Melihat Inti Mesin Pembangunan AS dan China
Aspek-aspek yang membuat AS terhambat dan China berhasil mengatasi ketertinggalan perlu kita observasi, adopsi, dan adaptasi sesuai keperluan dan karakteristik kita.
Sejak periode menjelang terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, hingga Joe Biden, saat ini kondisi sosial-politik AS masih mengalami polarisasi.
Biden, dalam kampanyenya, berjanji mewujudkan sistem presidensi bagi semua warganya. Akan tetapi, sampai saat ini, polarisasi di AS belum mereda, bahkan pengamat perpolitikan AS mulai menyebutnya sebagai ”hyperconflict”, di mana orang tidak lagi memercayai siapa pun yang datang dari sudut pandang yang berbeda.
Di bidang ekonomi, saat ini AS negara paling kaya, dengan produk domestik bruto (PDB) 23 triliun dollar AS. Namun, polarisasi yang terjadi tak terlepas dari kondisi ekonomi internal AS.
Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, mengamati, 1 persen penduduk terkaya AS mengontrol paling tidak 40 persen kekayaan AS. Data menunjukkan 17 persen anak-anak di AS hidup dalam kemiskinan. Namun, di sisi lain, AS bisa memiliki miliuner seperti Elon Musk, satu-satunya swasta yang cukup kaya untuk bersaing dengan NASA untuk membangun peradaban di Mars dan, menurut Propublica, tak bayar pajak pendapatan.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh demokrat AS mengampanyekan ”tax the rich” (pajaki orang kaya). Akan tetapi, adanya Pandora Papers, FinCEN Files, dan Mauritius Leaks menunjukkan, walau Kementerian Keuangan AS powerful, mengambil manfaat pajak dari miliuner AS bukan suatu hal yang mudah.
Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, mengamati, 1 persen penduduk terkaya AS mengontrol paling tidak 40 persen kekayaan AS.
Di bidang pendidikan, kualitas sekolah dasar dan menengah publik juga semakin menurun dan tidak merata. Ada segelintir kecil sekolah publik yang alumninya jadi pemenang Nobel, tetapi semakin banyak sekolah publik AS yang kekurangan dana, guru, dan hanya menghasilkan berandalan. Meski demikian, sebagai negara paling kaya dan pemenang Perang Dunia, AS masih adidaya.
Walaupun pemerintahnya pemegang utang terbesar sedunia (29 triliun dollar AS), dollar AS masih menjadi mata uang sentral perdagangan dunia dan salah satu fondasi pertumbuhan ekonomi global. Saat ini tak ada mata uang/gabungan mata uang alternatif lain yang mampu menantang dominasi dollar AS.
Walaupun kadang risiko pasar berasal dari internal AS sendiri, investor-investor tetap memegang dan beli dollar AS. Tergantung kepemimpinan AS dalam menggunakan keunggulan strategis ini untuk kembali membangun ekonominya dan mempertahankan global order.
Baca juga : Kabar Baik, Kualitas Manusia Indonesia Meningkat
Kondisi dan evolusi China
Menyimak evolusi China sangatlah menarik. Setelah Perang Dunia II, China adalah negara sangat miskin. Akan tetapi, sejak kepemimpinan Deng Xiaoping, China mulai membuka diri dan mereformasi ekonominya, pertumbuhan PDB rata-rata hampir selalu 10 persen per tahun.
Saat ini diperkirakan lebih dari 800 juta jiwa telah terangkat dari kemiskinan. Pertumbuhan China juga tak hanya bersumber dari industri padat karya bernilai tambah rendah (low added value labor intensive), tetapi berangsur-angsur datang dari pertumbuhan berbasis inovasi dan teknologi.
Sejak reformasi, China setiap tahun mengirim sekitar 600.000 pelajar ke luar negeri. Selama 40 tahun ini sudah ada 24 juta scholars lulusan luar negeri. Mereka tak hanya lulus dari Strata 1 (S-1), tapi juga banyak yang mengambil doktor dari universitas-universitas terbaik AS. Diperkirakan 10 persen lebih kembali, jadi China punya lebih dari 2,4 juta pemegang PhD luar negeri.
Selain itu, setiap tahun di China ada sekitar tujuh juta lulusan S-1, dan 60 persennya jurusan STEM (science, tech, engineering, and math). Selama masa reformasi, terakumulasi 168 juta engineers, tersebar di parpol, pejabat eksekutif, BUMN, dan perusahaan swasta.
Akumulasi kapasitas sains dan teknologi ini menunjukkan buahnya. Produksi hak paten merupakan salah satu ukuran kemampuan berinovasi. Dulu banyak orang percaya China hanya bisa meng-kopi, bukan inovasi, sedangkan AS selalu juara sebagai negara produsen paten terbanyak. Namun, tahun lalu, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) mengumumkan, China juaranya.
Setiap tahun, jumlah paten yang diproduksi China tumbuh 9-10 persen, 75 persen lebih pemegang paten bergelar doktor, sehingga hanya dalam 10 tahun China menyalip sembilan negara juara bertahan, menjadi negara produsen paten terbanyak di dunia.
Pencapaian yang luar biasa ini tak terlepas dari orkestrasi strategi pembangunan manusianya yang luar biasa. China memilih 25 universitas terbaik, dan tiap universitas ini punya 2-3 core excellences, yang komplementer dengan universitas lain. Guru-guru terbaik juga jadi bagian dari sekolah-sekolah ini.
Belajar dari keduanya, China beradaptasi dan mengadopsi sistem sosialis-pasar.
Pada masa kepemimpinannya, Deng Xiaoping secara umum melakukan dua reformasi besar. Pertama, reformasi institusi, dari Marxis menjadi sosialis-pasar yang memperbolehkan adanya kepemilikan individu, di samping kepemilikan kolektif. China melihat keberhasilan konsep laissez faire Adam Smith dan sistem persaingan pasar, serta kegagalan Marxisme. Belajar dari keduanya, China beradaptasi dan mengadopsi sistem sosialis-pasar.
Indonesia juga sudah mengambil sistem teroptimal, seperti yang dicetuskan dalam UUD Pasal 33. Hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak diatur negara, sedangkan aspek-aspek lain dilaksanakan oleh pihak swasta.
Kedua, China melakukan reformasi BUMN. Indonesia juga sudah melakukan ini. Pengelolaan BUMN-BUMN di China diserahkan kepada profesional sehingga bisa tumbuh menjadi perusahaan modern yang kompetitif. Maka kita bisa lihat perusahaan-perusahaan terkuat dunia, seperti perusahaan nikel dan batubara, dan juga perusahaan terinovatif, banyak di antaranya adalah perusahaan BUMN China.
Baca juga : Tantangan Pendidikan Bangsa
Pelajaran dari AS dan China
Aspek-aspek yang membuat AS terhambat dan China berhasil mengatasi ketertinggalan inilah yang perlu kita observasi, adopsi, dan adaptasi sesuai keperluan dan karakteristik kita.
Pertama, situasi pemilihan pemimpin dengan platform yang sangat berbeda seperti Trump, lalu Biden, ternyata tak menyelesaikan polarisasi, bahkan bukan tak mungkin ke depan menghasilkan suatu disfungsi sosial-politik. Jika kita jalan-jalan ke AS, kita bahkan sering melihat tunawisma ada di kompleks-kompleks terelite, seperti Los Angeles dan New York. Walaupun keahlian sains dan teknologi AS terdepan, disfungsi sosial-politik bisa menghambat pertumbuhan ke depan.
Kedua, China dari dulu sudah membuat perencanaan bagaimana mengadopsi dan mengadaptasi sistem sosialis dengan karakteristik pasar, dan merencanakan pembangunan SDM-nya supaya ekonomi bisa terus tumbuh tinggi dan berkualitas. Rencana pembangunan ini diimplementasikan berkesinambungan walau pemimpin negara berganti dan dalam situasi sosial politik yang stabil.
Ketiga, Dani Rodrik, ekonom spesialis pertumbuhan, mengobservasi bahwa modal manusia jadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. AS sendiri dulu berhasil menyalip kepemimpinan teknologi Jerman karena reformasi lembaga pendidikan tinggi (HEI) dan interaksi HEI dengan pemerintah dan industri yang kolaboratif sehingga mampu menghasilkan kawasan seperti Sillicon Valley dan South San Francisco (Biotech).
Demikian juga Jepang dan China yang sudah membentuk sistem triplehelix (pemerintah, industri, akademisi) untuk terus membangun tingkat national innovativeness yang mampu melahirkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Ketika saya bertemu Presiden MIT dan Presiden NUS, interaksi akademisi-industri-pemerintah inilah yang jadi kunci peningkatan level national innovativeness. Kesuksesan China tak lepas dari kestabilan dan kepemimpinan Xi Jinping yang melanjutkan pembangunan pemimpin sebelumnya.
Presiden Jokowi memiliki rekam jejak mengisi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menghapus subsidi yang tak tepat sasaran, membangun infrastruktur, dan SDM. Selain itu, penanganan pandemi Indonesia juga dipuji di luar negeri, infeksi terkontrol dengan baik, pertumbuhan ekonomi terjaga, serta pengelolaan utang dan manajemen keuangan publik tetap kredibel.
Kehadiran Presiden pada COP 26 dan G-20 juga menaikkan peran diplomasi Indonesia di tingkat global. Kualitas kepemimpinan dan reputasi di tingkat global ini adalah aset yang penting untuk mendukung core pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Jika kita melihat perkembangan suatu negara, kita tak cukup hanya melihat ukuran dan pertumbuhan PDB, tapi juga harus melihat inti mesin atau core-nya. Ibarat kita melihat macan, tidak cukup melihat lorengnya. Kita juga harus melihat kuku dan taringnya yang, walaupun tak bisa langsung terlihat, tanpa kuku dan taring yang sesuai, makhluk itu belum tentu macan riil.
Dato Sri Tahir, Pendiri Mayapada Group