Sekoci Antikorupsi
Sekoci antikorupsi seperti komunitas PAK perlu berjejaring dan bersatu menjadi gerakan sangkil dan mangkus, terutama untuk merawat mata hati dan mata pikiran kaum muda dalam menghadapi dan merespons kejahatan korupsi.
Pasca-Reformasi, konsolidasi menuju demokrasi substansial justru melemah dengan menguatnya oligarki dan suburnya korupsi. Regresi demokrasi ini memberi petunjuk pengingkaran atas mandat politik elektoral dan mandat pengelolaan dana publik. Pendeknya, pengkhianatan terhadap aspirasi dan kepercayaan rakyat.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut lebih dari 429 kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak tahun 2005 terjerat korupsi, dengan sekitar 130 orang di antaranya ditangani KPK. Politik uang yang melekat dalam kultur dan praktik politik belum direspons serius sehingga kasus baru terus bermunculan laksana fenomena gunung es.
Fakta lain yang sangat mengejutkan dan memprihatinkan, korupsi juga telah menjalar ke desa. Indonesia Corruption Watch mencatat, pada semester pertama 2021, terdapat 62 kasus aparat pemerintahan desa menjadi tersangka korupsi. Gejala ini menimbulkan kekhawatiran alokasi anggaran desa 2021 senilai Rp 72 triliun rawan bocor.
Seluruh realitas ini seperti menihilkan amanat utama Reformasi: penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Bahkan cukup banyak kepala daerah terbukti korupsi, ”mewariskan” estafet kepemimpinan pada kerabat dekat. Berjangkitnya rezim dinasti di daerah merepresentasikan ekses bawaan wabah politik uang dalam sistem elektoral cacat pengaturan dan pengawasan.
Pasca-Reformasi, konsolidasi menuju demokrasi substansial justru melemah dengan menguatnya oligarki dan suburnya korupsi.
Rigiditas parpol
Kita perlu mengingat pesan Bung Hatta yang mengkhawatirkan korupsi lambat laun bisa menjelma menjadi kanker ganas dan menghancurkan cita-cita kemerdekaan. Perilaku korup dan melewati batas kepatutan yang dilakukan elite politik dan para pejabat publik bertolak belakang dengan teladan standar moral tinggi dan bebas konflik kepentingan yang dicontohkan para pendiri Republik. Konstatasi proklamator itu seharusnya melecut semua pihak untuk membangun simpul-simpul integritas agar bangsa terhindar dari kerusakan moral dan material parah.
Bukti kuat bahwa biaya tinggi pemilu memicu korupsi belum cukup mendorong partai politik untuk mengupayakan perubahan fundamental segenap undang-undang dan aturan pelaksanaannya. Keganjilan lain aturan pemilu adalah perbuatan yang menurut hukum masuk kategori kejahatan korupsi, tetapi dikualifikasikan menjadi tindak pidana pemilu. Kerancuan ini membawa dampak buruk karena deteksi dini dan pencegahan korupsi menjadi kehilangan relevansinya dan selalu terlambat mengantisipasi perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam pemilu.
Resistensi atau keengganan partai politik untuk menjalani proses transisi menuju partai modern, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan dan sistem rekrutmen, ditengarai akibat kuatnya pengaruh oligarki di tubuh elite.
Baca juga : BUMN di Pusaran Kasus Korupsi
Usulan pendanaan partai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber-sumber yang sah agar memenuhi syarat akuntabilitas dan mencegah wabah politik uang sejauh ini tidak mendapatkan respons setimpal. Inilah jalan terjal mewujudkan demokrasi berkualitas dan upaya terukur mencegah korupsi terstruktur.
Paralel dengan ekosistem dan kultur politik yang masih jauh dari prinsip keterbukaan, reformasi birokrasi sejauh ini belum ada tanda-tanda mengarah pada perbaikan kelembagaan yang berbasis pada integritas dan pencapaian kemanfaatan optimal (outcome).
Selama audit kinerja hanya bertumpu pada realisasi fisik dan penyerapan anggaran, akan sulit bahkan mustahil mengikis artefak fraud yang merasuk ke dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan.
Dua masalah besar: rigiditas parpol dalam mereformasi dirinya dan kejumudan birokrasi berkontribusi besar pada masifnya korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan maraknya krisis etika. Problem ini juga menghambat pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance ) dan anti-fraud di seluruh sendi pelayanan publik.
Temuan valid dan telah menjadi fakta umum bahwa terungkapnya hampir semua kasus korupsi bukan merupakan perbuatan perseorangan, melainkan kolektif dan tidak hanya dilakukan sekali-dua, membuktikan bekerjanya kolusi politik-birokrasi.
Dampak kerusakan yang ditimbulkan sangat luas dan parah karena menyentuh langsung hajat hidup orang banyak sebagaimana tecermin pada kehancuran lingkungan di daerah-daerah kaya sumber daya alam (SDA).
Hasil studi dan identifikasi prakondisi pusaran dan kelindan korupsi bermuara pada tiga hal berikut: kuatnya patronase politik, kekuasaan tanpa pengawasan memadai, dan kesempatan untuk mengukuhkan kolusi dengan pemodal dalam jangka lama.
Selain menimbulkan banyak konflik kepentingan, juga menyembulkan indikasi baru bahwa kemunculan pengusaha baru, terutama di sektor tambang dan perkebunan, bermula dari bekerjanya mesin politik patronase ini.
Baca juga : Mari Menjadi Pelopor Kejujuran
Dari uraian tersebut, muskil menafikan intervensi politik kekuasaan dan modal dalam pembuatan peraturan dan kebijakan. Jika kecenderungan ini dibiarkan terus berlanjut dan berkembang, bakal mengancam sendi kehidupan rakyat, menyisakan endapan kerusakan yang sukar diperbaiki, dan membuat demokrasi berada di ujung tanduk kehancuran.
Dalam skala dan tataran lebih luas, korupsi terkait dengan eksploitasi SDA akan mengubur harapan pembangunan berkelanjutan, mengukuhkan kutukan Dutch disease, meningkatkan pengangguran, membuat laju pertumbuhan fluktuatif dan rawan guncangan, serta menyebabkan kualitas lingkungan hidup memburuk.
Kasus korupsi tinggi di daerah-daerah kaya SDA, tetapi dipimpin oleh kepala daerah miskin integritas menunjukkan kelengahan dan kelemahan mencolok dalam mengamankan amanat konstitusi. Pembatalan bersyarat Undang-Undang Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi dapat menjadi ”pintu masuk” untuk menggulirkan dan mengawal prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Seturut ini, perlu dilakukan koreksi dan evaluasi mendasar terhadap kebijakan yang menekankan pertumbuhan, tetapi mengabaikan kerusakan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan.
Pentingnya sekoci
Serangan dan pelemahan atas KPK sejak berdiri 2003 tidak dapat dilepaskan dan berada dalam sirkulasi politik dan penguasaan sumber daya material ini. Tumbal nyawa almarhum Imawan Randi dan Yusuf Kardawi yang diabadikan menjadi nama auditorium Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Desember 2019 menjadi ikon pengorbanan kaum muda untuk menyelamatkan masa depan negerinya.
Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, itu tewas pada 26 September 2019 saat ikut berdemonstrasi menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Hukum Pidana (KUHP) dan revisi Undang-Undang KPK. Memori kita juga belum hilang atas korban ribuan nyawa selama Reformasi 1997-1998 untuk memimpikan Indonesia bebas KKN.
Pelajaran berharga dari rentetan peristiwa itu semestinya menyadarkan perlunya melebarkan, meluaskan, dan memastikan terbangunnya gerakan pencegahan dan perlawanan masif, terutama di kalangan kaum muda terdidik dan peduli. Kondisi faktual politik yang seolah-olah menutup peluang atau menemukan ”jalan buntu” dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu disikapi dan direspons dengan pendekatan pendidikan dan budaya.
Korupsi—seperti penyakit peradaban lainnya—menuntut persistensi gerakan dan jaringan melintasi zaman dan rezim. Korupsi bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga berhubungan dengan mentalitas dan martabat bangsa.
Korupsi—seperti penyakit peradaban lainnya—menuntut persistensi gerakan dan jaringan melintasi zaman dan rezim.
Pengalaman Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi menginisiasi komunitas Pemuda/i Anti Korupsi (PAK) sejak tahun lalu dengan menjaring anggota dari seluruh negeri menyembulkan optimisme, masih banyak mahasiswa dan kaum muda yang menaruh perhatian tinggi pada daya rusak korupsi yang mengancam masa depannya. Gerakan penyadaran yang disambut dan mendapatkan resonansi luas itu menunggu kolaborasi dari banyak pihak yang berjuang bersama mendambakan Indonesia bersih dari korupsi.
Sekoci antikorupsi seperti komunitas PAK perlu berjejaring dan bersatu menjadi gerakan sangkil dan mangkus, terutama untuk merawat mata hati dan mata pikiran kaum muda dalam menghadapi dan merespons sengkarut kejahatan kemanusiaan luar biasa ini. Keterhubungan para inisiator gerakan di setiap lini profesi dan daerah menjadi modal berharga untuk menyemaikan nilai-nilai antikorupsi di masyarakat.
Kaum inteligensia dan akademisi ditantang mendiseminasikan skema anti-fraud dan implementasi nilai-nilai good governance untuk menggalang simpati dan empati kaum muda membangun lautan integritas di kampus-kampus dan organisasi kemasyarakatan.
Dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia, hanya Institut Teknologi Bandung dan Universitas Paramadina, Jakarta, yang memasukkan mata kuliah pendidikan dan diseminasi nilai-nilai antikorupsi kepada mahasiswanya.
Integritas sungsang, standar moral pemimpin rendah, perilaku menabrak batas-batas kepantasan merupakan lahan subur berkembangbiaknya korupsi. Tugas kekuatan sipil antikorupsi sebagian dapat diibaratkan seperti menjaga mata air dari polusi lingkungan.
Intinya, memperlebar dan memperluas front perjuangan ke habitat yang lebih luas dan lebih berhak mendapatkan jaminan kehidupan masa depan lebih baik.
Kesadaran kaum muda yang terbangun dan dibangun secara mendalam kelak dapat menjelma menjadi kekuatan moral dan gerakan penentu dalam perang panjang melawan korupsi. Pembentukan reservoir moral seperti PAK menunggu banyak sentuhan dan kerja sama agar bisa berkembang dan menemukan aksentuasi kompatibel dengan perjuangan gerakan sipil antikorupsi.
Hal ini sejajar dan membingkai peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2021, yang mengusung tema ”Hak Anda, Peran Anda: Katakan Tidak pada Korupsi”.
Suwidi Tono Ketua Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi