Semoga kelak terus bermunculan para ahli hukum laut internasional, yang gigih dan benar-benar mempertahankan kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Oleh
Sri Handoko
·3 menit baca
Membaca Kompas (2/12/2021) tentang protes China, saya tidak habis pikir bagaimana memaknai protes itu. Karena saya bukan ahli hukum kelautan, akhirnya cuma membatin. Namun, saat membaca Opini Kompas (6/12/2021) berjudul ”Abaikan Protes China” tulisan Prof Hikmahanto Juwana, saya lega.
Saya mendapat ilmu serta pemahaman dari tulisan beliau. Berkali-kali saya membaca sampai benar-benar bisa memaknai maksud dan tujuan tulisan itu.
Soalnya, kalau melirik ke halaman 4 di koran yang sama, dengan judul ”Sihir 400 tahun VOC”, ngeri juga jika hal itu terjadi. Meski tulisan tersebut bisa dianggap tidak ada relevansinya, tidak ada salahnya jika kita waspada.
Membaca Hukum Laut Internasional, mengingatkan saya saat membeli buku berjudul Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja (Penerbit Buku Kompas, 2015) di Toko Gramedia. Luar biasa perjuangan beliau mempertahankan dan memperjuangkan Indonesia sehingga diakui sebagai negara kepulauan. Semoga banyak generasi muda yang membaca buku tersebut.
Semoga kelak terus bermunculan para ahli hukum laut internasional, yang gigih dan benar-benar mempertahankan kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Semoga tulisan Prof Hikmahanto menggugah wawasan kebangsaan dan harkat martabat bangsa.
Sri Handoko
Tugurejo, Tugu, Semarang 50151
Hujan di DKI
Sudah bosan kita membaca perbedaan pendapat tentang bagaimana seharusnya menangani air hujan di DKI Jakarta. Lama-lama yang muncul bukan upaya mencari solusi, melainkan menjadi pertentangan yang memuakkan.
Gubernur beserta semua aparatnya percaya bahwa limbah dari langit itu yang paling tepat dikembalikan ke bumi melalui resapan vertikal.
Sementara para ahli dan logika umum berpendapat, air limpahan itu seharusnya langsung didorong ke sungai dan laut. Mana yang betul, kami yang awam cuma bisa memilah berdasarkan akal sehat.
Seorang guru besar geoteknik lingkungan Prof Chaidir Makarim menulis artikel ”Duolog Tenggelamnya Jakarta” (Kompas, 2/11/2021). Menurut Makarim, para ahli geo-environmental engineering sependapat bahwa Jakarta tidak akan tenggelam. Amblesan permukaan tanah yang dikhawatirkan hanya merupakan perubahan mendadak akibat aspek geologi.
Dalam forum lain, Makarim menyebut membuat lubang resapan menggunakan beton sama sekali tidak benar.
Namun, dinas DKI tegar dengan kebijakannya, termasuk membuat lubang-lubang resapan bahkan di tengah jalan. Terus terang, saya, orang awam, makin bingung.
Media sosial pun makin ramai dengan komentar dan satire. Sementara hujan yang terus turun makin merajalela, membuat kawasan yang selama ini bebas banjir malah tergenang air.
Saya mengimbau pihak paling kompeten, para ahli di lembaga penelitian dan perguruan tinggi agar turun gunung. Berilah penjelasan menurut teori berdasarkan ilmu pengetahuan Anda. Ungkapkan dalam media atau jelaskan kepada petugas DKI serta para wakil rakyat.
Sesudah itu, saya harap para pembuat keputusan, termasuk Gubernur dan petugas lapangan, bisa mempertimbangkan tindakannya. Bukan mengukuhi logikanya sendiri.
Wakil rakyat di DPRD pun hendaknya mulai berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan demikian, rakyat awam akan mafhum dengan apa yang akan terjadi di tempat mereka bermukim.
Renville Almatsier
Jl KH Dewantara, Ciputat 15411, Tangerang Selatan
Joss Wibisono
Dalam kolom Udar Rasa (Kompas, 5/12/2012) Bre Redana menulis tentang tesis Joss Wibisono di Universitas Amsterdam, mengisahkan perlawanan keluarga Soejono di Belanda terhadap Nazi.
Bre Redana membuka Udar Rasa dengan kalimat: ”Teman baik Joss Wibisono menyelesaikan S-2-nya di Universitas Amsterdam...”.
Saya kira maksudnya ”Teman baik saya, Joss Wibisono, …”, bukan: ”Teman baiknya Joss Wibisono…”.