Kunci Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue menjadi ancaman setiap tahun. Padahal, berbagai strategi pengendalian telah diluncurkan. Apa yang seharusnya dilakukan?
Jelang musim hujan, Indonesia bersiap menghadapi serangan demam berdarah dengue (DBD). Kasus mulai tampak di beberapa daerah.
Penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus itu sudah ada di Indonesia lebih dari setengah abad, tetapi belum bisa dikendalikan dan menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat utama.
Sejak DBD ditemukan di Surabaya tahun 1968, kasus terus meningkat dan meluas ke seluruh Indonesia. Setiap tahun, setidaknya ada belasan ribu kasus DBD. Bahkan, pada kejadian luar biasa (KLB) lebih kurang setiap lima tahun, kasus mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu.
Baca juga: Demam Berdarah Dengue Merebak, Perkuat Upaya Pencegahan
DBD juga menjadi masalah di dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), insiden demam berdarah global tumbuh secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir. Dari pemodelan, diperkirakan ada 100 juta-390 juta infeksi virus dengue setiap tahun.
Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang mengalami epidemi dengue parah. Kini, DBD endemik di 129 negara di wilayah WHO Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat.
Di Eropa, penularan dilaporkan pertama kali di Perancis dan Kroasia pada 2010. Tahun 2012, terjadi wabah demam berdarah di Pulau Madeira, Portugal, dengan lebih dari 2.000 kasus. Kasus juga terdeteksi di daratan Portugal dan 10 negara lain. Kini, kasus DBD terjadi hampir tiap tahun di sejumlah negara Eropa.
Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Wilayah Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat terdampak paling parah. Asia memikul sekitar 70 persen beban penyakit. Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Pada 2020, terjadi peningkatan kasus DBD di Bangladesh, Brasil, Kepulauan Cook, Ekuador, India, Indonesia, Maladewa, Mauritania, Mayotte, Nepal, Singapura, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Timor Leste dan Yaman. Tahun 2021, DBD menyerang Brasil, Kepulauan Cook, Kolombia, Fiji, Kenya, Paraguay, Peru, dan Pulau Reunion.
Manifestasi infeksi virus dengue beragam. Dari tanpa gejala, demam ringan, demam dengue, demam berdarah dengue, sampai sindrom syok dengue, yakni komplikasi yang berpotensi fatal karena terjadi kebocoran plasma yang menyebabkan darah mengental dan sulit bersirkulasi. Kondisi ini dikenal sebagai shock hipovolemik. Organ tubuh kekurangan oksigen, terjadi kegagalan organ, dan bisa menyebabkan kematian.
Baca juga: Ancaman DBD Mulai Muncul Seiring Musim Hujan dan Pandemi
Tahun 2012, WHO melaporkan, wabah demam berdarah memberi beban besar kepada masyarakat, sistem perawatan kesehatan, dan ekonomi di sebagian besar negara tropis di seluruh dunia.
Mardiati Nadjib dan kolega dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Udayana, di jurnal PLOS Neglected Tropical Disease, 10 Januari 2019, memperkirakan beban ekonomi akibat DBD di Indonesia tahun 2015 sebesar 381,15 juta dollar AS, terdiri dari 355,2 juta dollar AS untuk rawat inap dan 26,2 juta dollar AS untuk rawat jalan.
Selain biaya rawat inap dan rawat jalan, beban itu juga mencakup biaya penunjang langsung ataupun tak langsung, seperti transportasi, pendamping pasien, dan produktivitas yang hilang. Jumlah kasus diperkirakan dengan ekstrapolasi dari laporan kasus hasil surveilans pasif pada 2015, yakni 898.475 pasien rawat inap dan 596.391 rawat jalan.
Upaya pengendalian
Sejalan upaya internasional, Indonesia meluncurkan strategi pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3 M Plus, yakni menutup, menguras tempat penyimpanan air, menyingkirkan barang yang bisa menampung air dan menjadi tempat perindukan nyamuk. Ditambah upaya lain, memelihara ikan pemakan jentik, seperti ikan guppy dan cupang, tanaman pengusir nyamuk, seperti zodia, geranium, kemangi, dan sereh. Cara lain, menggunakan larvasida (abate), insektisida (pengasapan), obat nyamuk, lotion antinyamuk, atau kelambu.
Baca juga: Kerja Bersama Atasi Demam Berdarah Dengue
Kajian Irfan A Rather dan tim dari Korea Selatan dalam Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 25 Juli 2017, menyatakan pentingnya program berbasis masyarakat untuk memberantas nyamuk demam berdarah. Hal itu terbukti antara lain di India, Meksiko, Kuba. Melalui pelibatan masyarakat, berbagai teknik dapat diintegrasikan untuk pengendalian populasi vektor secara maksimal.
Roberto Tapia-Conyer dan kolega dari Meksiko dalam Paediatrics and International Child Health, Mei 2012, memaparkan, pemberdayaan masyarakat adalah aspek kunci dari strategi pencegahan dan pengendalian dengue. Ini mendorong penduduk memberantas penyakit di lingkungan mereka. Masyarakat dilatih mengidentifikasi, memberantas, memantau dan mengevaluasi tempat perkembangbiakan vektor (nyamuk) secara sistematis di rumah tangga. Program ini, di Negara Bagian Guerrero, menunjukkan hasil menggembirakan.
WHO juga merekomendasikan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan DBD sebaiknya difokuskan pada implementasi program 3M, peningkatan kemampuan petugas, serta partisipasi masyarakat. Di Indonesia, proyek percontohan pemberantasan jentik nyamuk dengan partisipasi masyarakat di Purwokerto tahun 2000 dinilai berhasil.
Untuk meningkatkan efektivitas, pemerintah mengangkat juru pemantau jentik (jumantik) dari anggota masyarakat untuk memeriksa dari rumah ke rumah. Ada pula program jumantik cilik, siswa sekolah yang dikerahkan untuk memantau jentik di sekolah dan rumah masing-masing.
Namun, hingga kini kesadaran masyarakat untuk aktif mencegah perkembangbiakan nyamuk di lingkungannya belum maksimal. Apalagi pandemi Covid-19 membuat upaya pengendalian DBD terkendala. Hampir semua sumber daya terfokus pada penanganan SARS-CoV-2. Ruang gerak jumantik juga terhambat karena harus menjaga jarak dan mengurangi mobilitas.
Baca juga: Masyarakat Jangan Abai pada Demam Berdarah
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus DBD Januari-Oktober 2021 tercatat 37.646 kasus. Tahun 2020, pada kurun waktu sama, kasus mencapai 108.303.
Masyarakat masih mengandalkan pengasapan. Padahal, pengasapan tidak lagi direkomendasikan karena yang terbasmi hanya nyamuk dewasa. Populasi nyamuk meningkat kembali setelah jentik nyamuk tumbuh dewasa. Dalam jangka waktu tertentu, nyamuk bakal kebal. Insektisida juga dapat membunuh predator alami nyamuk, yaitu cicak, serta beracun bagi manusia.
Upaya pengendalian secara biologis, misalnya menggunakan bakteri Wolbachia pipientis untuk menghambat replikasi virus dengue dalam tubuh nyamuk, serta pelepasan nyamuk jantan yang dimandulkan, masih dalam skala terbatas, belum diterapkan secara nasional.
Pada akhirnya, partisipasi aktif masyarakat untuk memberantas sarang nyamuk merupakan kunci pengendalian DBD. Perlu strategi dan upaya berkelanjutan dari pemerintah untuk mendorong partisipasi warga agar diri dan keluarganya bebas dari DBD.