KASN sebagai lembaga independen untuk mengawasi dan menjamin mutu pelaksanaan sistem merit dalam manajemen sumber daya ASN sudah lama menjadi incaran oknum-oknum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Oleh
Sofian Effendi
·4 menit baca
Tulisan saya, ”Godot dan Reformasi”, di Kompas edisi 13 Mei 2013 menyiratkan harapan besar jutaan warga pegawai negeri sipil dan para pengamat birokrasi publik kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara atau RUU ASN yang mengamanatkan ASN menjadi profesi terhormat dan dibanggakan bagi semua anggotanya.
Demikian juga harapan akan pelaksanaan manajemen sumber daya manusia yang meritokratis dan memperkuat netralitas ASN dalam pemilu di Indonesia. Presiden Yudhoyono memenuhi harapan mereka setelah mengadakan rapat kabinet terbatas selama tiga kali dan menetapkan RUU ASN menjadi UU ASN pada 15 Januari 2014.
Godot yang merupakan harapan yang ditunggu-tunggu warga ASN dan pengamat birokrasi disetujui dan ditandatangani Presiden setelah RUU ini mengalami penggodokan selama hampir tiga tahun.
Namun, tujuh tahun sejak hari kelahiran UU ASN, tak terlihat kemajuan ASN yang dicapai selama ini. Seleksi terbuka untuk memilih calon terbaik jabatan pimpinan tinggi 100 persen dilaksanakan di kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, 100 persen di provinsi, dan 35 persen di kabupaten dan kota. Demikian juga belasan ribu pengaduan pelanggaran netralitas pegawai ASN telah direkomendasikan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), tetapi belum semuanya dilaksanakan oleh pimpinan instansi.
Namun, tujuh tahun sejak hari kelahiran UU ASN, tak terlihat kemajuan ASN yang dicapai selama ini.
KASN yang mendapat anggaran hanya Rp 40 miliar setahun untuk mengawasi pelaksanaan praktik manajemen sumber daya berbasis sistem merit dengan anggaran Rp 421,1 triliun pada 2020 dituduh telah memboroskan keuangan negara.
Tampaknya kiamat bagi KASN datang duluan daripada kiamat PNS (pegawai negeri sipil) yang diramalkan Presiden Joko Widodo pada PNS di masa depan karena penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang akan mentransformasi Indonesia menjadi negeri tanpa PNS, karena mengesahkan RUU ASN perubahan UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN.
KASN sebagai lembaga independen untuk mengawasi dan menjamin mutu pelaksanaan sistem merit dalam manajemen sumber daya ASN di 600-an instansi pemerintah memang sudah lama menjadi incaran oknum-oknum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN).
Kali ini komisi tersebut dibubarkan dan tugas dan fungsinya akan dipindahkan ke Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Mudah-mudahan saja di kementerian negara—yang tugas pokoknya menyusun kebijakan umum pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi—tugas dan fungsi pengawasan dan penjaminan mutu sistem merit menjadi salah satu tugas dan fungsi utama kementerian, bukan sekadar tugas dan fungsi embel-embel.
Kiamat ASN
Mudah-mudahan perubahan 19-20 pasal dalam UU ASN tidak menjadi kiamat bagi ASN. Dan kiamat ini bukan karena serangan kecerdasan buatan seperti yang dipidatokan Presiden Jokowi, tetapi karena revisi UU ASN yang disepakati oleh empat menteri Kabinet Kerja Jilid 2 dengan DPR belum lama ini.
Kiamat ASN tidak akan sehebat kiamat atau armageddon yang ditulis dalam kitab suci, tetapi diduga dampaknya bagi 5 juta pegawai ASN dan pegawai honorer serta keluarga mereka, dan kepada masyarakat penerima layanan umum dan layanan pemerintahan, akan besar sekali.
Kalau terjadi penurunan efektivitas pemerintah ketika bangsa sedang menghadapi problem jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) selama hampir 50 tahun, negeri ini sangat perlu tata pemerintahan yang efektif dengan kekuatan dan kemampuan ASN yang tinggi untuk gerakkan semua instansi pemerintah di seluruh Tanah Air, guna memobilisasi dan menggerakkan 274 juta penduduknya.
Mudah-mudahan perubahan 19-20 pasal dalam UU ASN tidak menjadi kiamat bagi ASN.
Justru pada saat bangsa dan negara sangat memerlukan tata pemerintahan yang efektif agar mampu melalui hambatan-hambatan besar yang dihadapi, pemerintah dan DPR menyetujui RUU perubahan UU No 5 Tahun 2014 yang diragukan urgensinya untuk pembangunan kapasitas governansi publik jangka panjang.
Hambatan-hambatan besar itu bisa karena ekonomi lesu akibat kurang didukung industri berbasis teknologi, melemahnya kesatuan dan persatuan nasional, maraknya korupsi yang menurut mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla menggerogoti hampir 40 persen APBN/APBD, dampak pemanasan bumi yang luar biasa, dan semakin kuatnya pengaruh oligarki dalam perumusan kebijakan negara.
Sebaiknya pemerintah dan DPR segera memikir ulang langkah pengesahan RUU perubahan UU No 5 Tahun 2014 sebelum terlambat.
Sofian Effendi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada dan Ketua KASN 2014-2019