrupsi, melainkan pertanda inkompetensi.
Semiotika yang dibaca publik dari foto-foto Nadiem bersama Megawati jelang isu pergantian menteri menunjukkan indikasi bahwa independensi pendorong transformasi itu hanya ilusi. Politisasi pendidikan tak akan pernah membuat pendidikan kita kian maju.
Kelas terabaikan
Krisis pendidikan kita sejak pembangunan besar-besaran SD Inpres era Presiden Soeharto yang pernah membuka akses massal pendidikan adalah kualitas hasil belajar. Namun, para pengambil kebijakan pendidikan tak pernah peduli pada hal ini. Tingkat literasi kita saat ini justru mundur ke belakang 20 tahun dengan level 371 dalam uji internasional PISA. Pendidikan kita terpuruk di setiap survei internasional.
Lebih dari itu, literasi yang rendah membuat publik mudah terkecoh oleh jargon, simbol, provokasi, dan pencitraan media tentang transformasi pendidikan di Indonesia. Jargon Merdeka Belajar sejak awal sudah kontroversial karena memanipulasi pemikiran Ki Hadjar Dewantoro (KHD) menjadi merek bisnis yang dipatenkan. Artinya, sejak awal, elite korporasi sudah mulai menyetir kebijakan pendidikan nasional di Senayan. Wacana diseminasi pemikiran KHD tanpa ada implementasi nyata akan sekadar jadi jargon tanpa makna.
Analisis dari berbagai riset global tentang peningkatan kualitas pendidikan sebuah negara hanya mungkin bila terjadi perubahan fundamental di dalam kelas. Sayangnya, jargon Merdeka Belajar sejak episode 1 sampai 14, bila kita telaah isinya, tidak ada satu pun yang langsung terkait dengan perubahan kemampuan guru mengajar di kelas, kecuali program Guru Penggerak.
Baca juga : Tanggung Jawab Pendidikan
Program Guru Penggerak ini pun sangat elitis dan mahal biayanya. Pagu anggaran 2022 untuk Program Kualitas Pengajaran dan Pembelajaran adalah Rp 11,4 triliun. Alokasi untuk Guru Penggerak saja sekitar Rp 2 triliun, sebagaimana paparan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di hadapan Komisi X DPR. Sampai saat ini baru sekitar 8.000 guru penggerak terjaring. Padahal, total guru di Indonesia ada sekitar 3 juta. Apa intervensi untuk 3 juta? Program Guru Penggerak jelas sangat elitis, tidak merata, dan jauh dari visi keadilan sosial dalam transformasi guru.
Konflik kepentingan
Yang lebih memprihatinkan adalah merebaknya berbagai macam konflik kepentingan yang terjadi dalam setiap desain kebijakan pendidikan. Jargon Merdeka Belajar sejak awal sudah menimbulkan aroma tidak sedap karena terjadi indikasi konflik kepentingan.
Pengelolaan petunjuk teknis (juknis) bantuan operasional sekolah (BOS) pada awal masa pandemi juga sama. Konflik kepentingan terjadi ketika Kemendikbudristek berkolaborasi dengan berbagai macam platform pendidikan daring berbayar dan memberinya jalan lebar untuk dapat memanfaatkan dana BOS atas nama pandemi Covid-19.
Meskipun dalam peraturan Mendikbudristek juknis BOS tidak disebutkan merek-merek platform daring berbayar, merek-merek ini dipublikasi dalam siaran pers Kemendikbudristek.
Jargon Merdeka Belajar sejak awal sudah menimbulkan aroma tidak sedap karena terjadi indikasi konflik kepentingan.
Baru kali ini dalam sejarah, Kemendikbudristek berubah menjadi juru iklan yang meng-endorse produk-produk. Bahkan, apa yang disebut gratis oleh Kemendikbudristek tentang kehadiran platform daring berbayar ini pun ternyata tidak. Faktanya, data siswa, guru, dan orangtua diambil oleh berbagai macam platform digital daring berbayar tersebut sebelum siswa menerima layanan.
Indikasi konflik kepentingan dan kesalahan prosedur juga terjadi ketika mendesain Program Organisasi Penggerak (POP) yang menjadi catatan Irjen Kemendikbudristek dan Komisi X DPR. Yang terbaru, aroma politisasi juga semakin merebak ketika Kemendikbudristek melakukan Survei Aspirasi dan Persepsi Masyarakat berkolaborasi dengan Lembaga Indikator Politik Indonesia. Ini survei pendidikan atau mau menjaring persepsi tentang calon presiden?
Etika publik
Haryatmoko (2015) dalam bukunya, Etika Publik, menyatakan bahwa ”Konflik kepentingan adalah pintu gerbang korupsi. Kepentingan pribadi atau kelompok yang sangat berbahaya adalah bila pejabat publik sekaligus adalah pemilik perusahaan” (hlm 123).
Haryatmoko menegaskan bahwa konflik kepentingan yang mendorong korupsi selalu melibatkan transaksi yang bisa tidak langsung, misalnya, kebijakan menteri yang menguntungkan salah satu perusahaan di mana menteri memiliki kepentingan (perusahaan milik keluarga, teman, asosiasi, atau komisaris. Bisa juga imbalannya tidak langsung (hlm 129). ”Uang tidak harus selalu masuk untuk kepentingan pribadi, bisa juga penyalahgunaan sumber daya untuk menguntungkan kelompoknya,” kata Haryatmoko.
Sampai saat ini, belum ada regulasi yang tegas untuk mengelola konflik kepentingan dalam mendesain kebijakan pendidikan.
Sampai saat ini, belum ada regulasi yang tegas untuk mengelola konflik kepentingan dalam mendesain kebijakan pendidikan. Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menegaskan pengaturan konflik kepentingan pada pengadaan barang dan jasa oleh pejabat pembuat komitmen, tetapi tidak mengatur konflik kepentingan yang terjadi dalam mendesain kebijakan, termasuk bagaimana para menteri memilih para staf khususnya sehingga terhindar dari berbagai macam konflik kepentingan.
Manusia adalah makhluk lemah yang mudah tergoda kekayaan, betapapun sudah kayanya orang itu. Orang baik bisa tetap menjadi pencuri kalau dalam lingkungan kerja tidak ada struktur yang mengaudit dan mengontrol secara independen dan terus-menerus perilaku serta kewenangan para pengambil kebijakan. Menyeleksi individu berintegritas sebagai pejabat publik jelas merupakan syarat utama. Namun, tanpa modalitas publik, individu berintegritas pun bisa pecah.
Etika publik yang bertujuan untuk peningkatan kualitas layanan pendidikan harus menjadi fokus utama bagi transformasi pendidikan. Ruang terjadinya berbagai macam konflik kepentingan yang tidak selalu dapat dijerat oleh UU Tipikor harus dipersempit.
Memperkuat modalitas akuntabilitas publik melalui sebuah sistem yang menjaga agar norma integritas ditegakkan sejak saat mendesain kebijakan pendidikan merupakan sebuah urgensi. Apabila tidak, anggaran pendidikan yang triliunan rupiah itu akan sia-sia. Uang besar ini hanya akan menjadi santapan para elite predator pendidikan yang berkolusi dengan birokrat, politisi, dan korporasi lokal-global yang pasti tergiur melimpahnya uang anggaran pendidikan.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Founder Pendidikan Karakter Education Consulting