Di dalam karya sastra tak sedikit penulis yang piawai menelusuri lorong-lorong jiwa manusia hingga yang paling gelap. Namun, si tokoh dalam karya sastra boleh depresi dan nyaris putus asa, tetapi penulisnya tidak.
Oleh
KURNIA JR
·5 menit baca
Sekian tahun yang lalu, saya membaca satu berita singkat tentang peristiwa tragis yang tak terlupakan. Di restoran pada sebuah mal mewah, satu keluarga sedang makan malam. Sepintas lalu tidak ada yang dramatis di meja itu. Kemudian, anak perempuan mereka pamit ke toilet. Lama ditunggu, hingga neneknya gelisah, ia tak juga muncul. Yang datang malah kabar duka lewat kegemparan di teras gedung: anak perempuan itu telah tewas akibat jatuh dari tempat parkir mobil di lantai ke sekian.
Dari penggalian polisi disimpulkan motif bunuh diri anak perempuan itu akibat depresi, jauh-jauh kuliah di luar negeri, setelah lulus susah mendapatkan pekerjaan. Tekanan keluarga menjadi faktor utama, padahal mereka bukan kalangan tak mampu. Sejumlah kasus bunuh diri tampak ironis karena problem yang menjerat pelaku kadang kala ”ciptaannya sendiri” atau dibuat-buat oleh lingkungan terdekatnya, misalnya demi status sosial.
Belum ada cara yang ampuh buat mengantisipasi kasus ini hingga seseorang yang depresi bisa tercegah dari putusnya harapan. Dialog mungkin dapat menolong, tetapi umumnya orang yang mencapai puncak depresi acap kali menutup diri, malah secara menakjubkan mengenakan topeng ajaib: ia tertawa bahagia di depan orang lain! Pada sejumlah kasus, seseorang bunuh diri sehabis ”bersenang-senang” dengan teman-temannya.
Saya tidak tahu apakah psikiater dan psikolog dalam studi dan praktik klinis mereka mendalami karya sastra sebagai alat bantu dalam terapi pasien. Sebagaimana yang kita lihat, di dalam karya sastra tak sedikit penulis yang piawai menelusuri lorong-lorong jiwa manusia hingga yang paling gelap, misalnya Dostoevsky, Sartre, Iwan Simatupang, Sadeq Hedayat—sekadar menyebut segelintir sastrawan dengan narasi kompleks dan adiluhung.
Sebuah novel seumpama ruang batin seseorang (narator) yang bertutur dalam nada personal kepada pembaca. Kendati tokoh dan alur yang ditampilkan sangat problematis, tampak buntu, kelam, tak terlihat jalan keluar, penulis tetap ”mampu” menghadirkan bab 2 setelah bab 1, bab 3 setelah bab 2, dan seterusnya.
Sebuah novel seumpama ruang batin seseorang (narator) yang bertutur dalam nada personal kepada pembaca.
Si tokoh boleh depresi dan nyaris putus asa, tetapi penulisnya tidak! Selangkah demi selangkah, plot mantap berjalan dari ruang-waktu ke ruang-waktu berikutnya. Saat tokohnya tersudut di jalan buntu, daya kreatif sang penulis justru mengisyaratkan harapan yang tak kunjung sirna, setidaknya hingga halaman terakhir.
Seseorang di ambang keputusasaan dapat mengidentikkan dirinya dengan penulis yang dengan spirit ajaib terus mengobyektivikasi tokoh imajiner di ruang-waktu ”tanpa batas”. Untuk ini, ada beberapa novel yang menarik.
Perenungan
Pada dekade 1990-an nama Kembang Manggis segera populer ketika muncul dengan cerita bersambung ”Tya” di majalah Hai. Dalam novel Warisan, yang ringan, kocak, namun berbobot, ia menghadirkan persoalan kehidupan yang umum, tetapi dengan perenungan yang unik, eksentrik. Tokohnya seorang perempuan, dari fase kuliah, bekerja, hingga tiba desakan khas keluarga untuk menikah. Novel ini tidak menguliti persoalan hidup-mati dengan bahasa berat, namun memberi simpati kepada kita bahwa memang hal-hal yang tampak remeh pun kadang kala terasa muskil.
Dari Belgia ada Alfons de Ridder, pemilik biro iklan yang menulis dengan nama pena Willem Elsschot. Dalam novel tipis berjudul Kaas (Keju) ia bercerita tentang seorang pegawai kecil yang mencoba mencari tambahan dengan menjadi distributor keju. Setelah keju dikirim oleh bosnya, barulah ia sadar bahwa dirinya tak berbakat dagang! Berkejaran dengan waktu, dari sekian ton stoknya, cuma beberapa potong keju yang terjual. Bagai menatap bom waktu, ia menghitung hari hingga bosnya datang langsung dari negeri Belanda! Ini memang fiksi, namun momen demi momen yang dilukiskan adalah realitas tragikomedi alam nyata.
Novel ini tidak menguliti persoalan hidup-mati dengan bahasa berat, namun memberi simpati kepada kita bahwa memang hal-hal yang tampak remeh pun kadang kala terasa muskil.
Nyali si tokoh ciut hingga hanya mukjizat yang bisa meloloskan dia dari kehadiran bos yang menyerupai malaikat maut. Lihat, apa yang terjadi! Di ujung kabel yang terbakar, sedetik lagi bom meledak, potensi jiwa manusia yang pada hakikatnya gigih menggeliat mencari solusi menunjukkan gregetnya!
Saat Hornstra sudah berdiri di depan rumahnya, Frans ambil keputusan tidak membukakan pintu! Tetangganya yang jahat ikut memencet bel pintu beberapa kali hingga sang bos percaya bahwa Frans memang tak ada di rumah. Menghindari situasi temu muka yang intimidatif, masalah administratif urusan keju diselesaikan oleh Frans lewat surat-menyurat saja.
Tentang potensi jiwa manusia yang ajaib, kita dapati pula dalam cerita Jean-Paul Sartre. Berlatar Perang Spanyol, para patriot di dalam sel menanti giliran dieksekusi. Musuh mereka mencari Ramon Gris, tetapi tak satu pun yang buka mulut meski detik-detik horor menyiksa jiwa.
Ibbieta tahu di mana Gris bersembunyi, namun ia tak mau berkhianat. Setelah menyaksikan satu demi satu temannya ditembak mati, menyadari bahwa tibalah gilirannya, tanpa rencana dia membuat humor gelap dengan dusta di ruang interogasi bahwa Gris bersembunyi di kuburan!
Tak lama kemudian, Ibbieta dibebaskan karena dianggap berkolaborasi: Gris telah ditangkap di kuburan! Ibbieta yang histeris memaknai nasibnya dengan pengingkaran yang pahit. Namun kita patut membaca kisah ini sebagai psikologisasi situasi yang ada di luar kuasa manusia: potensi itu ada di dalam diri setiap orang.
Kita patut membaca kisah ini sebagai psikologisasi situasi yang ada di luar kuasa manusia: potensi itu ada di dalam diri setiap orang.
Dalam analisis ini, bunuh diri adalah sebuah nonsens, sesulit apa pun situasinya. Pada hakikatnya, saat manusia terpojok di tengah hitamnya kegelapan, Tuhan tak membiarkan dia tanpa potensi spesial di dalam dirinya untuk lolos dari perangkap kemustahilan.
Ada sebuah nasihat, hiduplah seperti burung yang terbang, melompat-lompat di ranting, berkicau merdu sebagaimana kodratnya. Ketika datang kematian, ia akan jatuh ke tanah begitu saja.
Perihal alat bantu ini, ada lampu kuning yang harus diwaspadai. Benar bahwa karya sastra dapat menjelajah jiwa manusia secara radikal dan membuka berbagai kemungkinan dengan cara yang indah, tetapi sebagian sastrawan bunuh diri lantaran merasa tak mampu lagi menghasilkan karya unggul, seperti Sadeq Hedayat dan Kawabata.
Maka, wajiblah kita ambil konsep strukturalisme, yang memisahkan pengarang dengan karyanya sebagai dua entitas berbeda. Karena karya sastra bukan tutorial cara memecahkan masalah kehidupan, penulis bukan pahlawan super yang harus selalu sanggup menghadapi kekecewaan, kegagalan, atau rasa kalah.