TNI bisa melakukan operasi militer selain perang seperti membantu menanggulangi ekstremisme dan/atau radikalisme. Meskipun begitu, perlu peraturan khusus untuk menanggulangi radikalisme/ekstremisme.
Oleh
RIDLWAN HABIB
·5 menit baca
Kompas
Heryunanto
Salah satu episode podcast dari youtuber Dedy Corbuzier menuai polemik. Dalam tayangan tersebut, Dedy menghadirkan sosok KSAD yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Perbincangan tersebut diawali dengan pembahasan sebagai ”Jenderal Baliho” buntut dari peristiwa penurunan puluhan baliho FPI dan HRS ketika Dudung masih menjabat sebagai Pangdam Jaya.
KSAD pun menjelaskan bahwa sebelum menurunkan baliho tersebut dirinya sudah mempelajari apa yang dilakukan oleh HRS. Ia mengatakan bahwa HRS sudah sangat berlebihan ketika mengumandangkan revolusi akhlak, seruan jihad, serta menghina dan mencaci presiden. Ia merasa keberatan dengan perilaku HRS tesebut, sehingga ia bersama jajaran Satpol PP dan Polda Metro Jaya memutuskan untuk menurunkan puluhan baliho yang tersebar di wilayah DKI Jakarta.
Akibat perkataan klarifikasinya di podcast tersebut, Dudung diserang netizen dengan dalih bahwa apa yang dilakukan Dudung terhadap HRS dan FPI sangat berlebihan, padahal ada situasi konflik yang lebih urgen, misalnya soal Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang terus melakukan terror terhadap masyarakat.
Sejak lulus dari Akmil pada 1988, Dudung telah malang melintang dalam dunia militer. Karier perwira tinggi Dudung dimulai dengan menjabat sebagai Wakil Gubernur Akmil selama satu tahun. Tahun 2018, Dudung pun naik menjadi Gubernur Akmil, dan namanya semakin dikenal ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Kodam Jaya. Jabatan terakhirnya sebelum menjadi KSAD adalah sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Sejak awal, naiknya Dudung menjadi orang nomor satu dalam struktur TNI AD memang digoyang dengan berbagai cibiran dan sindiran dari kelompok kanan, terutama para eks-FPI yang terlihat masih ”baper” akibat peristiwa baliho beberapa waktu lalu. Persinggungan Dudung dengan radikalisme begitu terlihat sehingga menimbulkan gelombang dukungan yang tidak sedikit dari golongan nasionalis kepadanya.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pasukan Kopaska memeriksa teroris yang menjadi korban saat berlangsung simulasi penangangan terorisme dalam rangka HUT ke 63 Penerbangan TNI Angkatan Laut di Pangakalan Udara Puspenerbal Juanda di Sidoarjo, Senin (17/6/2019).
Operasi Militer
TNI memang bisa melakukan operasi militer selain perang seperti membantu penanganan bencana, membantu menanggulangi ekstremisme dan/atau radikalisme, dan lain sebagainya. Di Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tercantum banyak tugas pokok TNI selain operasi militer perang, seperti mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan obyek vital nasional, melaksanakan perdamaian dunia, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan, dan lain sebagainya.
Seperti yang tertera pada UU tersebut bahkan TNI juga dapat melakukan tugas search and rescue. Tugas TNI juga meliputi penanggulangan akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan. TNI melalui TNI AD, AL, maupun AU memiliki alutsista yang bisa menembus daerah terpencil akibat bencana alam. Alutsista yang lengkap tersebut yang juga dilengkapi dengan tenda serta peralatan survival sehingga mampu untuk membantu mitigasi akibat bencana alam.
Polemik KSAD Dudung, jika ditilik dari isu yang saat ini beredar, sebenarnya berakar dari tidak adanya kementerian atau lembaga yang khusus memerangi radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk pemerintah hanya ditugaskan untuk menanggulangi terorisme, tetapi tidak untuk menanggulangi radikalisme/ekstremisme yang lebih bermain pada ranah ideologi, hal yang sejatinya lebih berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Undang-undang yang berlaku pun seperti UU Nomor 34/2004 juga tidak menjelaskan spesifik perihal tugas TNI menangani radikalisme, ataupun penjelasan tentang radikalisme/ekstremisme itu sendiri. Pun dengan undang-undang yang lain juga belum ada yang menyebutkan radikalisme/ekstremisme secara rinci. Dalam undang-undang yang berlaku, seperti UU TNI, hanya menyebutkan keutuhan dan persatuan NKRI yang masih terlalu luas dan tidak spesifik.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Pasukan antiteror TNI berfoto bersama usai jalani latihan penanggulangan terorisme di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Pemerintah perlu memikirkan serta melakukan langkah strategis dalam menanggulangi radikalisme/ekstremisme. Hal mendasar yang perlu dilakukan pemerintah adalah membuat suatu perundang-undangan khusus maupun merevisi perundang-undangan tentang terorisme yang dapat memuat penjelasan dan penjabaran tentang ekstremisme/radikalisme beserta dengan cara menanggulangi serta asas hukumnya.
Ketika hukum tentang radikalisme sudah jelas dan tidak abu-abu lagi, pemerintah melalui Presiden, selanjutnya dapat merombak BNPT maupun membuat badan atau lembaga baru yang bertugas menanggulangi ekstremisme dan radikalisme. Solusi lain yang mungkin dapat ditempuh, antara lain, Presiden bisa menghadirkan atau menunjuk satu staf khusus, profesional, yang bisa bekerja sama dengan lembaga/badan terkait, untuk merumuskan kebijakan yang dapat menjadi dasar hukum dalam perang melawan radikalisme/ekstremisme.
Pemerintah juga dapat menurunkan produk hukum melalui peraturan pemerintah, merupakan penjelasan dari UU sebelumnya, yang memuat penjelasan detail tentang radikalisme/ekstremisme.
Pemerintah juga dapat menurunkan produk hukum melalui peraturan pemerintah, merupakan penjelasan dari UU sebelumnya, yang memuat penjelasan detail tentang radikalisme/ekstremisme agar dapat menjelaskan tupoksi dari suatu badan atau lembaga baru untuk menanggulangi ekstremisme dan radikalisme. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan petinggi agama, seperti ulama ataupun pendeta, biksu, dan lain sebagainya melalui Kementerian Agama agar dapat menyosialisasikan bahaya radikalisme, dan menanggulanginya. Penguatan kembali pendidikan Pancasila untuk anak-anak sekolah melalui kurikulum baru yang akan disusun Kemendikbudristek juga bisa menjadi pintu gerbang dalam menangkal masuknya doktrin radikal/ekstrem sejak usia dini.
Sembari menunggu langkah-langkah yang diambil pemerintah, publik tentu cukup tenang dengan diangkatnya Jenderal Dudung menjadi KSAD. Jenderal Dudung diharapkan dapat mengarahkan personel TNI AD untuk berbarengan dengan BNPT dalam upaya menanggulangi radikalisme dan ekstremisme.
Namun, langkah tersebut juga tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan tugas pokok TNI ataupun tugas pokok TNI AD, terlebih tugas pokok KSAD. Tugas pokok yang dijalankan KSAD bersama dengan TNI AD seharusnya dapat beriringan dilaksanakan dengan tugas menanggulangi radikalisme dan ekstremisme. Kedua tugas tersebut diharapkan menjadikan TNI AD menjadi lebih baik, mengayomi masyarakat dan senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Langkah menanggulangi radikalisme/ekstremisme dapat dimulai dari merumuskan defisini dari radikalisme, menentukan jenis ancaman, dan cara penanganannya. Undang-undang tersebut diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat. Ketika undang-undang tersebut telah lahir, masyarakat tidak perlu risau terhadapa lahirnya radikalisme maupun ekstremisme ketika Jenderal Dudung Abdurahman sudah tidak lagi menjabat sebagai KSAD.
(Ridlwan Habib, Alumni S-2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Peneliti Militer dan Intelijen)