Sejauh mana vonis mati membawa efek jera, kiranya patut dikaji. Benarkah penerapan vonis hukuman mati berkaitan dengan besar atau kecilnya perkara kejahatan di negeri ini?
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kisah hidup Merry Utami, warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Semarang, sungguh tragis. Diperdaya Jerry, pacarnya, ia akhirnya divonis hukuman mati.
Dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, 9 Oktober 2021, Merry mengungkapkan, dirinya selamat dari eksekusi, akhir Juli 2016, karena belum menerima keputusan Presiden terkait permohonan grasi. Ia masih dapat menghirup udara meski nasibnya belum jelas.
Ditangkap saat membawa 1,1 kilogram heroin, Merry adalah satu dari sekian banyak perempuan terpidana hukuman mati di Indonesia. Kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sungguh baik. Dua lembaga itu menemukan, Merry dan terpidana lain umumnya kelompok rentan.
Dari kisah Merry dan kawan senasibnya, tergambar ada unsur paksaan atau mereka tertipu. Kisah seperti Merry dengan mudah ditonton pada film terkait peredaran narkotika di berbagai aplikasi tontonan berlangganan atau televisi. Terhadap mereka, layakkah dijatuhkan hukuman mati? Lebih mendasar, tepatkah apabila Indonesia masih menerapkan hukuman mati?
Putusan hukuman mati di Indonesia faktanya juga terus bertambah. Tahun 2018 terdapat 48 vonis hukuman mati, tahun 2019 naik menjadi 80 vonis mati, dan tahun 2020 naik lagi menjadi 117 vonis mati. Mayoritas vonis hukuman mati itu terkait kasus narkotika.
Sejauh mana vonis mati membawa efek jera, kiranya patut dikaji. Benarkah penerapan vonis hukuman mati berkaitan dengan besar atau kecilnya perkara kejahatan di negeri ini? Apalagi, Amnesty International mencatat, vonis mati di Indonesia adalah kelima terbanyak di dunia setelah China, Yaman, Mesir, dan Zambia. Di sisi lain, lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati.
Benarkah penerapan vonis hukuman mati berkaitan dengan besar atau kecilnya perkara kejahatan di negeri ini?
Indonesia menerapkan hukuman mati awalnya karena ”warisan”. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dahulu mewarisi konten dari Wetboek van Strafrecht yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.
Namun, yang menarik, Belanda telah menghapus hukuman mati pada 17 Februari 1983. Sebaliknya, Indonesia tetap mempertahankan ancaman hukuman mati. Padahal, tidak sedikit ahli hukum Indonesia yang menyerukan penghapusan hukuman mati. Sekadar menyebut nama, ada mendiang Prof Dr JE Sahetapy dan Prof Dr Arief Sidharta.
Terkait ancaman hukuman mati, pada 23 Mei 2007, saat menjadi ahli di Mahkamah Konstitusi, Prof Arief Sidharta berpendapat, ”(Hukuman mati) bertentangan dengan titik-tolak dan tujuan dari hukum itu sendiri, yakni penghormatan atas martabat manusia dalam kebersamaannya.”
Penerapan hukuman mati, menurut keduanya, tidak sesuai dengan Pancasila. Hukuman mati seharusnya tidak mendapat tempat dalam gagasan hukum berdasarkan pandangan hidup Pancasila.