Dalam program digitalisasi pendidikan pemerintah hendaknya mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang perusahaan tertentu. Pemerintah juga perlu bermain jangka panjang dalam rangka berdikari teknologi.
Oleh
PUJA PRAMUDYA
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Menurut laporan UNESCO, lebih dari 91 persen populasi siswa dunia telah dipengaruhi oleh penutupan sekolah karena pandemi Covid-19. Dalam survei yang dilakukan Kemendikbud tahun 2020, dari total peserta didik di Indonesia yang berjumlah 68 juta, terdapat 27,7 juta siswa tidak memiliki akses ke perangkat komputer/laptop/tablet sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam pembelajaran jarak jauh selama pandemi.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan. Bagaimana sistem pendidikan nasional dapat memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang sama untuk pendidikan berkualitas selama krisis yang belum pernah terjadi sebelum ini?
Polemik lalu muncul karena untuk tahun 2021 pemerintah menyelenggarakan program digitalisasi pendidikan dan menganggarkan pengadaan laptop sejumlah 473.987 unit dengan spesifikasi minimum dapat menjalankan sistem operasi Chrome OS. Chrome OS merupakan sistem operasi milik Google yang membutuhkan fasilitas internet yang memadai untuk dapat bekerja secara optimal.
Sesungguhnya sistem operasi yang memiliki ketergantungan besar pada internet kurang cocok jika digunakan pada daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang belum banyak tersedia fasilitas internet. Pemilihan Google sebagai prinsipal seperti mengulang sejarah tahun 2015 ketika pemerintah bekerja sama dengan Microsoft untuk penggunaan sistem operasi Windows di sektor pendidikan.
Pakar teknologi informasi Onno W Purbo mengemukakan kekhawatirannya akan ketergantungan Indonesia jika pemerintah bekerja sama dengan perusahaan penyedia software dari negeri ”Paman Sam” tersebut. Lalu, apa bedanya rencana digitalisasi pendidikan hari-hari ini dibandingkan dengan 6 tahun yang lalu, jika akhirnya kita hanya mengganti ketergantungan dari Microsoft kepada Google?
DOKUMENTASI KEMDIKBUDRISTEK
Tangkapan layar rencana pengadaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan hingga tahun 2024. Program ini untuk mendukung digitalisasi pendidikan dengan mengutamakan produk dalam negeri.
Besutan anak bangsa
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar, sebenarnya mulai tahun 2004 pemerintah telah menggagas gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS). Pada tahun 2006, sistem operasi IGOS Nusantara (IGN) berbasis Linux berhasil diluncurkan. Hingga tahun 2014 telah tersedia versi ke-10 dari sistem operasi besutan anak bangsa ini. Namun, sistem operasi berbasis open source ini bak hilang tanpa jejak sehingga pada kenyataannya kita tetaplah bergantung pada sistem operasi buatan luar negeri.
Penulis mencoba memahami mengapa yang dipilih sebagai prasyarat pengadaan adalah Chrome OS, sementara masih ada alternatif sistem operasi lainnya seperti Windows dan Linux. Jika melihat aspek manajemen perubahan, lebih dari 90 persen pengguna komputer di Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan aplikasi sistem operasi Windows.
Risiko change management untuk pelatihan ulang para pengguna, baik guru maupun siswa, merupakan biaya yang mahal yang mungkin luput dari perhatian pemerintah.
Risiko change management untuk pelatihan ulang para pengguna, baik guru maupun siswa, merupakan biaya yang mahal yang mungkin luput dari perhatian pemerintah. Beberapa argumen yang beredar di media adalah spesifikasi yang dibutuhkan lebih rendah karena sistem operasi ini sederhana dan gratis sehingga harga Chromebook menjadi lebih terjangkau.
Chrome OS memang bersifat gratis. Namun, jika melihat pada spesifikasi yang disampaikan pada laporan ICW yang dipublikasikan pada September 2021, ditemukan bahwa untuk setiap perangkat dari pabrikan penyedia laptop telah di-bundle dengan sistem pengaturan perangkat yang disebut sebagai Chrome Education Upgrade senilai 30 dollar AS.
Artinya, jika pengadaan perangkat digital tahun 2021 sejumlah 473.987 laptop, maka proyek pengadaan ini mendatangkan pendapatan sekitar 14 juta dollar AS atau sekitar Rp 200 miliar ke Google. Bayangkan jumlah dana yang kita bayarkan untuk pengadaan laptop berbasis Chrome OS hingga tahun 2024.
Sebagai perbandingan, Onno W Purbo menjelaskan, akibat kesepakatan pemerintah-Microsoft tahun 2015, untuk setiap satu perangkat komputer berbasis Windows membutuhkan peranti lunak Microsoft sekitar 400 dollar AS atau dengan kurs rupiah berjumlah Rp 5,7 juta per satu komputer. Nilai yang fantastis jika ini dapat diserap oleh industri perangkat lunak di dalam negeri.
Jumlah potensi pemasukan yang diterima salah satu prinsipal teknologi ini memang terlihat lebih kecil dibandingkan kesepakatan pada tahun 2015. Namun, dari penelusuran penulis, sistem aplikasi pengelolaan dokumen yang menjadi paket aplikasi di dalam Chrome OS hanya bersifat gratis jika pengguna memilih paket Fundamentals. Jika dibutuhkan penambahan fitur pengamanan atau solusi edukasi yang lebih komprehensif, maka akan dikenakan biaya tambahan.
Isu yang lebih besar sebenarnya adalah dengan model seperti itu maka tujuan dari produk yang bersifat gratis tidak sepenuhnya untuk memajukan proses pendidikan, tetapi mengonversi pelajar menjadi pelanggan setia dalam jangka panjang. Ini yang membedakan Google dengan perusahaan teknologi yang berfokus pada pendidikan seperti Ruangguru atau Zenius.
Pada dasarnya Google merupakan perusahaan iklan di mana lebih dari 90 persen pendapatannya didapatkan dengan menukar pandangan mata kita dengan pengiklan di seluruh penjuru dunia. Pada tahun 2013 bahkan Google dikenakan tuntutan federal karena diketahui melakukan pemindaian terhadap pesan yang ada di dalam akun Google Mail.
Salah satu perwakilan Google mengatakan kepada situs Edweek bahwa perusahaan melakukan pemindaian dan penyimpanan seluruh e-mail dari produk Google for Education untuk berbagai kebutuhan, termasuk di antaranya untuk periklanan melalui proses yang diotomatisasi dan tidak dapat dimatikan. Meskipun perusahaan telah menyatakan tidak melakukan praktik tersebut lagi saat ini, proses pemindaian tetaplah dilakukan untuk memastikan keamanan pelanggan dan meningkatkan layanan produk, bukan untuk kebutuhan periklanan.
Hari-hari ini kita sangat mudah tergiur dengan teknologi yang lebih baru dan penawaran yang terlihat lebih murah. Ini adalah tipe permainan jangka panjang. Mereka yang memiliki visi kuat dan kocek yang dalam dapat bermain dengan model seperti ini.
Pemerintah sejatinya wajib mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang perusahaan tertentu. Pemerintah juga perlu bermain jangka panjang. Permainan yang hanya bisa dimainkan jika kita memiliki peta jalan yang dirancang dengan baik dan dijalankan secara berkesinambungan. Karena sejatinya pendidikan adalah jalan tol menuju kemakmuran. Dan, berdikari teknologi serta mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sesuatu yang masuk akal dan layak diperjuangkan.
Puja Pramudya, Lulusan Magister Informatika Institut Teknologi Bandung; Pemerhati Pendidikan IT; Aktif di Yayasan Alkademi yang Bergerak di Bidang Pendidikan Vokasi Rekayasa Perangkat Lunak; Twitter: @poedja_p; Blog: about.me/pujapramudya