Tantangan Partai Menuju Pemilu 2024
Kemampuan partai dalam menggerakkan mesinnya untuk menghadapi pemilu berpeluang berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan.
Tahun 2024, sebagai tahun pemilu, masih terbentang lebih dua tahun lagi. Bagi partai politik, setiap tahun pemilu memiliki arti penting karena akan menjadi tahun pertaruhan: pencapaian di pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Upaya menuju pencapaian itu akan membawa partai melewati rute jalan persiapan yang menghadapkan pada tantangan politik. Kemampuan partai dalam menggerakkan mesinnya untuk menghadapi pemilu berpeluang berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Apa tantangan-tantangan yang akan dilalui partai dalam menghadapi pemilu?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada pemilu legislatif, setiap partai akan berupaya memperoleh dukungan suara rakyat atau perolehan kursi parlemen sebagaimana yang ditargetkan. Setidaknya perolehan suara nanti bisa lebih besar atau menyamai prestasi yang sudah dicapai pada pemilu sebelumnya.
Baca juga: Peluang Partai Baru
Untuk mengarah pada capaian ini, partai bisa memperoleh bahan pembacaan awal tentang bagaimana prospek elektabilitasnya. Hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Oktober 2021, misalnya, memperlihatkan bahwa sejumlah partai mengalami penurunan elektabilitas dibandingkan dengan survei sejenis yang dilakukan pada April 2021.
Potret elektabilitas saat ini memberi gambaran kepada partai bahwa peluang keterpilihan mereka masih memiliki kemungkinan untuk mengalami fluktuasi. Peluang ini bisa ditangkap sebagai pertimbangan untuk melakukan perbaikan kerja-kerja mereka, menanam simpati menjelang pemilu.
Survei Litbang Kompas juga memberi catatan bahwa preferensi publik atas pilihan partai cenderung mengarah pada partai-partai peserta pemilu lama dibandingkan dengan partai baru (Kompas.id, 21/10/2021). Situasi ini menjadi tantangan bagi partai baru untuk mengejar peluang elektabilitasnya agar bisa bersaing.
Persaingan untuk memperoleh sebesar-besarnya suara juga akan memberikan tantangan kepada partai dalam merekrut dan menyeleksi calon anggota legislatif. Upaya ini terkait dengan fungsi partai sebagai organisasi yang salah satunya mencari dan menyaring calonnya untuk dipersaingkan dalam pemilu di bawah bendera partai (Dalton dan Wattenberg, 2000).
Para calon yang terseleksi akan menjadi cermin partai dalam menarik simpati pemilih. Seperti apa posisi, isu, atau kebijakan yang ditawarkan partai kepada pemilih juga akan dipengaruhi kemampuan atau peranan calon.
Untuk keperluan itu, waktu yang masih terentang sampai tibanya hari pemilu bisa menjadi kesempatan bagi partai untuk melakukan seleksi calon anggota legislatif sejak mula. Langkah ini untuk menghindarkan partai melakukan seleksi di masa-masa tenggat pendaftaran calon.
Baca juga: Catatan untuk Partai-partai Baru
Dengan durasi seleksi yang panjang partai akan mendapatkan keuntungan karena proses seleksi bisa dilakukan melalui tahapan internal yang ketat dan juga berkesempatan memperoleh calon yang diharapkan sesuai dengan visi partai. Dalam pandangan Hazan dan Rahat (2006) seleksi calon ini bisa mencerminkan dan mendefinisikan karakter partai.
Selain menyiapkan calon anggota legislatif, perwajahan partai di akar rumput tidak dapat dikesampingkan. Katz dan Mair (1993) menggambarkan kerja partai di akar rumput erat kaitannya dengan anggota atau aktivis partai.
Selain menyiapkan calon anggota legislatif, perwajahan partai di akar rumput tidak dapat dikesampingkan.
Kerja partai pada sisi ini adalah menguatkan relasi antara partai dan mereka yang bersedia secara sukarela sebagai anggota partai atau simpatisan yang bekerja untuk partai. Dengan intensitas relasi dan komunikasi para aktivis partai ini bisa menjadi juru bicara partai dalam menyosialisasikan beragam program yang bisa menarik atensi pemilih.
Melalui kerja-kerja di lapangan, partai bisa menjemput suara atau aspirasi publik. Persoalan yang menyangkut penurunan atau kenaikan elektabilitas bisa jadi terkait dengan bagaimana cara partai mendekati calon pemilih. Munculnya berbagai aspirasi publik dan kemampuan partai menjawab persoalan publik bisa membantu partai meningkatkan pengenalan dan peluang keterpilihannya. Situasi pandemi Covid-19 yang masih belum sepenuhnya selesai bisa juga menjadi ujian partai bagaimana mereka bisa bekerja dalam kondisi pandemi dan membantu mengatasi beragam persoalan masyarakat.
Menyiapkan mesin untuk pilpres
Selain menyiapkan kerja untuk pemilu legislatif, pada aras yang bersamaan partai juga akan menyiapkan mesinnya untuk kepentingan pemilihan presiden. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah siapa calon presiden yang akan diusung atau didukung partai.
Mengingat pemilihan presiden nanti tidak ada calon petahana, peluang persaingan bagi figur-figur lain menjadi semakin terbuka. Partai akan dihadapkan pada persoalan seperti apakah figur calon presiden nanti berasal dari internal atau eksternal partai. Pertimbangan ini juga akan diiringi dengan kalkulasi kompetensi dan integritas calon, serta tingkat popularitas dan elektabilitas figur.
Baca juga: Gelagat Pilpres 2024
Untuk menentukan figur terbaiknya, partai memiliki mekanisme seleksi yang bisa berbeda di setiap partai. Mekanisme yang bisa didorong untuk dipertimbangkan adalah bagaimana partai memberikan akses partisipasi yang luas terutama bagi anggota partai atau kelompok internal partai lain.
Akses ini memberikan kesempatan kepada anggota partai untuk sejak awal ikut memberikan suaranya, agar calon presiden yang muncul nanti bisa menjadi calon yang merepresentasikan partai. Selain itu, kran partisipasi juga memperlihatkan bahwa mekanisme penentuan kandidat presiden di partai tidak sekadar menjadi ranah kuasa elite partai.
Kran partisipasi juga memperlihatkan bahwa mekanisme penentuan kandidat presiden di partai tidak sekadar menjadi ranah kuasa elite partai.
Dalam proses penentuan calon presiden bukan tidak mungkin partai nanti akan berhadapan dengan suara internal yang beragam. Terutama ketika partai memiliki banyak kader atau figur yang dinilai layak dicalonkan.
Di satu sisi, kehadiran banyak kader unggulan tersebut membuka peluang partai untuk mengajukan calon dari internal. Hal ini juga menjadi bagian dari tujuan kaderisasi kepemimpinan di internal partai. Sementara di sisi lain, kehadiran banyak kader yang berpotensi dicalonkan juga bisa membuka potensi friksi tajam atau bahkan perpecahan jika kompetisi di internal tidak terkelola baik.
Potensi munculnya perbedaan dukungan seperti itu memerlukan antisipasi dengan membangun soliditas di internal. Kontinuitas konsolidasi yang melibatkan seluruh elemen partai di berbagai level menjadi penting dilakukan. Melalui upaya ini diharapkan partai tidak kedap dengan suara atau aspirasi dari banyak lini.
Berbagai aspirasi yang masuk akan ikut mematangkan langkah partai dalam menatap kontestasi pemilihan presiden. Ketidaksolidan internal bisa membuka peluang bagi elemen partai atau simpatisan partai melirik dukungan kepada kandidat lain.
Ketidaksolidan internal bisa membuka peluang bagi elemen partai atau simpatisan partai melirik dukungan kepada kandidat lain.
Tidak selesai pada rute seleksi calon presiden, mengalkulasi arah koalisi juga menjadi ujian partai. Ketika pengajuan calon presiden terbatasi oleh aturan ambang batas pencalonan presiden, bagi partai yang belum bisa memenuhi persyaratan tersebut pilihannya bisa melakukan koalisi.
Meskipun secara internal bisa jadi partai telah memiliki calon masing-masing, tetapi ketika berkoalisi memerlukan penghitungan ulang siapa yang akan diajukan koalisi partai. Dengan kata lain, berkoalisi berarti bersiap untuk mempertemukan beragam kepentingan dari sejumlah partai agar kepentingan bisa saling terakomodasi.
Baca juga: Model Koalisi 2024
Pada titik itu, pertimbangan apa yang digunakan dalam membangun koalisi? Apakah pertimbangan koalisi berdasarkan persamaan ide atau gagasan, ataukah sekadar pertimbangan jangka pendek: menggapai kekuasaan? Fondasi pembentukan koalisi ini perlu dirumuskan oleh mesin partai dalam pemilu nanti karena dari sini arah kekuasaan yang dipegangnya nanti menjadi pandu arah ke mana bangsa digerakkan.
(Ridho Imawan Hanafi, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN)