Dana desa halal dipakai saat desa dalam situasi bencana atau tanggap darurat, seperti evakuasi, lokasi pengungsian dan dapur umum, serta penyediaan selimut dan sarana lain.
Oleh
IVANOVICH AGUSTA
·4 menit baca
Bencana, terutama yang terjadi di akhir dan awal tahun kalender, kerap ditanggapi dengan kikuk.
Mengeluarkan anggaran dadakan jelang pertengahan Desember, apalagi sesudahnya, bisa membuhulkan pertanyaan pemeriksa warsa berikutnya. Pada Januari, kala anggaran belum lagi cair, bencana ditanggapi dengan iuran sukarela. Labirin desa untuk mencairkan anggaran bencana tak kurang berkelok.
Mitigasi bencana desa
Dibandingkan awal penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, jumlah desa yang mengalami bencana sedikit menurun, meski masih merambah lebih dari 10 persen desa. Pada 2014 tercatat 73.709 desa terkena bencana. Banjir melanda 14.739 desa, 7.145 desa terkena longsor, 6.194 desa terkena angin kencang, 1.380 desa mengalami pasang air laut, dan 16 desa tersapu tsunami.
Sebanyak 3.644 desa terguncang gempa bumi dan 360 desa terkena dampak gunung meletus. Adapun 4.746 desa mengalami kekeringan lahan dan 1.128 desa berada di area kebakaran lahan.
Pada 2020, dari 74.961 desa masih terdapat 10.429 desa kebanjiran, 5.348 desa dilanda tanah longsor, 3.329 desa terkena angin kencang, 1.101 desa tergenang pasang air laut, dan 10 desa dilimpas tsunami. Gempa bumi mengguncang 5.807 desa dan 66 desa terdampak gunung meletus. Lahan di 5.579 desa mengalami kekeringan, bahkan hutan di sekitar 2.966 desa terbakar.
Satu-satunya aspek mitigasi yang banyak membaik sepanjang 2014-2020 ialah perlengkapan keselamatan, seperti perahu, tenda, masker.
Yang mengkhawatirkan, tak banyak perkembangan peringatan dini bencana di desa, yakni dari 5.243 desa pada 2014 menjadi 5.489 desa pada 2020. Peringatan dini tsunami juga hanya sedikit bergeser, dari 435 desa menjadi 518 desa. Begitu pula jalur evakuasi bencana bertambah beberapa tapak, dari 4.173 desa menjadi 4.985 desa.
Satu-satunya aspek mitigasi yang banyak membaik sepanjang 2014-2020 ialah perlengkapan keselamatan, seperti perahu, tenda, masker. Baru 1.028 desa yang menyiapkannya pada 2014, lalu meningkat menjadi 7.612 desa pada 2020. Sayang, itu pun hanya mencakup 14 persen desa. Lagi pula, masih ada senjang 2.817 desa yang kerap terlanda bencana, tetapi tanpa peralatan memadai. Secara keseluruhan, baru 14 persen desa yang siap mitigasi bencana.
Anggaran bencana desa
Lantaran pembangunan desa dimaknai sebagai perubahan yang direncanakan secara sistematis, entropi yang menggerogotinya dirancang sekecil mungkin. Entropi itu tercatat sebagai akun belanja bencana dan tak terduga di APB Desa.
Pada 2015, bencana hanya menjumput 1,18 persen dana desa (DD). Nilainya tak pernah lebih dari 2 persen sampai 2019. Baru mulai 2020 sebanyak 37 persen atau Rp 27 triliun DD terserap untuk bencana, terfokus pada penanganan pandemi. Sebanyak Rp 3,2 triliun dialokasikan untuk pengadaan masker bagi warga (di 39.683 desa), penyediaan ruang isolasi desa (menyediakan 85.168 tempat tidur), serta operasional 1.880.174 relawan desa lawan Covid-19. Lalu, Rp 22,8 triliun disalurkan kepada 8,05 keluarga terdampak pandemi berupa BLT dana desa.
Pada 2021 diperkirakan pengeluaran bencana desa meningkat jadi Rp 31 triliun atau 43 persen. Sebanyak Rp 5,8 triliun digunakan untuk penanganan Covid-19, sementara Rp 25,2 triliun dibagikan sebagai BLT dana desa kepada 5,6 juta keluarga terdampak pandemi.
Sejak 2015, permendesa PDTT tahunan perihal prioritas penggunaan DD untuk tahun berikutnya senantiasa memberi ruang pengeluaran penanganan bencana. Mitigasi bencana mencakup pemahaman sadar bencana, pelatihan kebencanaan, dan pembangunan jalur evakuasi.
DD juga halal dipakai saat bencana atau tanggap darurat, seperti evakuasi, lokasi pengungsian dan dapur umum, serta penyediaan selimut dan sarana lain. Setelah bencana berlalu, DD berguna untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk membangun fasilitas yang roboh.
Ada dua hal pokok untuk mengeluarkan anggaran bencana dari APB Desa, yaitu sebagai hasil musyawarah desa dan selingkup wewenang desa. Karena merupakan dana publik, keputusan penggunaan APB Desa harus lahir dari musyawarah desa. Ini bisa dirancang desa pada tahun sebelumnya.
Adapun ketika dadakan terlanda bencana, kepala desa, aparat desa, dan wakil warga harus segera bermusyawarah secara khusus, diakhiri memutuskan pengeluaran darurat bencana. Proses dan hasil musyawarah desa khusus tetap harus didokumentasikan serta dicatat dengan sarana minimal yang tersedia saat itu.
Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi