”Hompimpa alaium gambreng”, mantra yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain semakin jarang terdengar. Masa pandemi ini waktu yang tepat untuk mengenalkan kembali permainan tradisonal kepada anak-anak.
Oleh
KANIA SOFIANTINA RAHAYU
·4 menit baca
Tatapan antusias penuh tanda tanya mengiringi langkah sekelompok anak di Desa Sukamantri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Dengung suara yang dihasilkan sebuah benda berbahan bambu di tengah lapangan berhasil mencuri perhatian warga. Tampak seorang kakek duduk sambil tersenyum seolah masa lalunya terbangun melihat benda itu berputar. Senyuman lebar dan lambaian tangan para mahasiswa menyambut hangat anak-anak yang tengah tertegun memperhatikan gangsing bambu berputar.
Perlahan mereka mendekati area bermain. Thermo gun (termometer tembak) ditembakkan ke arah kening warga. Satu per satu menunggu giliran untuk mencuci tangan. Cairan pembersih tangan (hand sanitizer) siap dibasuhkan ke kedua telapak tangan mereka. Penuh rasa semangat, sekelompok mahasiswa mengatur jarak untuk mengajak wajah-wajah mungil berbalut masker yang tampak malu-malu itu bermain permainan tradisional.
”Hompimpa alaium gambreng”. Masihkah ”mantra” itu digunakan anak-anak untuk bermain? Hompimpa alaium gambreng merupakan sebuah kalimat untuk menentukan siapa yang menang dan kalah sebelum memulai permainan dengan menggunakan tangan, khususnya dalam permainan tradisional.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kemajuan zaman dan teknologi meredupkan ”mantra” hompimpa tersebut. Ketersediaan akses internet, jejaring media sosial, dan siaran televisi menggeser permainan tradisional dengan permainan modern.
Kita tidak mungkin menolak kemajuan teknologi. Tidak dapat dimungkiri pula bahwa teknologi ini pun turut mencerdaskan perkembangan anak. Namun, perlu disadari bahwa tidak selamanya kemajuan teknologi berdampak positif bagi perkembangan anak. Pengawasan dari orangtua menjadi hal utama dalam mengadopsi teknologi bagi kehidupan anak-anak.
Game online (gim daring) kini tengah menjadi primadona bagi anak-anak di kota besar, bahkan juga di perdesaan. Permainan modern tanpa pengawasan yang tepat akan menjerumuskan anak ke dalam hal negatif, seperti sulit bersosialisasi, karena permainan modern ini biasanya dilakukan tanpa adanya interaksi langsung dengan orang lain. Permasalahan ini dapat membuka mata kita untuk melestarikan kembali permainan tradisional yang hampir ditinggalkan oleh generasi anak-anak saat ini.
Potensi besar
Indonesia, negara yang kaya akan seni dan budaya, tentu memiliki potensi yang sangat besar dalam menurunkan kearifan lokal melalui permainan tradisional. Setiap daerah memiliki permainan tradisional, bahkan beberapa daerah memiliki jenis permainan yang sama, hanya penamaannya yang berbeda.
Hidayat (2013) dalam penelitiannya yang berjudul ”Permainan Tradisional dan Kearifan Lokal Kampung Dukuh Garut Selatan Jawa Barat” mengemukakan bahwa permainan konclong yang merupakan permainan tradisional lompat-lompatan pada bidang-bidang datar yang digambar di atas tanah, dengan membuat gambar kotak-kotak kemudian melompat dengan satu kaki dari kotak satu ke kotak berikutnya memiliki penamaan yang berbeda di dearah lain, seperti engklek (Jawa), asinan atau gala asin (Kalimantan), intingan (Sampit), tengge-tengge, gili-gili (Merauke), deprok (Betawi), gedrik (Banyuwangi), sonda (Mojokerto); sonlah, konclong, tepok gunung (Jawa Barat), dan masih banyak lagi.
Jika kita membandingkan permainan modern dengan permainan tradisional, setiap permainan ini memiliki keunggulan. Permainan trandisional yang kini ditinggalkan menyimpan banyak manfaat bagi perkembangan anak.
Interaksi sosial yang melekat pada permainan tradisional tentu akan melatih proses sosialisasi pada anak. Ada pula jenis permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama antarteman sehingga melalui permainan tersebut mengasah pemain untuk melatih kekompakan, menumbuhkan rasa empati, toleransi, dan sportivitas.
Interaksi sosial yang melekat pada permainan tradisional tentu akan melatih proses sosialisasi pada anak.
Pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini berdampak pada keterbatasan aktivitas anak yang lambat laun menimbulkan rasa jenuh yang berpengaruh pada psikologis anak. Berdasarkan hasil penelitian Agusriani dan Fauziddin (2021) yang berjudul ”Strategi Orangtua Mengatasi Kejenuhan Anak Belajar dari Rumah Selama Pandemi Covid-19”, orangtua telah melakukan berbagai strategi untuk mengatasi kejenuhan anak selama belajar dari rumah.
Sebanyak 60 persen orangtua mengajak anak bermain dan rekreasi saat hari libur, 33 persen orangtua memberikan dukungan psikologis, seperti pemberian motivasi, bujukan, kata-kata penyemangat, dan 7 persen orangtua memberikan reward atau hadiah sebagai bentuk apresiasi untuk perilaku positif anak dalam belajar.
Rekreasi merupakan salah satu upaya terbesar yang dilakukan orangtua untuk memulihkan kembali psikologis anak. Rekreasi adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu luang dengan tujuan kesenangan (pleasure), sedangkan waktu luang merupakan waktu yang penggunaanya di luar untuk memenuhi kebutuhan hidup/mempertahankan hidup serta kegiatan penunjang untuk mempertahankan hidup, seperti bekerja dan sekolah.
Ketika seorang anak memiliki waktu luang, biasanya akan diisi dengan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan baginya, seperti bermain gawai, menonton televisi/video, dan tayang streaming berbasis internet. Namun seiring dengan pandemi Covid-19 yang masih melanda negeri ini membuat aktivitas anak yang awalnya tergolong rekreasi kini berkurang nilai kesenangannya akibat tingkat konsumsi secara terus-menerus sehingga menimbulkan rasa kebosanan. Hal ini menjadi peluang bagi permainan tradisional untuk diperkenalkan dan diimplementasikan ke kehidupan anak-anak masa kini.
Jadikanlah permainan tradisional ini sebagai rekreasi anak dalam mengatasi kejenuhan selama berada pada masa pandemi Covid-19. Peran orangtua sangat penting dalam menghidupkan kembali permainan-permainan masa kecil, baik yang bersifat dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor).
Transformasi pengalaman bermain orangtua kepada anak merupakan salah satu cara melestarikan permainan tradisional. Perkenalkanlah kembali permainan tradisional ini dalam kegiatan-kegiatan lomba, baik di keluarga, sekolah, kampus, kantor dan lingkungan tempat tinggal, lokakarya, pameran, maupun keorganisasian. Dengan demikian, hompimpa alaium gambreng akan kembali mengudara di tengah kemajuan zaman dan teknologi.
Kania Sofiantina Rahayu, Ketua Program Studi Ekowisata Sekolah Vokasi IPB University