Melindungi Nelayan di Perbatasan
Indonesia dan Australia perlu membuat kesepakatan tentang perlakuan terhadap nelayan di kedua belah pihak yang melakukan pelanggaran.

Didie SW
Insiden penangkapan dan pembakaran kapal nelayan Indonesia oleh petugas Australia menjadi sorotan media. Menurut Maritime Border Command (MBC) Australia, tiga kapal nelayan Indonesia dibakar dan 13 kapal lainnya diusir dari perairan Australia (Kompas.com, 9/11/2021). Petugas MBC juga menyita peralatan dan ratusan kilogram teripang hasil tangkapan nelayan Indonesia tersebut.
Lima hal penting
Mari kita pahami lima hal penting. Pertama, status terkini batas maritim antara Indonesia dan Australia. Indonesia sudah menetapkan batas maritim dengan Australia, baik untuk batas dasar laut (landas kontinen) di tahun 1970-an maupun kolom air (zona ekonomi eksklusif/ZEE) di tahun 1997.
Dengan ditetapkannya batas maritim tersebut, kedua negara bisa menentukan apakah aktivitas sebuah kapal nelayan di suatu lokasi itu termasuk pelanggaran atau bukan.
Kedua, informasi posisi penangkapan dan pembakaran kapal nelayan Indonesia adalah kunci. Seperti klaim MBC, kapal Indonesia beroperasi tidak jauh dari Taman Laut Rowley Shoals. Menurut informasi di situs resmi yang dikelola Pemerintah Australia Barat, taman laut ini berada pada kisaran lokasi 17° 20′ Lintang Selatan dan 119° 20′ Bujur Timur.
Berdasarkan informasi ini, tampak jelas bahwa kapal Indonesia berada agak jauh di sebelah selatan garis batas ZEE antara Indonesia dan Australia. Artinya, kapal Indonesia ada di perairan Australia.
Ada perbedaan lokasi antara garis yang membagi dasar laut (landas kontinen) dan garis yang membagi air laut (ZEE).
Ketiga, persoalan batas maritim Indonesia dengan Australia sangat kompleks dan tidak biasa. Ada perbedaan lokasi antara garis yang membagi dasar laut (landas kontinen) dan garis yang membagi air laut (ZEE). Akibatnya, ada ruang laut di sana yang dasar lautnya milik Australia, tetapi air laut di atasnya adalah kewenangan Indonesia.
Konsekuensinya, di kawasan itu ikan merupakan hak Indonesia, sedangkan migas di dasar lautnya merupakan hak Australia. Memang sangat rumit jadinya. Yang menarik, di kawasan tersebut teripang merupakan hak Australia. Hal ini diatur pada pasal 77(4) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tentang spesies sedenter.
Spesies sedenter adalah organisme yang ketika siap panen, hidupnya menempel atau bersembunyi di bawah dasar laut. Jadi, nelayan Indonesia boleh menangkap ikan di kawasan tersebut, tetapi tidak boleh menangkap teripang.
Mungkin ada yang mengaitkan kejadian penangkapan nelayan Indonesia dan penyitaan teripang oleh MBC dengan kompleksitas garis batas antarkedua negara. Ternyata ini tidak terkait. Sekali lagi, kapal Indonesia beroperasi di peraian Australia, bukan di kawasan perbatasan yang kompleks ini.
Dengan demikian, meskipun terjadi penyitaan teripang, ini tidak berhubungan dengan aturan terkait spesies sedenter.
Baca juga : Isu Batas Maritim dan Konektivitas Jadi PR Pemerintahan Jokowi Periode Kedua
Keempat, Indonesia dan Australia memang mempunyai kesepakatan yang memungkinkan nelayan Indonesia untuk menangkap ikan di kawasan tertentu di perairan Australia.
Ini berdasarkan nota kesepahaman (MOU) yang disetujui tahun 1974. Ada perairan Australia di sekitar Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang boleh dijadikan lokasi penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia. Karena bentuknya yang menyerupai kotak, kawasan ini dikenal dengan MOU Box 1974.
Apakah nelayan yang ditangkap ini beroperasi di dalam MOU Box 1974? Ternyata tidak. Setelah diperiksa posisinya, Taman Laut Rowley Shoals ternyata berada cukup jauh di sebelah timur MOU Box 1974 ini. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia ini tidak terkait aturan dalam MOU tahun 1974.
Kelima, insiden semacam ini bukan sesuatu yang baru. Insiden penangkapan nelayan Indonesia di kawasan perbatasan Indonesia dan Australia kerap terjadi. Ketika belajar di Australia, saya memahami bagaimana diplomat kedutaan dan konsulat jenderal Indonesia di Australia sering disibukkan oleh isu penangkapan nelayan Indonesia oleh petugas Australia. Tidak sedikit yang bahkan dipenjara.

Didie SW
Yang menarik, memang ada nelayan yang sudah berkali-kali ditangkap dan tetap melakukan hal yang sama. Ada juga yang mengakui bahwa ditangkap dan bahkan dipenjara di Australia memberi kepastian yang lebih tinggi bagi kehidupan mereka.
Perlakuan yang mereka terima selama ditahan rupanya membuat mereka berpikir demikian. Kadang diplomat Indonesia ’menyelamatkan’ para nelayan yang belum tentu mau ’diselamatkan’. Ini tentu membuat situasi menjadi lebih rumit.
Apakah tindakan MBC yang menangkap dan membakar kapal nelayan Indonesia ini bisa dibenarkan? Faktanya, ketika ditangkap, nelayan Indonesia berada di perairan Australia. Tidak mudah untuk membantah bahwa mereka melakukan penangkapan ikan ilegal.
Tentu saja kita selalu bisa mempertanyakan aksi pembakaran yang terjadi. Menariknya, Indonesia melakukan pendekatan yang tidak jauh berbeda.
Penenggelaman dan pembakaran kapal asing marak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Ini perlu menjadi pertimbangan agar respons kita terhadap tindakan Australia tidak mencerminkan standar ganda.
Pencegahan
Apa langkah selanjutnya? Kita tentu tidak ingin nelayan menjadi korban, tetapi kita juga tidak ingin dikenal sebagai bangsa yang melanggar kesepakatan sendiri. Maka dari itu, kerja sama adalah kunci.
Indonesia dan Australia perlu membuat kesepakatan tentang perlakuan terhadap nelayan di kedua belah pihak yang melakukan pelanggaran. Hal ini mirip degan MOU Indonesia dengan Malaysia di tahun 2012.
ingkatnya, Indonesia memang harus melindungi nelayan.
Singkatnya, Indonesia memang harus melindungi nelayan. Dukungan pemerintah untuk mengatasi persoalan ekonomi yang menjadi akar dari kegiatan di laut adalah salah satu kunci. Kita juga harus melindungi nelayan kita dengan informasi dan pengetahuan.
Edukasi dan diseminasi informasi bagi nelayan dan petugas di lapangan sangatlah penting. Selain pemerintah, pihak lain seperti peneliti, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta dosen dan pelajar/mahasiswa juga bisa dan perlu terlibat. Dengan demikian, perlindungan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berkelanjutan.
I Made Andi Arsana, Dosen dan Peneliti Aspek Geospasial Hukum Laut di Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada