Kehadiran pemerintah untuk mencegah buruh dan keluarganya jatuh miskin akibat upah yang rendah sangat dibutuhkan. Pemerintah perlu minimal mempertahankan daya beli buruh, antara lain, dengan memberikan kompensasi.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Penetapan upah minimum 2022 merupakan yang pertama kalinya berada di bawah angka inflasi tahunan 2021, kecuali Banten, Kalimantan Utara, DI Yogyakarta, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua (Kompas, 24/11/2021).
Secara faktual, provinsi dengan kenaikan upah minimum (UM) 2022 di bawah angka inflasi akan mengalami penurunan upah secara riil. Pada gilirannya, penurunan upah secara riil itu menurunkan daya beli buruh dan berpotensi menjadikan sebagian buruh jatuh miskin, dan memperparah kemiskinan pada sebagian buruh lainnya.
Padahal, salah satu tujuan penetapan UM adalah untuk menurunkan angka kemiskinan. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, dalam siaran pers, Minggu (14/11/2021), menyebutkan, penetapan UM dimaksudkan sebagai salah satu instrumen penanggulangan kemiskinan.
Padahal, salah satu tujuan penetapan UM adalah untuk menurunkan angka kemiskinan.
Keluarga buruh miskin
Namun, dengan mencermati semakin rendahnya upah buruh secara riil, tampaknya hal itu tak sejalan dengan tujuan UM sebagai salah satu instrumen penanggulangan kemiskinan. Bahkan, dengan kian turunnya upah buruh secara riil dikhawatirkan akan kian meningkatkan angka kemiskinan. Tentunya hal itu bertolak belakang dengan program penurunan angka kemiskinan yang dicanangkan pemerintah
Sejatinya pemberlakuan UM memang pantas untuk buruh yang belum berkeluarga, mengingat besaran upahnya jauh di atas garis kemiskinan. Artinya, bagi buruh lajang upah yang diterima dapat memenuhi kebutuhannya, baik pangan maupun nonpangan.
Di Jawa Barat, misalnya, UM 2022 tercatat Rp 1.841.487 (Kompas, 15/11/2021). Sementara garis kemiskinan per kapita/bulan pada Maret 2021 di provinsi itu Rp 427.402.
Namun, bagi buruh yang berkeluarga, faktor kecukupan UM untuk memenuhi kebutuhan hidup, bergantung pada jumlah anggota rumah tangga (ART). Pada kasus di Jabar, upah minimum Rp 1.841.487 hanya cukup untuk empat orang, yaitu buruh dan istrinya serta dua anak yang tidak bekerja.
Sementara untuk buruh dengan ART lima orang atau lebih dengan ART lainnya tak bekerja, hampir dapat dipastikan buruh dan keluarganya berstatus miskin. Kehidupan buruh dengan ART yang banyak memang bisa terbantu jika perusahaan memberlakukan sistem pengupahan berbasis struktur dan skala upah. Buruh dengan ART semakin banyak diperkirakan memiliki pengalaman bekerja yang semakin lama di perusahaan sehingga patut memperoleh upah yang kian besar.
Namun, pemberlakuan struktur dan skala upah dalam suatu perusahaan cukup sulit dikontrol pelaksanaannya.
Hal ini mengingat dalam kepatuhan membayar UM sekalipun ditengarai belum dipatuhi semua perusahaan. Pandemi Covid-19 memang menyebabkan dampak buruk terhadap sebagian perusahaan, sementara sebagian perusahaan lain justru menunjukkan kinerja baik. Hal ini, antara lain, tecermin dari disparitas pertumbuhan antarsektor atau lapangan usaha.
Berdasarkan rilis BPS, 5 November 2021, tentang pertumbuhan ekonomi triwulan III-2021 terlihat bahwa hanya lapangan usaha transportasi dan pergudangan serta lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh negatif. Lapangan usaha transportasi dan pergudangan tumbuh minus 0,72 persen sementara lapangan usaha akomodasi dan makan minum tumbuh minus 0,13 persen pada triwulan III-2021 terhadap triwulan III-2020 (y on y).
Sebaliknya, lapangan usaha lainnya tumbuh positif. Bahkan, lapangan usaha jasa kesehatan dan kegiatan sosial tumbuh 14,06 persen dan lapangan usaha pertambangan dan penggalian tumbuh 7,78 persen, jauh di atas pertumbuhan agregat sebesar 3,51 persen pada triwulan III-2021 terhadap triwulan III-2020 (y on y).
Sepatutnya, buruh yang bekerja pada lapangan usaha atau sektor yang tumbuh positif itu menerima kenaikan upah yang lebih tinggi. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan mengingat formula pengupahan berdasarkan PP No 36/2021 tak memberlakukan sistem pengupahan berdasarkan sektor. Meski demikian, sejumlah pihak menyarankan dibukanya ruang negosiasi untuk meningkatkan UM, terutama pada perusahaan yang berkinerja baik.
Kompensasi
Namun, jika ternyata UM memang sulit dinaikkan karena jika dipaksakan naik dikhawatirkan akan menurunkan animo perusahaan menambah pekerja baru dan meningkatkan pengangguran, pemerintah sepatutnya tidak membiarkan buruh terpuruk dengan upah riil menyusut. Sebab, dengan upah riil menyusut atau menjadi rendah, daya beli buruh menurun dan berpotensi menjadi miskin.
Menurunnya daya beli buruh pada gilirannya berpotensi menurunkan kualitas hidup, terutama pada anak-anak.
Menurunnya daya beli buruh pada gilirannya berpotensi menurunkan kualitas hidup, terutama pada anak-anak. Umumnya, ketika daya beli turun, pengeluaran rumah tangga akan terkonsentrasi pada pangan sehingga mengakibatkan pengeluaran nonpangan berkurang, khususnya pada pendidikan dan kesehatan. Keadaan ini tentunya cukup membahayakan bagi pengembangan sumber daya manusia di Tanah Air.
Beban pemerintah di masa datang justru berpotensi kian berat karena sulit memberdayakan anak-anak yang tumbuh dengan kualitas rendah.
Maka, atas dasar itu, diperlukan kehadiran pemerintah untuk mencegah buruh dan keluarganya jatuh miskin akibat upah yang rendah. Pemerintah perlu minimal mempertahankan daya beli buruh, antara lain, dengan memberikan kompensasi atas menyusutnya upah riil buruh. Sejatinya memang, pemerintah tak hanya bisa membuat peraturan, seperti halnya peraturan pengupahan, tetapi juga perlu mengantisipasi konsekuensi dari dampak peraturan yang dibuat.
Razali Ritonga
Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University, AS dan Lemhannas RI Angkatan Ke-46