Berpulangnya "The Last of the Mohicans" Jurnalis Musik
Bens Leo bukan sekadar menulis musik, tetapi saksi bagaimana musik baru Indonesia tumbuh. Bens mampu menangkapnya dengan jeli, jelas, dan segar, juga kerap keras, telangas dinamika musik Indonesia.
Saya mengajak tuan dan puan pembaca mengeja perlahan paragraf ini sebagai sebuah prolog epitaf:
“’Saya hitung, Jelly telah tiga kali ini bikin rusuh God Bless saja. Dia telah tiga kali pula pakai nama saya, bilang pada wartawan-wartawan bahwa dia diajak Achmad Albar memasuki formasi God Bless. Itu tidak benar!" kata Albar. Selanjutnya, penyanyi kribo yang suka sisiran berjam-jam itu mengatakan bahwa, sekali juga dia tak pernah mengajak Jelly main dalam God Bless. ‘Saya lihat mainnya saja tak pernah. Dia memang ambisius, sayang kurang terarah!" lanjutnya.
"’Pantas diketahui pendapat kita, bahwa God Bless yang terbaik, setelah Fuad Hassan tiada. Kita sekarang ini merupakan satu grup yang berusaha bermain kompak. Baik di atas panggung maupun dalam rasa persaudaraan antara pemain!" demikian Donny—God Bless dalam wawancara yang dibikin Aktuil di Kota Padang.
Selesai dengan penjelasan itu, maka kembali Achmad Albar melempar keterangan. "Terus terang saja, sekarang ini kita terpaksa buka kartu Jelly, karena dalam merebut posisi drummer yang baik, caranya kurang fair. Yang jelas, mulai saat ini kita tetap latihan keras untuk hadapi dua kali show raksasa. Untuk mendampingi Suzi Quarto dan mengimbangi permainan Deep Purple. Karena itulah, kegoncangan ini kita anggap selesai, apabila Aktuil bisa mengumumkan bahwa God Bless akan muncul tetap dengan Teddy Sujaya!”
Tiga paragraf itu kepunyaan Bens Leo di majalah Aktuil pada edisi—astaga saya masih berusia dua pekan dalam rahim ibu—Januari 1976. Dari pilihan diksi, jalinan kalimat, dan susunan paragrafnya tampak bahwa Bens adalah jurnalis tak berjarak sama sekali dengan sesuatu yang ditulisnya. Data-data yang dipunyainya berasal dari tangan pertama dengan keakraban. Tanpa ada kontak personal, kalimat-kalimat itu tak mungkin tercipta.
Baca juga: Obituari Bens Leo, Saksi Perjalanan Musik Itu Telah Pergi
Dalam musik, Bens Leo adalah penulis dan sekaligus jurnalis yang dalam bahasa Romo Sindhunata adalah yang menggunakan kakinya untuk menghampiri obyek tulis dan bertungkus lumus di sana. Bergaul dengan sangat dekat sekali. Bukan jurnalis yang ada maunya saja barulah datang ke narasumber. Atau, sebut saja jurnalis press release.
Ia hidup dan mengikuti seluruh percakapan musisi. Dari situ, pembaca seperti berada langsung di tengah para musisi itu, mengikuti percakapan-percakapan mereka yang lepas, terkadang tak terkontrol, yang jauh dari formal.
Mengikuti irama
Pernah menonton film Almost Famous? Menonton film yang berfokus pada jurnalis muda musik yang magang di Rolling Stone yang dibikin Cameron Crowe pada 2000 itu saya melihat cara Bens Leo menulis. Tak ada jarak. Mengikuti irama. Kadang tak terduga bahwa apa yang ditulisnya tidak ada dalam outline yang sudah dibikin dari kantor redaksi.
Baca ulang lagi contoh paragraf Bens Leo di atas. Tampak, kita mendapatkan bagaimana grup band cadas itu mula-mula terbentuk dengan segala konflik di antara mereka. Pencapaian mereka hari ini adalah buah dari cara mereka mengatasi masalah-masalah yang kerap muncul selama berdekade-dekade.
Bens mampu menangkapnya dengan jeli, jelas, dan segar. Juga kerap keras, telangas. Baca saja judul tulisannya ini di Aktuil Nomor 243: “Masih sekitar kaset Badai Pasti Berlalu, Jockie God Bless: Berlian keburu nafsu, efeknya jadi kampungan!”.
Baca juga: Merayakan Ragam Rupa God Bless
Di sini, Bens menjadi audio visual lewat kata-kata, lewat tulisan, perpanjangan mata publik musik yang ingin melihat lebih jauh bagaimana grup idola mereka yang baru tumbuh berhikmat kepada kehidupan musik.
Bens, meminjam salah satu judul buku cerita Seno Gumira Ajidarma, adalah saksi mata. Ia adalah saksi bagaimana musik baru Indonesia tumbuh. Jika berbicara musik rock Indonesia tak melibatkan nama Aktuil, Denny Sabri, dan Bens Leo adalah kebangetan. Terutama, panggung-panggung lima tahun pertama God Bless mencari posisi dalam langgam musik rock di Indonesia.
Bens, meminjam salah satu judul buku cerita Seno Gumira Ajidarma, adalah saksi mata. Ia adalah saksi bagaimana musik baru Indonesia tumbuh.
Saat saya menyelenggarakan JogjaROCKarta dalam lima tahun terakhir, sumur yang saya timba sebagai ucapan terima kasih adalah Bens Leo. Kalau jeli, God Bless selalu kami tampilkan di bagian awal pertunjukan karena membaca cerita-cerita Bens Leo yang liputannya membuat pembaca tak ada pagar sama sekali.
Tak ada cara merawat sejarah dan memberikan penghormatan selain memberikan panggung luas kepada legenda yang merintis ekosistem musik hari ini. Seperti inilah cara ngajeni (menghormati) para senior pembuka jalan, pinjam istilah Romo Mangun.
Saat foto-foto Bens beredar ke publik memegang buku terbarunya, buku pamungkasnya berjudul Bens Leo dan Aktuil, Rekam Jejak Jurnalisme Musik (2021) sebelum pamit selama-lamanya kepada ekosistem musik Indonesia di tengah penghuni planet bumi dan panggung musik terbuka betul-betul selesai berurusan dengan pandemi, sebetulnya memutar jarum bahwa eranya sudah purna. Aktuil adalah awal dan sekaligus akhir dari jurnalisme musik Indonesia dalam bentuk cetak, dalam bentuk laporan kata-kata.
Media-media lain berkali-kali datang dan berlaga, tetapi tetap tidak bisa menyamai genderang Aktuil yang menjadi saksi bangkitnya musik di tahun 1970-an di mana Bens Leo berhikmat di sana.
Bens juga menyaksikan bagaimana majalah musik yang coba dibangunnya di awal milenium, NewsMusic, tumbang. Ia pun saksi lahir dan tumbangnya majalah Hai, dan tentu saja Rolling Stone Indonesia. Periksalah secara saksama, jejak Bens semua ada. Bukan hanya itu, majalah atau koran-koran umum yang konsens dengan pertumbuhan musik seperti Tempo dan Kompas, Bens menyumbang gagasan.
Yang ada di pikiran Bens adalah bukan fanatik kepada (bentuk) media, tetapi bagaimana diskursus musik tetap berjalan. Ia tahu dan sadar bahwa media cetak sekarat dan tidak lagi punya pembaca. Tetapi, diskursus musik tetap harus ada dan mencari media yang paling mungkin untuk mengaktualisasikan musik sebagai sebuah wacana, sebagai sebuah diskursus.
Baca juga: Problematika Musik Indonesia Mutakhir
Betapa pun, Bens menyuntuki untuk mengisi kolom-kolom musik dengan tingkat kesuburan di atas rata-rata. Dari sejumput jumlah kolumnis musik di media, nama Bens berada di lingkaran tiga besar.
Pembaca, Aktuil boleh tumbang oleh logistik yang makin menipis sebagaimana nyaris semua dialami media-media dengan tema spesifik, tetapi tidak dengan Bens. Ia hadir dalam tumbuh tumbangnya generasi musik; dari rok, pop, jaz, dangdut, elektronik, etnik. Juga, saksi mata pasangnya panggung-panggung pertunjukan, baik yang sudah mapan maupun eksperimental.
Ia juga tak sudah-sudah duduk untuk membincangkan sisi melik musik yang cetak birunya sudah dijejaki para pendahuli seperti Ismail Marzuki ketika berusia seabad memberi tafsir baru pada 9 Mei 2014 di TIM bersama para penulis musik yang pulen seperti Suka Hardjana dan Remy Sylado.
Langgengnya Bens Leo sebagai jurnalis ingin melihat musik Indonesia bisa berbicara di panggung internasional. Diskurus mesti jalan beriringan dengan panggung-panggung dengan tema beragam. Penciptaan tanpa diikuti diskursus yang sehat membuat kita tak punya pegangan dan refleksi.
Lihatlah, saat Franki Raden menggelar panggung Indonesian Music Expo (Imex) di Bali, Bens memberi testimoni yang positif dan menyimpan harapan besar menjadikan Indonesia bagian dari musik dunia. Tidak terasing. Karena itu, mestilah tak melulu sekadar konser musik semata yang digelar, melainkan diikuti seminar besar soal musik Indonesia dan dunia.
Baca juga: Bens Leo, Aktuil, dan Jurnalis Musik
"Dalam satu panggung, musisi-musisi dengan latar belakang agama, ras, tempat asal, hingga instrumen musik yang berbeda satu sama lain dapat bertemu dan berdialog bersama. Semua perbedaan melebur menjadi kekuatan persatuan lewat musik yang dibawakan. Musik kemudian menjadi bahasa universal," tulis Bens Leo.
Kini, di pamungkas November ini, sang The Last of the Mohicans jurnalis musik itu berangkat. Barangkali ini penanda, berakhirnya sebuah era dan lahirnya generasi baru bagaimana kita mengomunikasikan musik, bagaimana kita mendiskursuskan musik.
Anas Syahrul Alimi, Ketua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival dan JogjaROCKarta