Pelaksanaan paten dilakukan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan nonkomersial. BPOM menyetujui penggunaan obat remdesivir dan favipiravir untuk pengobatan pasien yang sakit akibat Covid-19.
Oleh
Gunawan Suryomurcito
·3 menit baca
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perpres Nomor 100 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Remdesivir dan Perpres Nomor 101 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Favipiravir.
Semua itu merupakan langkah maju dalam memproduksi obat untuk mengobati infeksi Covid-19.
Paten obat remdesivir dimiliki oleh Gilead Sciences Inc, Amerika Serikat, sedangkan obat favipiravir dimiliki oleh Fujifilm Toyama Chemical Co Ltd, Jepang.
Berdasarkan perpres tersebut, obat-obat termaksud akan diproduksi di dalam negeri selama tiga tahun oleh industri farmasi yang akan ditunjuk pemerintah. Syaratnya adalah (a) memiliki fasilitas dan mampu melaksanakan paten; (b) tidak mengalihkan pelaksanaan paten dimaksud kepada pihak lain; dan (c) memiliki cara produksi yang baik, peredaran, dan pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan paten dilakukan secara terbatas, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan nonkomersial.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui penggunaan obat remdesivir dan favipiravir untuk pengobatan pasien yang jatuh sakit akibat tertular Covid-19.
Obat remdesivir berupa obat suntik, sedangkan favipiravir berupa tablet untuk diminum. Nama dagang obat remdesivir yang disetujui BPOM terdiri dari: Cofivor, Desrem, Jubi-R, Remdemic, Cipremi, serta Remidia dan Remeva (untuk infus). Nama dagang untuk obat favipiravir adalah Avigan, Favipirafir, Favikal, dan Avifavir.
Semoga pelaksanaan paten oleh pemerintah terhadap obat remdesivir dan favipiravir ini dapat mendorong ketersediaan dan keterjangkauan obat-obatan untuk mengobati pasien Covid-19 secara efektif dan efisien.
Gunawan Suryomurcito
Konsultan HKI Pondok Indah, Jakarta 12310
Tanggapan Pajak
Menanggapi surat pembaca berjudul ”SPT Palsu” yang ditulis Yuliati Ratnasari dan dimuat di harian Kompas, Jumat (26/11/2021), bersama surat ini kami sampaikan penjelasan berikut.
Saudari Yuliati Ratnasari menerima surat no PEMB- 000015/WPJ.09/P.0504/RIK. SIS/2021 dan PEMB-000016/ WPJ.09/KP.0504/RIK.SIS/2021 dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Tegallega.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berterima kasih dan mengapresiasi masukan terkait pemeriksaan dan surat pemberitahuan (SPT) tahunan di KPP Pratama Bandung Tegallega. Namun, judul surat pembaca ”SPT Palsu” dapat memberikan interpretasi publik yang tidak baik terhadap instansi Ditjen Pajak.
Pernyataan Yuliati Ratnasari bahwa terdapat tulisan dan tanda tangan yang dipalsukan oleh oknum pegawai pajak adalah tidak benar. Pengisian SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak (WP) dengan benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani dan disampaikan ke kantor DJP tempat WP terdaftar. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983, kemudian diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
KPP Pratama Bandung Tegallega telah menerima instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk memeriksa Yuliati Ratnasari (NPWP 07.475.613.1-422.000) demi menguji kepatuhan WP tahun pajak 2017 dan 2018.
WP menyatakan telah membetulkan SPT orang pribadi (OP). Sementara, berdasarkan Sistem Informasi DJP (SIDJP), diketahui bahwa tidak ada SPT OP pembetulan yang disampaikan WP untuk tahun pajak 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016.
KPP Pratama Bandung Tegallega akan menghubungi WP untuk mengklarifikasi dan meminta bukti-bukti mengenai pernyataan dimaksud.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja sama Pemimpin Redaksi, kami ucapkan terima kasih.
Neilmaldrin Noor
Sub-Direktorat Hubungan Masyarakat Perpajakan, Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak