Perempuan di Sarang Penyamun
Predator-predator seks itu sejak dahulu tidak berada di jalanan yang liar, tetapi justru bersarang di tempat-tempat suci, bahkan merasuki rumah-rumah Tuhan.
Bukan karena lagu ”Imajinasi Senja” yang kutulis syairnya dan dinyanyikan Alien Child yang menuntunku hadir dalam gala premier film Yuni, 6 Desember 2021. Namun, lebih karena film ini telah memenangi beberapa penghargaan bergengsi di tingkat internasional, di antaranya Platform Prize dari Toronto Film Festival 2021 dan Snow Leopard untuk Aktris Terbaik dalam Asian World Film Festival 2021. Selain itu, Yuni juga akan mewakili Indonesia dalam perhelatan bergengsi Academy Awards ke-94 untuk berkompetisi dalam kategori Best International Feature Film.
Deretan prestasi itu bisa ditambah lagi dengan raihan Pemeran Utama Perempuan Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021 serta Silver Hanoman dalam gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Yuni bahkan memperoleh 14 nominasi dalam FFI 2021. Kupikir, semua prestasi itu sesuatu yang mentereng dan keren. Sebab itulah aku memenuhi undangan Kamila Andini selaku sutradara film Yuni. Tak disangka, saat menelusur lorong menuju gedung bioskop di Epicentrum XXI Jakarta, aku bertemu sutradara kawakan Garin Nugroho, yang tak lain adalah ayah Kamila.
Baca Juga: Jaseng Mendamba Oscar
Kami memang tidak mengobrol soal film, tetapi berbicara soal kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan remaja (bahkan anak-anak), yang diberitakan berbagai media. Kasus paling biadab tentu yang dilakukan Herry Wirawan, seorang guru agama di kota Bandung. Herry diduga memperkosa dan mencabuli 12 perempuan muridnya sejak tahun 2016-2021. Delapan di antara korban kebejatan Herry itu telah melahirkan dan dua lainnya sedang hamil. ”Bahkan, ada yang hamil dua kali!” kata Garin.
Baca Juga: Perkosa 12 Siswa, Guru Pesantren di Bandung Terancam 20 Tahun Penjara
Jika kami bercakap seputar pemerkosaan, itu tidak lantas jatuh membahas soal-soal ketebalan moralitas seseorang. Kami juga tidak mau menghakimi dengan menggunakan dalil-dalil agama untuk mengukur kebejatan moral orang per orang. Karena di depan mata kita masing-masing telah terjadi perbuatan asusila, menurut etika umum, oleh seseorang yang justru telah mendalami dan kemudian mengajarkan agama. Realitas yang sungguh-sungguh absurd, bukan? Penjahat sesungguhnya justru berada di sekitar orang-orang yang dinilai kudus. Bukan dalil ngawur, kan?
Entah sengaja atau tidak, Garin sedang membuat semacam preparasi kepadaku untuk memasuki gedung bioskop. Yuni adalah potret jebakan terhadap perempuan yang demikian kompleks. Para perempuan benar-benar bukan cuma berurusan dengan tebal tipisnya moralitas seseorang, melainkan juga perangkat ”birokrasi” sosial sebuah masyarakat yang tak mudah diurai. Entah mengapa jebakan-jebakan itu menjelma dalam pranata sosial yang bertumpang-tindih dengan mitos-mitos lokal.
Baca Juga: Pemuka Agama Perlu Ambil Peran Akhiri Perkawinan Anak
Dalam film Yuni, pranata sosial yang menjebak itu misalnya tampak pada dominasi patriarkis, yang bahkan menjadi kebiasaan, di mana seorang lelaki ”berhak” melamar seorang perempuan di saat telah dianggap ”cukup” remaja. Yuni dan para remaja di sebuah wilayah pinggiran harus berhadapan dengan sebuah sistem yang nyaris ”baku”, yakni ketika para orangtua atau yang dituakan seakan kompak membiarkannya. Para remaja yang baru berusia antara 15 tahun dan 17 tahun dianggap telah cukup ”matang” memasuki bahtera rumah tangga. Ini seperti menjadi semacam konvensi yang berlaku umum.
Baca Juga: Rentetan Panjang Dampak Perkawinan Anak
Entahlah, mungkin kau dan aku bisa berdebat panjang soal apa itu rumah tangga. Apakah Mang Dodi (tokoh dalam Yuni) yang datang melamar Yuni bersama istrinya sendiri dan menyerahkan uang Rp 25 juta masih bisa dianggap ingin membangun bahtera rumah tangga? Rumah tangga macam apa itu? Tidakkah itu semacam obat penenang dari ”demam syahwat” belaka? Sebab, jelas di situ, ada kuasa berbau patriarkis dan uang.
Sementara perempuan, termasuk istri Mang Dodi, berada dalam pusaran ketakberdayaan. Mereka sulit menemukan jalan keluar karena jebakan itu terjalin begitu erat dengan sistem budaya dan ”birokrasi” sosial serta pranata-pranata yang bisa dipastikan dibikin oleh para lelaki. Seolah-olah, jika perempuan menolak lamaran seorang lelaki, yang bahkan belum dikenalnya, adalah sebuah kesalahan tak terampuni.
Baca Juga: Tamparan Keras Perkawinan Anak
Realitas itu diperparah oleh mitos-mitos tentang pamali. Siapa pun perempuan yang menolak lamaran lelaki sampai tiga kali, dia akan selamanya menjadi perawan tua. Kehidupan seorang perawan tua dalam struktur masyarakat patriarkis sungguh-sungguh menakutkan. Di Bali, misalnya, hidup kepercayaan, ketika nanti meninggal, perempuan yang tidak menikah akan menyusui ribuan anak anjing di neraka. Aku sering kesal dan karena itu sering kali bertanya balik begini: bagaimana ”hukuman” terhadap seorang jejaka tua? Apakah akan dihukum, misalnya, mohon maaf, bersenggama dengan ribuan ekor anjing? Aku yakin tak pernah ada mitos atau cerita semacam itu.
Sebenarnya, samar-samar ketika menyimak Yuni, aku membayangkan roman bertajuk Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang diterbitkan tahun 1932 oleh Balai Pustaka. Bukan karena kisahnya, melainkan lebih-lebih karena judul yang dipakai STA untuk menggambarkan ketakberdayaan seorang perawan bernama Sayu di hadapan perampok bengis bernama Medasing. Setelah membunuh Haji Sahak dan Nyi Haji Andun, serta merampas seluruh hartanya, Medasing menggondol Sayu ke sarang para penyamun. Haji Sahak dan Nyi Haji Andun tak lain adalah orangtua Sayu.
Baca Juga: Catatan Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Akhir kisahnya jauh lebih ekstrem dibandingkan dengan kisah yang kini dikenal luas bernama stockholm syndrom, yakni sindrom yang menimpa seorang sandera untuk bersimpati kepada penyanderanya. Menurut catatan media, stockholm syndrom bermula dari perampokan sebuah bank di Swedia bernama Sveriges Kreditbanken pada 23 Agustus 1973. Perampok bernama Jan-Erik Olsson menyandera empat karyawan bank dalam ruang brankas bank tersebut. Olsson antara lain menuntut pembebasan rekannya sesama narapidana bernama Clark Olofsson dan mengirimnya masuk ke dalam bank.
Baca Juga: Tarik Ulur RUU PKS karena Pertarungan Ideologi
Karena mengancam akan membunuh sandera, polisi tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan Olsson. Sebagaimana kemudian bisa disaksikan lewat film berjudul Stockholm (2019) yang dibintangi Ethan Hawke dan Noomi Rapace, dalam enam hari masa penyanderaan (23-28 Agustus 1973), para sandera yang terus-menerus berada di bawah ancaman senjata secara perlahan bersimpati kepada Olsson.
Kriminolog yang juga ahli psikiatri yang membantu polisi dalam kasus itu, Nils Bejerot, menyebutkan bahwa perilaku aneh para sandera terjadi karena secara konstan berada di bawah ancaman. Kondisi psikologi selama enam hari berada di bawah tekanan menyebabkan korban justru beradaptasi dengan ancaman itu. Bejerot menyebut istilah harmless, titik ketika korban memiliki keyakinan bahwa pelaku tidak berdaya di bawah kepungan polisi. ”Lalu, pelaku penyanderaan dianggap tidak berbahaya,” kata Bejerot.
Baca Juga: Meluruskan Kekeliruan dan Disinformasi Seputar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Sebelum perampokan bank itu terjadi, STA telah mengarang cerita yang serupa. Sayu yang awalnya adalah korban, bahkan kehilangan kedua orangtua dan harta milik keluarga, pada akhirnya menikah dengan Medasing, perampok yang tiba-tiba berubah menjadi baik. Nyebelin, kalau kata orang sekarang. Perlawanan yang dilakukan Tantri dalam kisah Ni Diah Tantri berbeda. Ketika akan disunting menjadi istri, yang entah ke berapa oleh Raja Eswaryadala, Tantri secara berjilid-jilid mengisahkan perilaku para binatang, yang kemudian dikenal sebagai fabel. Lewat kisah-kisah itulah, perlahan Tantri menanamkan ajaran moral dan etika hidup kepada Raja Eswaryadala.
Di situ ada perlawanan etik yang cerdik. Tidak demikian dengan Anak Perawan di Sarang Penyamun dan Yuni. Meski memiliki akhir yang sengaja digantung, yakni pada scene terakhir Yuni pergi meninggalkan hajatan pernikahannya dengan Pak Damar, film ini tak menyodorkan jalan keluar apa pun bagi perempuan. Bisa saja ditafsir bahwa masalah-masalah yang membelit perempuan masih terus berlangsung sampai kini sehingga mereka harus terus memperjuangkan hak dirinya sendiri. Artinya, film Yuni tidak bertendensi menjadi motor dari industri moralitas yang sedang bangkrut.
Baca Juga: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Baleg Bahas Draf Baru
Yuni hanya memotret realitas. Pada sisi ini, film garapan Kamila menjadi eskapis, semacam tempat berlari dan mengaca diri, bahwa ada realitas timpang yang sedang kita hadapi bersama. Pertanyaan yang masih mengusik, bagaimana kita bersikap terhadap kasus-kasus prilaku bejat seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan? Bagaimana pula sikap kita semua ketika mendapat kabar bahwa perempuan muda bernama Novi bunuh diri setelah mengalami perkosaan dan tindak kekerasan oleh pacarnya sendiri, yang ternyata seorang polisi? Begitu juga, apa yang bisa kau dan aku lakukan terhadap 15 siswi sekolah dasar di Cilacap yang mengalami pelecehan seksual oleh guru agamanya sendiri?
Baca Juga: Kematian Tragis NWR, Alarm Kondisi Darurat Kekerasan Seksual
Data Komnas Perempuan menyebut, sepanjang 2015-2020 ada 51 pengaduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Kasus terbanyak terjadi lingkungan universitas sebanyak 27 persen dan kedua, 19 persen, di lingkungan pesantren, serta 15 persen di institusi SMA/SMK. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, menyebutkan, ”Kasus yang diadukan merupakan puncak gunung es karena umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak diadukan atau dilaporkan,” katanya seperti dikutip Kompas.com.
Baca Juga: Minim, Kasus Pemerkosaan yang Diproses Hukum
Pernyataan ini menguatkan dugaanku bahwa perempuan, sejak masa dongeng-dongeng seperti Ni Diah Tantri dahulu, kemudian zaman roman Anak Perawan di Sarang Penyamun, penyanderaan di Swedia, sampai kepada film Yuni, selalu berada dalam jaring laba-laba. Segala sesuatunya seolah transparan, publik bisa menyimak dan membuat kesimpulan tentang apa yang sedang terjadi, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Perempuan ditempatkan sebagai ”mangsa” yang terjebak dalam suatu ”birokrasi” sosial dan dilegitimasi dengan mitos-mitos sehingga kapan pun siap disantap oleh para ”pemangsa”.
Baca Juga: Masalah Kekerasan Seksual Kian Kompleks, RUU PKS Dibutuhkan
Predator-predator seks itu sejak dahulu tidak berada di jalanan yang liar, tetapi justru terlipat rapi di tempat-tempat suci, bahkan merasuki rumah-rumah Tuhan. Kau pasti masih ingat novel Victor Hugo, The Hunchback of Notre-Dame yang diterbitkan tahun 1831 itu, bukan? Novel bernuansa gotik itu tak lain adalah kritik Hugo terhadap kekuasaan absolut institusi gereja pada masa itu, padahal menyembunyikan begitu banyak hal tentang kebusukan.
Predator-predator seks itu sejak dahulu tidak berada di jalanan yang liar, tetapi justru terlipat rapi di tempat-tempat suci, bahkan merasuki rumah-rumah Tuhan.
Pesan paling jelas dari Yuni, coba mulai lihat secara jujur di sekitarmu, banyak perempuan sedang berada di sarang penyamun. Mereka berada di bawah ancaman dan tekanan sehingga menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Bukan tidak mungkin di antara mereka menjadi harmless, tidak merasakan bahwa perbuatan bejat sebagai kebejatan, tetapi ketakberdayaan bersama menghadapi ”birokrasi” sosial yang bertingkat-tingkat. Oleh sebab itu, para pemangsa seolah juga adalah korban dari sistem sosial yang menindas itu. Duh, jika ini sampai kejadian, habislah harapan kita semua. Sebab, perlawanan pertama-tama senyatanya adalah keberanian mengungkap, setidaknya menceritakan, mimpi buruk yang sedang menghantui kita semua.
Di situlah ternyata kita membutuhkan film atau cerita-cerita yang membebaskan lainnya. Dan, Yuni telah menjadi salah satunya….
Baca Juga: Pawai Putih