Disabilitas terjadi karena faktor lingkungan dan sosial yang tak aksesibel bagi keberagaman setiap orang. Karena itu, bukan tubuh yang perlu diperbaiki, melainkan situasi lingkungan dan sosial yang perlu disesuaikan.
Oleh
SAHID HADI
·4 menit baca
Minggu lalu, saya menonton film Eternals. Di salah satu adegan, film ini menampilkan seorang dewa yang tuli dan ”disabilitas wicara”. Makkari, namanya. Menariknya, dewa-dewa yang lain berkomunikasi dengan Makkari menggunakan bahasa isyarat. Tak satu pun memaksanya untuk ”bisa” berbicara secara verbal. Adegan ini monumental. Pesannya kuat.
Minggu ini, saya dikagetkan dengan sebuah liputan domestik. Menteri Sosial tampak memaksa penyandang disabilitas wicara untuk ngomong dengan salah satu cara komunikasi yang menurutnya maksimal. Ketika diingatkan, Sang Menteri cenderung memproteksi diri, tetap dengan imbauannya. Ia menganggap setiap orang adalah sama, tanpa perbedaan dan keberagaman.
Sebagai representasi negara, Sang Menteri tak sepatutnya memaksa penyandang disabilitas wicara untuk ngomong dengan bahasa verbal. Ia harusnya paham, apa yang ada dan terjadi pada tubuh seseorang merupakan otoritas privat yang perlu dihormati negara. Salah satu caranya adalah dengan tidak genit mencampuri urusan ke-tubuh-an seseorang. Ketimbang memaksakan kehendak untuk memperbaiki atau ”memaksimalkan fitur tubuh” begitu, Sang Menteri lebih baik memastikan agar lingkungan dan kondisi sosial aksesibel bagi keberagaman setiap orang sebagaimana dipertontonkan adegan film tadi.
Tindakan Sang Menteri merefleksikan sebuah keinginan kuat untuk memperbaiki atau memaksimalkan fungsi tubuh penyandang disabilitas. Motivasi bawah sadar ini, tentu tidak bebas pengaruh. Pada level cara pikir, dorongan demikian tidak terlepas dari dominasi cara pandang medis dalam memahami kondisi disabilitas.
Dalam cara pandang ini, gagasannya berujung pada pemulihan. Bagian tubuh yang ”rusak” diperbaiki agar bisa berfungsi kembali dengan maksimal. Umumnya, dengan meneropong disabilitas sebagai suatu gejala patologis, cara pandang ini meyakini disabilitas sebagai suatu kekurangan atau kecacatan karena ada kerusakan fungsi tubuh.
Tidak ada yang keliru dari cara pandang yang body-centric ini. Ilmu medis, pasalnya, memiliki pijakan-pijakan scientific dalam menilai ada tidaknya kerusakan fungsi tubuh. Ilmu medis bahkan melengkapinya dengan ”obat penawar” untuk memulihkan apa yang ditentukannya ”rusak.” Dengan demikian, tindakan Menteri Sosial pun tidak sepenuhnya keliru jika kita sepakat dengan pengaruh cara pandang medis.
Sayangnya, cara pandang yang terfokus pada unsur ke-tubuh-an seseorang itu menuai kritik sekitar 1980-an dan 1990-an. Sebab, konstruksi sosial mulai mengategorikan kelompok orang ”normal” atau ”sempurna” dan yang ”tidak normal” atau ”tidak sempurna”.
Cara pandang yang terfokus pada unsur ke-tubuh-an seseorang itu menuai kritik sekitar 1980-an dan 1990-an.
Kategorisasi tersebut berkonotasi negatif, syarat akan stigma, dan merendahkan manusia. Juga, cara pandang ini mengurangi pengetahuan penyandang disabilitas tentang tubuh dan pengalamannya sendiri.
Oleh sebab itu, peradaban mengembangkan cara pandang lain yang tidak terfokus pada tubuh individu lagi. Ini dikenal sebagai cara pandang sosial; bahwa disabilitas terjadi karena faktor lingkungan dan sosial yang tidak aksesibel bagi keberagaman setiap orang.
Apa yang ada dan terjadi pada tubuh setiap orang dikonstruksi sebagai faktor pembeda individu saja dalam cara pandang ini, tak ubahnya agama, kebangsaan, suku, dan bahasa. Karena itu, bukan tubuh yang perlu diperbaiki, tetapi situasi lingkungan dan sosiallah yang disesuaikan dengan keberagaman setiap individu.
Jika ada orang tuli, misalnya, tak usah memaksanya untuk mendengar ketika berkomunikasi. Cara pandang sosial menghendaki penggunaan bahasa tulis atau isyarat sebagai solusinya.
Jika ada pengguna kursi roda, tak usah mamaksanya berjalan dengan kaki untuk melewati anak tangga. Solusinya, sediakan jalan landai.
Jika ada orang netra total, tak perlu memaksanya untuk membaca dokumen-dokumen tertulis. Solusinya, sediakanlah dokumen dengan format audio atau braille.
Sekali lagi, tindakan Sang Menteri tidak sepenuhnya keliru. Namun, perlu ada kesadaran tambahan bahwa menggunakan cara pandang medis secara tunggal tidaklah cukup dalam mengelola negara. Yang ada, tindakan dan kebijakan yang dibentuk justru tidak kompatibel dengan komitmen normatif Indonesia untuk penyetaraan hak setiap warga negara. Ini juga bisa kita jumpai, misalnya, pada UU Cipta Kerja yang masih menyebut penyandang disabilitas sebagai ”penyandang cacat,” sesuatu yang mulai ditinggalkan.
Oleh sebab itu, Menteri Sosial jo negara perlu melengkapi struktur pemaknaannya tentang disabilitas dengan cara pandang sosial. Bahkan, kerangka pikirnya perlu diperkuat lagi dengan rambu-rambu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak warga negara. Apalagi, Komisi Nasional Disabilitas (KND) kini telah terbentuk. Para Komisionernya pun telah dilantik belum lama ini.
Oleh sebab itu, Menteri Sosial jo negara perlu melengkapi struktur pemaknaannya tentang disabilitas dengan cara pandang sosial.
Pekerjaan rumah yang mendesak
UU Cipta Kerja dan tindakan Menteri Sosial menjadi potret nyata tentang ketertinggalan kita. Ini menandakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan negara, terutama oleh Kementerian Sosial dan KND.
Pertama, perlu dipastikan adanya perombakan struktur pemaknaan dari alat kelengkapan negara tentang kondisi disabilitas. Paling tidak, dari yang masih berbasis medis ke sosial. Pergeseran paradigmatis ini secara mutlak diperlukan agar penyandang disabilitas dapat menikmati hak-haknya secara maksimal.
Kedua, pergeseran tersebut perlu diperkuat dengan hukum-hukum yang didesain untuk penyetaraan hak-hak penyandang disabilitas di level teknis. Modalitas ini menjadi penting dalam rangka mengoperasionalkan pemahaman baru terkait kondisi disabilitas.
Ketiga, secara progresif, negara juga perlu memastikan agar setiap fasilitas, sarana, dan prasarana mobilitas aksesibel bagi keberagaman setiap individu, termasuk bagi penyandang disabilitas.
(Sahid Hadi, Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII))