Studi yang dilakukan oleh Poore dan Nemecek (2018) yang dipublikasikan di jurnal Science menyebutkan, pola makan nabati (vegan) adalah satu-satunya cara terbesar (”the single biggest way”) kurangi kerusakan lingkungan.
Oleh
LUKMAN ADAM
·4 menit baca
Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) 26 telah selesai dengan target pengurangan separuh emisi dunia pada 2030 dan mencapai emisi bersih (net zero emission) pada 2050.
Pertanian berperan menyumbang 30 sampai 40 persen emisi gas rumah kaca (GRK) dan 50 persen keluaran emisi metana. Ternak ruminansia dan lahan sawah dituding bertanggung jawab terhadap kenaikan emisi tersebut. Ternak ruminansia, antara lain, sapi, kerbau, kambing, dan babi.
Lebih dari 88 juta ternak dibesarkan dan disembelih setiap tahun di seluruh dunia untuk dijadikan pangan. Industri ini juga menggunakan 83 persen lahan pertanian. Ditinjau dari produksi pangan sumber protein, 100 gram daging sapi/kerbau hanya memenuhi 18,8 persen kebutuhan protein harian orang dewasa. Sementara 100 gram ikan memberikan sampai 40 persen kebutuhan protein.
Studi yang dilakukan oleh Poore dan Nemecek (2018) yang dipublikasikan di jurnal Science menyebutkan, pola makan nabati (vegan) adalah satu-satunya cara terbesar (the single biggest way) mengurangi kerusakan lingkungan global. Produk daging dan olahan susu bertanggung jawab atas 60 persen emisi GRK. Jika kita menghilangkan produk hewani dari makanan, akan mengurangi jejak karbon sampai 73 persen.
Jika kita menghilangkan produk hewani dari makanan, akan mengurangi jejak karbon sampai 73 persen.
COP 26 telah membahas isu terkait kerentanan pertanian terhadap perubahan iklim dan penanganan ketahanan pangan. COP 26 juga memiliki dua agenda penting, Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI). Keduanya sudah mengadopsi peta jalan kerja sama pertanian Koronivia (Koronivia joint work on agriculture) yang muncul dalam COP 23 (2018). Kerja sama ini mengakui potensi unik pertanian dalam mengatasi perubahan iklim.
SBSTA dan SBI mengadopsi pentingnya perbaikan pengelolaan tanah dan hara, pengelolaan peternakan dan kesehatan ternak, dimensi sosial ekonomi dan ketahanan pangan, serta penguatan kebijakan penanganan perubahan iklim. Pertanyaannya, apa langkah konkret yang perlu dilakukan agar pertanian di Indonesia memiliki andil untuk mencegah berlanjutnya pemanasan global?
Pertama, inovasi dan pengembangan teknologi produksi ternak terus dilakukan, termasuk perbaikan manajemen pakan dan pemanfaatan kotoran ternak ruminansia menjadi biogas. Metana, salah satunya, diproduksi ternak ruminansia saat mencerna pakan dan dikeluarkan dalam bentuk sendawa dan kotoran.
Kompas
Supriyanto
Inovasi pakan dengan harga murah yang menghasilkan sedikit metana melalui reduksi mikroorganisme dalam sistem pencernaan. Pakan ini juga akan berperan meningkatkan produktivitas ternak ruminansia.
Kedua, program asuransi pertanian jangan hanya terbatas pada padi dan sapi/kerbau. Saat ini, pemberian subsidi Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dan Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau (AUTS/K) sebesar 80 persen dan sisanya, 20 persen, dibayarkan petani. Program asuransi perlu diperluas cakupan komoditasnya, termasuk di dalamnya, unggas.
Ketiga, emisi metana juga berasal dari pola usaha tani sawah dengan air tergenang. Karena itu, pengelolaan lahan sawah harus spesifik lokasi, dibedakan antara tanah sawah beririgasi dan tadah hujan. Aspek penting yang perlu dipahami, antara lain, pengetahuan mengenai jenis dan komposisi pupuk yang tepat, penggunaan varietas padi dengan emisi rendah, serta teknik irigasi.
Keempat, hanya 13,5 persen petani yang menggunakan kombinasi pupuk berimbang. Karena itu, perlu didorong kombinasi penggunaan pupuk organik dan anorganik. Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus berpotensi merusak kandungan organik tanah.
Kelima, diversifikasi konsumsi protein. BPS (2020) mencatat antara produksi daging sapi/kerbau dan kebutuhan terdapat defisit 114.955 ton, yang dipenuhi dari impor daging serta sapi bakalan. Bandingkan dengan daging ayam ras yang surplus 1,071 juta ton.
Selain itu, produksi perikanan tangkap baru dimanfaatkan 72,17 persen dan perikanan budidaya 27,76 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2018). Daging unggas dan ikan dapat didorong sebagai substitusi daging sapi, asal pemanfaatannya dilakukan dengan bijak.
Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus berpotensi merusak kandungan organik tanah.
Keenam, mendorong konsolidasi lahan pertanian. Melalui konsolidasi lahan, dalam bentuk penataan penggunaan lahan pertanian, maka usaha tani akan lebih efisien. Kelembagaan pertanian, seperti kelompok tani, harus diberi ruang untuk terlibat.
Rerata luasan lahan pertanian petani gurem di Indonesia 0,5 hektar sehingga melalui konsolidasi lahan oleh kelompok tani, pemanfaatan teknologi dan teknik irigasi akan bisa dilakukan dengan baik.
Deforestasi, dengan dalih ketahanan pangan, sudah harus ditinggalkan.
Apabila upaya ini dilakukan, keseimbangan antara pencapaian ketahanan pangan dan target pengurangan emisi optimistis akan tercapai. Seperti disampaikan Qu Dongyu (Direktur Jenderal FAO), ”Memberi makan dan menyelamatkan bumi pada saat yang sama” (feed the world and save the planet at the same time).