KPK, Konvensi Antikorupsi dan Tipikor
Ada pertanyaan yang selama ini luput direfleksikan pada setiap perayaan Hari Antikorupsi Sedunia, yaitu sepatuh apa kita pada Konvensi Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption) yang sudah diratifikasi.
Kendati sempat diwarnai insiden dugaan malaadministrasi berlapis, pelanggaran HAM berganda dalam proses perubahan status pegawainya, dan pelanggaran etik berat pimpinan, secara kelembagaan, Komisi Pemberantasan Korupsi masih bisa memimpin selebrasi Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember ini.
Ada pertanyaan yang selama ini luput direfleksikan pada setiap perayaan Hari Antikorupsi Sedunia, yaitu sepatuh apa kita pada Konvensi Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC?
Pertanyaan itu juga sangat relevan sekaitan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menurun drastis sebesar tiga poin, dari 40 (skala 0-100) pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Padahal, upaya menaikkan skor satu poin saja sulitnya bukan main. Transparency International Indonesia yang meliris indeks tersebut pada akhir Januari 2021 menyebut drastisnya penurunan skor IPK disebabkan oleh kurang bebas dan mandirinya KPK pascarevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Namun, sebenarnya gelagat perubahan independensi KPK bisa ditarik jauh ke belakang. Pada 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui keputusan No 012-016-019/IV-PUU/2006 menempatkan KPK, dalam sistem ketatanegaraan, sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.
Belakangan, MK berubah pikiran, dengan keputusannya No 36/PUU-XV/2017, KPK ditempatkan sebagai lembaga eksekutif khusus yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor) sehingga bisa menjadi obyek hak angket DPR. Dari sini perubahan independensi KPK dimulai dan terus berlangsung sampai sekarang.
Baca juga : KPK Minta Presiden Pimpin ”Orkestra” Pemberantasan Korupsi
Menilai kepatuhan pada konvensi ini sebangun dengan mempertanyakan komitmen dan kesungguhan kita memberantas korupsi secara sistemik dan berkelanjutan, tidak hanya pada tataran nasional, tetapi juga internasional.
Anatomi konvensi
UNCAC adalah perjanjian internasional yang diadopsi dalam Sidang Umum PBB pada 23 Oktober 2003. Dua tahun kemudian, Desember 2005, konvensi tersebut mulai efektif. Sampai Mei 2019 sudah ada 189 negara yang meratifikasi konvensi ini. Apa sebenarnya yang diatur dalam konvensi ini?
Konvensi ini terdiri dari 8 bab dan 71 pasal. Dimulai dari Bab 1 tentang ketentuan umum, bab berikutnya bicara tentang pencegahan korupsi, pemidanaan dan penegakan hukum, kerja sama internasional, pengembalian aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi, mekanisme implementasi, dan terakhir bab penutup tentang aksi atau proses yang diperlukan untuk mengimplementasikan konvensi ini, di antaranya tentang penyelesaian sengketa.
Dalam Ketentuan Umum disebutkan tujuan konvensi ini adalah: 1) mempromosikan dan memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penindakan korupsi secara efektif dan efisien; 2) mempromosikan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan penindakan korupsi termasuk asset recovery (pelacakan, pembekuan, penyitaan, pengelolaan, dan pengembalian aset hasil korupsi ke negara); dan 3) mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen yang baik dalam pengelolaan pelayanan dan aset publik.
Bobot ketentuan pasal per pasal dalam konvensi ini berbeda, ada yang wajib (mandatory) dan juga tidak wajib (non- mandatory). Dalam praktik review-nya yang tak wajib dipilah jadi dua: 1) perlu dipertimbangkan untuk diadopsi dan 2) opsional. Sebagai contoh dalam tindakan mencegah korupsi (Bab 2), wajib hukumnya mempunyai lembaga antikorupsi yang independen (Pasal 6).
Demikian juga wajib hukumnya 1) mengembangkan partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi, termasuk memperkuat transparansi dan akses publik pada pengambilan keputusan terkait pemberantasan korupsi (Pasal 13), dan 2) mengembangkan regulasi dan lembaga untuk mendeteksi dan mengendalikan kejahatan pencucian uang (Pasal 14). Harus, tapi tak wajib misalnya, memperkuat transparansi dana kampanye dan pendanaan partai politik (Pasal 7).
Dalam hal penindakan (Bab 3), klausul yang wajib ada itu, misalnya, suap pegawai asing dan pegawai lembaga internasional (Pasal 16). Sementara klausul yang harus ada, tetapi tidak wajib di antaranya dagang pengaruh/influential in trading (Pasal 18), illicit enrichment (Pasal 20), dan suap di sektor swasta (Pasal 21). Kendati wajib, kalau keberatan dengan klausul tertentu—yang dianggap tak sesuai atau bertentangan dengan hukum nasional—konvensi ini sudah menyediakan mekanisme jalan keluar yang baik seperti diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) tentang penyelesaian sengketa.
Sementara rekomendasi yang berkaitan dengan pengembalian aset, meski belum cukup, sudah mencatat kemajuan.
”Review” Putaran I dan II
Implementasi konvensi ini di Indonesia sudah di-review dua kali (putaran), Putaran I (2010-2015) dan Putaran II (2016-2018). Hasil kedua review memperlihatkan masih ada kesenjangan cukup lebar antara UU Tipikor dan UU lain yang terkait pemberantasan korupsi dengan Konvensi Antikorupsi.
Review Putaran I yang mengevaluasi Bab 3 tentang pemidanaan dan penegakan hukum dan Bab 4 tentang kerja sama internasional dilakukan oleh Inggris dan Uzbekistan. Ada 32 rekomendasi yang dihasilkan dari review Putaran I, di antaranya menyangkut pemidanaan atas suap yang dilakukan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional (Pasal 16), manajemen perampasan, pembekuan dan penyitaan aset (Pasal 31), pengaturan batas waktu ekstradisi koruptor (Pasal 44), dan lain-lain.
Dari 32 rekomendasi yang dihasilkan dari review Putaran I, baru delapan yang sudah diadopsi dan diintegrasikan ke dalam UU Tipikor dan UU lain yang relevan dengan pemberantasan korupsi. Hal itu, misalnya, rekomendasi terkait Pasal 25 tentang perlunya kajian mengenai implementasi klausul tindak pidana yang menghalang-halangi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tipikor sudah diadopsi dan diimplementasikan. Kajian ini sudah dilakukan oleh Pusako Universitas Andalas yang difasilitasi oleh United Nations Office on Drug and Crime (UNODC).
Baca juga : Sekoci Antikorupsi
UU Tipikor—UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001—saat ini baru mengatur 30 jenis tipikor yang bisa dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: 1) penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian keuangan negara, 2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan curang, 6) konflik kepentingan dalam pengadaan, dan 7) gratifikasi.
Jenis korupsi lain seperti direkomendasikan Tim Review Mekanisme Implementasi Konvensi (TRMIK), misalnya, suap sesama swasta, peningkatan kekayaan secara tak sah (illicit enrichment), dagang pengaruh (influence trading), dan suap yang melibatkan pejabat organisasi internasional/asing, belum masuk dan diatur dalam UU Tipikor.
Sementara review Putaran II yang mengevaluasi Bab 2 tentang pencegahan korupsi dan Bab 5 tentang pengembalian aset dilakukan oleh Ghana dan Yaman. Tim Ghana dan Yaman ini menghasilkan 21 rekomendasi, di antaranya menyangkut UU pengadaan barang jasa (Pasal 9), penguatan integritas lembaga peradilan (Pasal 11), pengembalian aset koruptor di luar negeri (Pasal 55), dan lain-lain. Indonesia sendiri pernah jadi reviewer untuk implementasi konvensi ini, Putaran I di Iran di 2013 dan Putaran II di Kirgistan di 2015.
Dari 21 rekomendasi yang dihasilkan review Putaran II , baru 12 yang sudah diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam UU Tipikor dan UU lain yang relevan dengan pemberantasan korupsi. Penerbitan dan implementasi Perpres No 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi bisa dilihat sebagai penanda diadopsi dan dipraktikannya rekomendasi TRMIK tentang perlunya mengembangkan strategi pencegahan korupsi yang programatik/sistematik.
Sementara rekomendasi yang berkaitan dengan pengembalian aset, meski belum cukup, sudah mencatat kemajuan. Pemerintah, misalnya, menandatangani Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Pemerintah Swiss pada Februari 2019. Swiss dikenal sebagai salah satu kawasan sekretif, yang melayani jasa keuangan sekretif, termasuk penyembunyian identitas pemilik dan asal-usul aset.
Aksentuasi pentingnya kerja sama hukum dengan kawasan sekretif makin terasa saat pemerintah sedang memburu aset pengemplang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bisa saja disembunyikan di kawasan sekretif.
Memulihkan harapan dan kepercayaan publik
Kalau tidak ada aral melintang, pada 2022 nanti, menurut rencana, kita akan kedatangan TRMIK untuk melihat sejauh mana rekomendasi yang disampaikan TRMIK Putaran I (2010-2015) dan Putaran II (2016-2018) sudah diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam UU Tipikor dan UU lain yang terkait dengan pencegahan dan penindakan korupsi.
Menjelang kedatangan TRMIK itu bisa menjadi stimulus bagi institusi penegak hukum, khususnya KPK dan pemerintah, untuk mengagendakan perubahan UU Tipikor dan UU lain yang terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Langkah ini selain akan a) memperluas kewenangan APH (aparat penegak hukum) dalam memberantas korupsi, b) mempersempit gap antara UU Tipikor dan Konvensi Antikorupsi, dan juga c) menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita patuh (comply) dan terdepan dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Berbarengan dengan itu akan lebih afdal juga kalau KPK dan pemerintah sama-sama sepaham untuk mengintensifkan kembali operasi tangkap tangan koruptor kelas kakap. Kombinasi dua langkah itu, pencegahan dan penindakan korupsi, pasti akan memulihkan harapan dan kepercayaan publik kepada KPK dan pemerintah. Kalau ingin dikenang publik sebagai pemimpin yang baik sepanjang masa, tak ada jalan lain, opsi tersebut harus diambil.
(Dedi Haryadi, Staf Ahli pada Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi)