Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa aliran neoliberalisme yang menghendaki peranan pemerintah seminimal mungkin tidak dapat dipertahankan. Terbukti, negara memegang peranan sangat penting dalam mengatasi pandemi.
Oleh
RILUS A KINSENG
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Covid-19 yang menyebar ke seluruh penjuru dunia sejak awal tahun 2020 telah menyebabkan perubahan sosial budaya yang sangat fundamental di seluruh dunia. Sosiolog Hanafi (2020) mengatakan bahwa ”The current disruption will change, at an unprecedented rate, how we eat, work, shop, exercise, manage our health, socialize, and spend our free time”. Senada dengan itu, Arundhati Roy mengatakan bahwa Covid-19 ”... struck hardest - thus far - in the richest, most powerful nations of the world, bringing the engine of capitalism to a juddering halt" (Financial Times, April 4, 2020).
Pada tulisan lain, saya (Kinseng, 2021) mendeskripsikan beragam perubahan sosial budaya yang terjadi di Indonesia sebagai akibat pandemi Covid-19, dari perubahan pola interaksi sosial keseharian hingga ritual agama yang sakral itu. Perubahan cepat yang mencakup berbagai sendi kehidupan secara fundamental ini menyebabkan krisis di berbagai segi kehidupan pula, termasuk segi kesehatan dan ekonomi; dua pilar kehidupan yang sangat vital.
Thomas Kuhn mengatkan, dalam ilmu pengetahuan, munculnya krisis paradigma lama mengindikasikan perlu perubahan paradigma. Dia bahkan mengatakan, ”Let us then assume that crises are necessary precondition for the emergence of the novel theories…” (Kuhn, 1970: 77). Sejalan dengan Kuhn, krisis akibat pandemi Covid-19 juga menunjukkan perlu perubahan paradigma kehidupan umat manusia di muka bumi ini, tak terkecuali di Indonesia. Banyak dimensi kehidupan umat manusia ini yang perlu didesain ulang atau diformat ulang.
Salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting untuk didesain ulang adalah sistem ekonomi. Menurut Chang, sejak 1980-an, dunia dikuasai oleh ”free-market capitalism” (Chang, 2010). Ideologi pasar bebas ini kita kenal pula sebagai neoliberalisme/neolib.
Pada intinya, ideologi ini mengajarkan bahwa pasar bebas itu merupakan sistem paling efisien dan adil dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, intervensi pemerintah dianggap akan mengganggu mekanisme pasar dan menyebabkan kerugian.
Menurut aliran ini, ”Government intervention is often design to limit the very scope of wealth creation for misguided egalitarian reasons” (Chang, 2010: xiv). Oleh sebab itu, para penganut aliran ini umumnya anti-intervensi pemerintah.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Aktivitas bongkar muat di pelabuhan peti kemas, Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (11/11/2019). Presiden Joko Widodo meminta menteri yang terkait bidang perekonomian untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan menggenjot kinerja ekspor melalui pencarian pasar nontradisional dan meningkatkan perjanjian perdagangan bebas dalam meningkatkan ekspor Indonesia.
Pentingnya peran pemerintah
Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa banyak hal penting yang amat mendasar bagi kehidupan ini yang tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme pasar. Soal vaksinasi, misalnya, jika diserahkan kepada mekanisme pasar, pasti akan menyebabkan gejolak sosial yang luar biasa.
Bisa dibayangkan jika vaksinasi diserahkan pada mekanisme pasar, biaya mungkin akan melambung, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan (supply dan demand) sehingga hanya kelas ataslah yang akan mampu mendapat vaksinasi. Demikian juga dengan akses pada fasilitas kesehatan, baik tempat (rumah sakit, hotel, dsb) maupun obat-obatan dan tenaga medis. Dalam konteks ini, Sizek bahkan mengatakan bahwa ”If state simply isolate, wars will explode” (Zizek, 2020:104).
Untungnya selama pandemi Covid-19 ini pemerintah melakukan berbagai intervensi, seperti menyediakan vaksin dengan gratis, menyediakan tempat isolasi dan perawatan dengan gratis (seperti Wisma Atlet dan apartemen), juga makanan dan obat-obatan gratis, bantuan sosial-ekonomi bagi banyak pihak yang terdampak Covid-19. Kalau tidak, memang bisa terjadi kerusuhan atau ”ledakan sosial”, seperti yang dikatakan oleh Zizek tadi.
Bayangkan juga jika tidak ada intervensi pemerintah berupa aturan-aturan, seperti harus pakai masker, jaga jarak, tidak berkerumun, pembatasan jam buka mal dan pasar, lockdown, dan seterusnya, apa yang akan terjadi? Tentu lebih banyak lagi korban jiwa yang meninggal akibat pandemi Covid-19 ini. Jadi, pandemi Covid-19 ini menunjukkan dengan terang benderang bahwa aliran neoliberalisme, yang menghendaki peranan pemerintah seminimal mungkin, jelas tidak dapat dipertahankan.
Pandemi Covid-19 ini menunjukkan dengan terang benderang bahwa aliran neoliberalisme, yang menghendaki peranan pemerintah seminimal mungkin, jelas tidak dapat dipertahankan.
Beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia selama masa pendemi Covid-19, yang menunjukkan ”the dark side of the human beings” semakin memperkuat argumen ini. Sebagai contoh, di awal-awal pandemi Covid-19 dulu kita ingat ada ”oknum-oknum” pedagang yang sengaja menimbun barang-barang yang sedang sangat diperlukan, seperti masker dan lain lain dengan tujuan mendapat keuntungan yang tinggi. Belakangan kita juga sempat dihebohkan oleh perilaku ”oknum” pengurus lahan pemakaman yang memasang tarif tinggi bagi orang-orang tertentu.
Kita melihat bahwa negara memegang peranan yang sangat penting dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya. Dan, ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara kampiun kapitalisme, seperti Amerika Serikat.
Melihat kegagalan pasar (kapitalisme) mengatasi pandemi Covid-19 ini, Zizek terang-terangan menawarkan komunisme sebagai alternatif. Jika tidak, yang terjadi adalah barbarisme baru (Zizek, 2020). Menurut Zizek, praktik komunisme ini sudah mulai berlangsung di Amerika Serikat pada saat pandemi Covid-19 ini. ”This is not a utopian Communist vision, it is a Communism imposed by the necessities of bare survival,” kata Zizek (2020:92). Walau tak sepakat dengan tawaran Zizek, sistem ekonomi ”free-market capitalism” atau sistem neoliberalisme jelas tak layak dipertahankan.
Pandemi Covid-19 ini merupakan ”a wake-up call” untuk menempatkan manusia sebagai pusat dalam sistem ekonomi. Sebab itu, sistem ekonomi negeri ini perlu didesain ulang. Dalam sistem ekonomi yang baru itu, harus dipastikan kesenjangan ekonomi yang sekecil mungkin.
Kita mestinya membangun sistem ekonomi yang sungguh-sungguh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang memberi mandat kepada negara untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sistem ekonomi kapitalis pasar bebas. Ingatlah, tanpa keadilan ekonomi, tidak ada keadilan sosial; tanpa keadilan sosial, tidak ada kedamaian yang sejati; dan tanpa kedamaian yang sejati, negara rapuh.
Negara rapuh karena rentan terhadap kerusuhan dan konflik sosial (social unrest) yang dapat menyebabkan disintegrasi hingga kehancuran bangsa. Jangan sampai hal itu terjadi di negeri tercinta ini.
Rilus A Kinseng,Guru Besar Sosiologi Pedesaan Departemen SKPM dan Kepala Divisi Knowledge Production CTSS-LPPM IPB University, Bogor