Informasi sebagai barang publik mendesak untuk diingatkan pada nyaris semua negara di dunia ini. Selain berita bohong dan berita yang sengaja disalahkan kian marak, tak sedikit pemimpin negara yang menutupi informasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
HAKON MOSVOLD LARSEN/NTB SCANPIX VIA AP
PM Norwegia Jonas Gahr Store (tengah) berdiri di antara peraih Nobel Perdamaian, Maria Ressa asal Filipina (kiri) dan Dmitry Muratov asal Rusia, dalam konferensi pers di kediaman perdana menteri, di Oslo, Sabtu (12/12/2021). Dua jurnalis penerima Nobel Perdamaian 2021 ini menerima penghargaan pada Jumat (11/12./2021). Mereka memperingatkan, dunia membutuhkan laporan berita yang independen untuk melawan pemerintahan otoriter.
Kita harus menjunjung tinggi kebebasan pers dan kebebasan berbicara, sebab pada akhirnya, kebohongan dan misinformasi bukanlah tandingan kebenaran.
Pernyataan Presiden Amerika Serikat (2009 2017) Barack H Obama itu banyak dikutip lagi saat peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 3 Mei 2021, yang bertemakan ”Informasi sebagai Barang Publik” (Information as a Public Good).
Pernyataan Presiden Obama menarik untuk diingatkan karena AS baru saja ”terlepas” dari kuasa Presiden Donald J Trump, yang terasa tidak memberikan ruang bagi perbedaan dan kebebasan pers. Ia bisa menolak keberadaan wartawan atau media yang tak sejalan dengannya di Gedung Putih.
Informasi sebagai barang publik mendesak untuk diingatkan pada nyaris semua negara di dunia ini sebab, selain berita bohong dan berita yang sengaja disalahkan kian marak, tak sedikit pemimpin negara yang menutupi informasi yang benar demi melanggengkan kekuasaannya. Tak sedikit pula penyelenggara negara yang tak bisa menerima keterbukaan, yang didorongkan oleh masyarakat pers di dunia. Tujuan dari tema itu adalah semakin memajukan keterbukaan dan memberdayakan masyarakat dengan informasi yang diproduksi, didistribusikan, dan diterima oleh publik secara benar.
AP PHOTO/GREGORY BULL
Petugas bea dan cukai berbicara dengan pengemudi di tengah kunjungan Menteri Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat Alejandro Mayorkas di pos lintas batas San Ysidro, San Diego, AS, 7 Desember 2021. AP dan Yahoo News mengungkapkan pemantauan terhadap sedikitnya 20 jurnalis oleh Divisi Penangkal Jaringan, unit di Badan Perlindungan Perbatasan dan Cukai (CBP) AS.
Namun, membaca pemberitaan di harian ini, sosok AS yang selama ini kiblat keterbukaan publik dan kemerdekaan pers menjadi goyah. Pemerintah AS terungkap lagi memata-matai puluhan jurnalis. Padahal, AS kerap mengecam aksi serupa, jika itu dilakukan negara lain. Dalam laporannya, Sabtu (11/12/2021), Associated Press (AP) dan Yahoo News mengungkapkan pemantauan terhadap sedikitnya 20 jurnalis oleh Divisi Penangkal Jaringan, sebuah unit di Badan Perlindungan Perbatasan dan Cukai (CBP) AS (Kompas, 13/12/2021).
Bahkan, pada era Presiden Barack Obama, AS tercatat pernah menyadap jurnalis dan editor AP pada April-Mei 2012. Kasus itu terungkap setelah Kejaksaan Agung AS menyurati AP yang tengah menyelidiki penangkapan teroris.
Associated Press (AP) dan Yahoo News mengungkapkan pemantauan terhadap sedikitnya 20 jurnalis oleh Divisi Penangkal Jaringan, sebuah unit di Badan Perlindungan Perbatasan dan Cukai (CBP) AS.
Tindakan Pemerintah AS yang menyadap wartawan adalah aib bagi sebuah negara demokrasi. Mungkin saja tindakan serupa dilakukan oleh banyak pemerintahan di dunia ini, tetapi semestinya tak terjadi di negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers dan kebebasan warga. Bagi Persatuan Kebebasan Warga AS (ACLU), penyadapan terhadap wartawan itu adalah wujud penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah. Tindakan itu bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang kerap disuarakan AS kepada negara-negara lain.
Indeks Kemerdekaan Pers tahun 2021, yang diterbitkan Reporters Without Borders, menempatkan AS berada di peringkat ke-44 dari 180 negara, berbeda jauh dari seterunya, China, di peringkat ke-177. RI di peringkat ke-113. China jelas mengawasi ketat wartawan. Lalu apa bedanya? Pers memang acap kali membuat tak nyaman siapa pun yang berkuasa.