Profesi Dosen dan Guru Sangat Menjanjikan pada Era Digital
Dosen atau guru termasuk orang yang beruntung di dunia. Mereka tidak saja membuat banyak orang menjadi pandai dan berguna, tetapi dalam prosesnya membuat mereka sendiri memiliki kemampuan unik yang berguna.
Pertanyaan yang kerap muncul dari mahasiswa di NUS Business School adalah pekerjaan apa yang menjanjikan pada masa depan? Jawaban saya adalah dosen dan guru. Jawaban ini membuat mahasiswa terkejut karena umumnya beranggapan menjadi programer adalah pekerjaan yang paling menjanjikan pada masa depan.
Banyak orang yang terbuai oleh hasil bertanya di Google bahwa pekerjaan top masa depan adalah misalnya pengembang perangkat lunak atau ahli keamanan siber. Tidak bisa dimungkiri bahwa kedua jenis pekerjaan ini adalah pekerjaan top saat ini dengan gaji yang tinggi. Namun, masa depan berbeda dengan hari ini. Artinya, apabila kita baru belajar tentang kedua hal ini, ada kemungkinan keadaan sudah berubah waktu kita lulus, bisa saja pengembang perangkat lunak dan ahli keamanan siber sudah berlimpah dan bukan lagi pekerjaan langka dengan gaji besar.
Dalam pemilihan karier untuk masa depan perlu dihindari bandwagon bias alias ikutan tren. Kita adalah makhluk sosial, dorongan untuk menyesuaikan diri sangat kuat di dalam diri kita terhadap semua hal yang sedang tren. Hal ini memiliki sisi negatif, yaitu bisa membuat kita menyesuaikan diri dengan keyakinan yang salah atau mengambil keputusan yang salah karena ikut-ikutan.
Jauh lebih baik dianalisis dampak jangka panjang dari revolusi digital saat ini, lalu dibuat prediksi pekerjaan apa yang akan dibutuhkan dalam jangka panjang. Ketika saya melakukan analisis ini, hasilnya membuat saya terkejut karena dosen dan guru muncul sebagai pekerjaan top di masa depan.
Keusangan pengetahuan
Samuel Arbesman menulis pada tahun 2012 bahwa pengetahuan bisa basi seperti halnya makanan. Terdengar janggal bagi banyak orang. Bagaimana mungkin pengetahuan yang tersimpan di otak bisa basi seperti layaknya susu atau nasi.
Arbesman menggunakan bidang ilmu yang disebut scientometrics yang mempelajari keusangan pengetahuan dari perspektif kuantitatif. Menggunakan scientometrics dapat diperiksa berbagai cabang pengetahuan: ekonomi, teknik mesin, kedokteran, dan lain-lain. Lalu dilihat berapa lama waktu yang dibutuhkan dari apa yang kita ketahui di disiplin ilmu tertentu untuk menjadi usang. Melalui scientometrics, Arbesman menyimpulkan bahwa semua pengetahuan yang kita ketahui memiliki tanggal kedaluwarsa.
Kolom lain ISMS : Kunci Transformasi Digital adalah Adaptasi
Thomas Jones pada tahun 1966 melaporkan, perkembangan di bidang teknik akan membuat separuh dari pengetahuan seorang insinyur menjadi usang dalam tempo 10 tahun setelah dia lulus. Dengan kata lain, satu dekade adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat 50 persen dari pengetahuan teknik menjadi usang pada tahun 1960-an. Pada tahun 2019, diprakirakan separuh dari pengetahuan teknik akan usang antara 2,5 dan 5 tahun saja.
Secara sederhana dapat dikatakan seorang insinyur yang lulus pada tahun 1960-an tidak perlu belajar apa pun selama lima tahun setelah dia lulus. Namun, nagi seorang insinyur yang lulus tahun 2019, apabila tidak belajar apa pun selama lima tahun, hampir semua pengetahuannya sudah ketinggalan zaman atau usang.
Lalu bagaimana agar seorang insinyur yang lulus pada tahun 2019 tetap mengikuti perkembangan ilmu? Mereka diprakirakan harus belajar sekitar 15 jam per minggu agar tidak tertinggal. Jumlah waktu belajar ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan jumlah belajar seorang insinyur pada tahun 1960-an yang hanya butuh belajar sekitar lima jam per minggu.
Dari realitas ini dapat ditarik satu kesimpulan penting, yaitu kemampuan seseorang untuk terus belajar setelah memperoleh gelar atau lulus perguruan tinggi akan menjadi faktor penentu untuk menjadi SDM andal saat ini.
Dosen dan guru naik daun
Keusangan pengetahuan memberikan dua keuntungan strategis bagi dosen dan guru. Kedua keuntungan ini membuat pekerjaan dosen dan guru menjadi pekerjaan yang diramalkan menjadi pekerjaan menggiurkan di masa depan.
Pertama, dosen dan guru akan makin dibutuhkan karena semua orang perlu makin sering belajar agar bisa tetap kompetitif. Di sini hukum penawaran dan permintaan kembali berlaku, terjadi kondisi ketika permintaan dosen dan guru meningkat, tetapi penawaran dosen dan guru terbatas karena tidak semua orang mampu menjadi dosen dan guru yang baik.
Contohnya, seorang lulusan magister manajemen tahun 1990-an bisa mengandalkan Kerangka Lima Kekuatan dari Prof Michael Porter sebagai pengetahuan dasar dalam mendisain strategi organisasi ketika mereka lulus. Pengetahuan yang sama sudah tidak memadai lagi pada tahun 2021, era digital menuntut mereka untuk paham tentang strategi platform dan efek jaringan untuk bisa mendisain strategi organisasi yang tepat. Artinya para lulusan magister manajemen tahun 1990-an saat ini harus kembali belajar.
Menyadari fenomena ini, National University of Singapore (NUS) telah membangun School of Continuing and Lifelong Education tujuannya adalah agar setiap lulusan NUS dapat kembali belajar ke perguruan tinggi almamater mereka. Alumni NUS dapat memilih waktu belajar sesuai situasi pekerjaan mereka. Program tersedia dari program singkat satu hari sampai program Diploma 1 tahun. Alumni NUS tetap dianggap sebagai mahasiswa sampai 20 tahun setelah mereka lulus.
Inisiatif ini juga membuka kesempatan seorang lulusan NUS bisa belajar disiplin ilmu yang berbeda ketika mereka memutuskan untuk kembali ke kampus.
Misalnya seorang lulusan manajemen yang bekerja di perusahaan multi nasional bidang makanan di Singapura bisa saja kembali untuk belajar tentang teknologi makanan selama tiga bulan di program modular agar makin kompetitif ditempat kerja. Hal ini tidak dimungkinkan sebelumnya karena Fakultas Manajemen berbeda dengan Fakultas Teknologi Makanan.
Intinya dunia sedang menuju ke era belajar seumur hidup, dimana waktu belajar seseorang menjadi sangat panjang. Di era ini otomatis kebutuhan dosen dan guru meningkat pesat, baik sebagai pengajar formal di universitas atau di interim perusahaan.
Kedua, pekerjaan sebagai dosen dan guru mewajibkan mereka untuk belajar setiap saat agar ilmu mereka tetap terkini. Kemampuan untuk belajar sepanjang waktu dari dosen dan guru inilah yang diprediksi menjadi kompetensi langka di masa depan.
Baca juga : Nadiem Makarim: Terima Kasih untuk Perjuangan Semua Guru
Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar orang tidak suka belajar. Sebagian besar dari pembaca di sini mungkin tidak lagi pernah membaca buku teks setelah lulus. Statistik menunjukkan ada sekitar 30 persen dari orang di Amerika Serikat tidak membaca buku sama sekali dalam satu tahun.
Pengalaman belajar sampai pagi di perguruan tinggi menjelang ujian membuat kebanyakan orang menjadi trauma untuk belajar. Belajar sambil bekerja tidak sama dengan belajar secara formal untuk mencegah pengetahuan menjadi usang. Itu sebabnya, para dosen dan guru memiliki kewajiban untuk mengikuti serangkaian seminar setiap tahun agar ilmu mereka tetap terbarukan.
Pengalaman belajar sampai pagi di perguruan tinggi menjelang ujian membuat kebanyakan orang menjadi trauma untuk belajar.
Kemampuan belajar itu seperti otot manusia, semakin kuat apabila sering digunakan. Para dosen dan guru memiliki kemampuan belajar yang sangat kuat karena dituntut terus belajar dan dituntut untuk mengajar siswa dan mahasiswa. Kemampuan belajar akan meningkat pesat ketika seseorang dituntut untuk mengajarkan ilmunya. Sebab, untuk dapat mengajar dengan baik dibutuhkan belajar tiga kali lipat lebih keras.
Kemampuan unik dari para dosen dan guru ini mulai menjadi incaran banyak perusahaan dan organisasi unggulan di dunia. Dalam era digital, perubahan mendasar bisa terjadi setiap saat. Akibatnya, agar tetap kompetitif, perusahaan dan organisasi harus mampu bertransformasi secara cepat pula. Kemampuan transformasi perusahaan atau organisasi ditentukan seberapa cepat sumber daya manusia (SDM) mereka mampu untuk belajar hal-hal baru. Akibatnya, muncul kebutuhan untuk merekrut SDM yang sudah terbukti memiliki kemampuan yang baik untuk belajar. Di sinilah para dosen dan guru muncul sebagai pilihan yang ideal.
Perusahaan kelas dunia Google dapat menjadi contoh. Mantra Google dalam merekrut SDM mereka adalah, ”Rekrut mereka bukan karena pengetahuan yang mereka miliki, tetapi untuk hal-hal yang belum mereka ketahui.” Pada dasarnya Google tidak merekrut SDM berdasarkan pengetahuan yang dimiliki saat ini, tetapi pengetahuan yang bisa dimiliki SDM bersangkutan di masa depan lewat terus belajar. Google sadar bahwa SDM yang unggul adalah yang mampu beradaptasi terhadap perubahan. Adaptasi ditentukan oleh kemampuan belajar yang baik.
Belakangan muncul istilah learnability quotient alias LQ. Istilah ini menunjukkan pentingnya kemampuan belajar di era digital, bahkan jauh lebih penting dari IQ atau EQ.
Bagi yang saat ini sudah menjadi dosen atau guru, mereka termasuk orang yang beruntung di dunia. Mereka tidak saja berjasa membuat banyak orang menjadi pandai dan berguna, tetapi dalam prosesnya membuat mereka sendiri memiliki kemampuan unik yang sangat berharga di era digital, yaitu kemampuan belajar formal terhadap semua hal baru. Mereka bisa memilih tetap setia menjadi pengajar atau ganti haluan menjadi eksekutif di perusahaan atau organisasi.
Bagi yang belum menjadi dosen atau guru, pekerjaan ini boleh menjadi pilihan karena menjanjikan masa depan yang cerah.
Andreas Raharso adalah Adjunct Associate Professor NUS Business School
E-mail: araharso@hotmail.com