Gosip Spionase di Seputar Perusahaan Teknologi China
China yang terus mengembangkan teknologi digital tak lepas dari berbagai gosip, termasuk tuduhan spionase. Akan tetapi, tuduhan-tuduhan itu kadang hanya heboh serta gosip semata.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Kompas
Andreas Maryoto, Wartawan Senior Kompas
China yang terus mengembangkan teknologi digital tak lepas dari berbagai gosip. Gosip yang makin kencang dan seru adalah tentang kemungkinan penggunaan perangkat-perangkat serta produk perusahaan teknologi asal China untuk kepentingan spionase. Gosip makin kencang, tetapi bukti-bukti sejauh ini belum ditemukan.
Gosip terbaru soal kemungkinan aksi spionase melalui teknologi digital China itu muncul di Financial Times. Direktur UK Signals Intelligence Agency Government Communication Headquarters Jeremy Fleming telah memperingatkan perihal kehadiran mata uang digital China renminbi yang mungkin digunakan sebagai alat untuk mengawasi pengguna dan melakukan kontrol atas transaksi mata uang global.
Mata uang ini sedang banyak dipromosikan oleh otoritas China menjelang Olimpiade Musim Dingin tahun depan di Beijing. Fleming mengatakan, mata uang digital menghadirkan ”peluang besar” untuk mendemokratisasi sistem pembayaran, tetapi perkembangan teknologi baru ini juga menimbulkan ancaman. Jika diterapkan secara salah, hal itu memberi peluang negara yang bermusuhan untuk mengawasi transaksi setiap orang.
Tentu saja kabar ini membuat heboh berbagai kalangan dan menjadi debat di berbagai media. China telah lama dituduh menggunakan berbagai teknologi digital untuk kepentingan intelijen dan mata-mata.
Mereka menyebut bahwa China menjadikan perusahaan teknologi mampu menyedot berbagai informasi melalui berbagai perangkat di berbagai belahan dunia. Sejauh mana China menggunakan perusahaan teknologi untuk kepentingan spionase?
AFP/CHINA OUT
Seorang karyawan bank tengah menghitung mata uang China pecahan 50 yuan di Hangzhou, Zhejiang, 30 Agustus 2019. China tengah menyiapkan uang digital mereka sendiri.
Tuduhan spionase memang bukan barang baru. Pada April lalu, Fleming juga mengungkapkan hal yang mirip. Negara-negara Barat harus segera bertindak untuk memastikan China tidak mendominasi teknologi penting yang muncul dan menguasai sistem operasi global. Ia mengatakan, Barat menghadapi pertempuran untuk mengendalikan teknologi, seperti kecerdasan buatan, biologi sintetik, dan genetika.
”Kepemimpinan teknologi yang signifikan sedang bergerak ke Timur,” kata Fleming di Imperial College London, seperti dikutip Reuters. Kekhawatirannya adalah bahwa ukuran dan bobot teknologi China berarti memiliki potensi untuk mengendalikan sistem operasi global.
Urusan spionase ini memang bukan isu baru. Sejak lama negara-negara Barat telah mencurigai China melakukan aksi mata-mata. Sebuah lampiran Center for Strategic International Studies yang berbasis di Washington DC menyebutkan, berdasarkan pencatatan, sejak tahun 2000 telah terjadi 160 kasus spionase China yang dilaporkan secara publik yang diarahkan ke Amerika Serikat. Laporan ini menyebut secara detail nama dan tindakan yang dilakukan. Sebagian besar berkaitan dengan teknologi digital.
Jumlah itu tidak termasuk spionase terhadap negara lain, terhadap perusahaan atau orang Amerika Serikat yang tinggal di China, atau lebih dari 50 kasus tambahan yang melibatkan upaya penyelundupan amunisi atau teknologi yang dikendalikan dari negara itu ke China. Di samping itu, terdapat lebih dari 1.200 kasus litigasi pencurian kekayaan intelektual yang diajukan oleh perusahaan Amerika Serikat terhadap entitas China, baik dalam sistem hukum Amerika Serikat maupun China.
Dugaan terbaru menyebutkan, China merekrut sejumlah peretas dengan berselubung tawaran pekerjaan sebagai wirausaha teknologi. Bahkan, ada keanehan karena mereka merekrut sejumlah orang dengan kemampuan bahasa tertentu. The New York Times, Agustus lalu, melaporkan, sebuah perusahaan teknologi tinggi China biasanya tidak merekrut penutur bahasa Kamboja. Sebuah iklan pekerjaan untuk tiga posisi bergaji tinggi dengan keterampilan bahasa itu terkesan menonjol dan mencurigakan.
Iklan tersebut mencari penulis laporan penelitian yang akan ditempatkan oleh perusahaan rintisan keamanan internet di provinsi pulau tropis Hainan, China. Usaha rintisan itu harus diamati lebih dari sekadar yang terlihat. Menurut sebuah laporan federal di Amerika Serikat, perusahaan teknologi Hainan Xiandun adalah bagian dari jaringan perusahaan yang dikendalikan oleh kementerian keamanan negara rahasia China.
GETTY IMAGES/KEVIN FRAYER
Pelanggan memasuki toko Huawei Technologies Co di Beijing, China, Selasa (29/1/2019). Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengajukan sejumlah tuntutan pidana terhadap raksasa telekomunikasi China itu dan kepada Kepala Keuangan Huawei Meng Wanzhou atas tuduhan menipu bank, melanggar sanksi terhadap Iran, dan mencuri teknologi robot. Huawei membantah melakukan pelanggaran dan menolak tuduhan terhadap Meng—putri pendiri Huawei, Ren Zhengfei—yang ditangkap di Kanada.
Kegiatan mereka disebutkan meretas komputer dari Amerika Serikat hingga Arab Saudi. Mereka mencari data sensitif pemerintah serta hal-hal yang kurang jelas tujuannya, seperti rincian sistem pemadam kebakaran perusahaan New Jersey. Tuduhan itu disebutkan mencerminkan kampanye yang semakin agresif oleh peretas Pemerintah China. Perubahan nyata dalam taktik mereka adalah mata-mata China semakin menjangkau pihak-pihak di luar mereka sendiri, yaitu merekrut dari kumpulan besar talenta sektor swasta.
Kelompok peretas baru ini telah membuat mesin mata-mata siber negara China lebih kuat, lebih canggih, dan lebih berbahaya serta tidak dapat diprediksi. Mereka disebutkan disponsori oleh pemerintah, tetapi tidak harus dikelola secara mikro oleh Beijing. Peretas generasi baru ini menyerang target pemerintah dan perusahaan swasta, menggabungkan spionase tradisional dengan penipuan langsung dan kejahatan lain untuk mendapatkan keuntungan.
Akan tetapi, tuduhan-tuduhan itu kadang hanya heboh serta gosip semata. Beberapa juga masih sebatas dugaan. China tampak tetap tenang dan terlihat santai. Mereka tidak terlalu pusing dengan berbagai tuduhan. Respons negara-negara lawan China kadang juga tidak jelas. Publik internasional pun akhirnya lebih melihat semua itu drama-drama spionase dibandingkan dengan kasus yang akan mengguncang diplomasi internasional dan bakal mengubah dunia.