Totalitas pengabdian guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar tak diragukan lagi. Karena itu, sepantasnya mereka mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Afirmasi kebijakan sangat dinanti.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Perjuangan para guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T seperti tak habis diceritakan. Beban rasio mengajar yang tidak ideal dan minimnya fasilitas termasuk kesejahteraan tidak memadamkan semangat mereka untuk mendidik anak-anak bangsa di daerah-daerah terpencil ini.
Laporan liputan 4K “”uara Tak Terdengar” yang disajikan pada Senin (29/11/2021) dan Selasa (30/11/2021) menunjukkan totalitas pengabdian para guru di daerah terpencil tersebut. Di tengah keterbatasan, mereka berjuang dengan segala kemampuan untuk mengatasi kendala-kendala dalam mengajar, baik kendala geografis maupun kendala dalam pembelajaran.
Perjuangan mereka semakin berat di masa pandemi ini. Bukan hanya berjibaku menjaga dan memulihkan pembelajaran, mereka juga tidak bisa mendapatkan tambahan ”angka kredit” kenaikan pangkat dari pelatihan maupun seminar pendidikan yang marak diselenggarakan secara daring selama pandemi. Akses internet menjadi kendala mereka.
Seperti dikatakan guru Sartono dalam lirik lagunya yang berjudul ”Hymne Guru”, para guru di daerah terpencil inilah pelita dalam kegelapan yang sesungguhnya, patriot pahlawan bangsa yang sejati. Tanpa keberadaan mereka, anak-anak di daerah terpencil akan tetap terpencil, semakin terpinggirkan dalam gempita pembangunan ini.
Pengabdian para guru di daerah terpencil juga merupakan wujud nyata membangun Indonesia dari pinggiran yang menjadi nawacita Presiden Joko Widodo. Pendidikan merupakan tonggak penting untuk membangun sumber daya manusia unggul, sumber segala sumber kemajuan bangsa. Dan bangsa ini tidak akan maju jika banyak anak bangsa yang tertinggal.
Karena itu, sudah seharusnya totalitas pengabdian para guru di daerah terpencil ini diimbangi pula dengan totalitas upaya untuk mendukung dan membantu mereka. Dari tahun ke tahun permasalahan dan kendala yang mereka hadapi masih relatif sama, belum terlihat perbaikan nasib mereka yang signifikan, terutama pada guru-guru yang berstatus honorer. Dan hampir 60 persen guru di daerah terpencil berstatus honorer.
Karena itu, sudah seharusnya totalitas pengabdian para guru di daerah terpencil ini diimbangi pula dengan totalitas upaya untuk mendukung dan membantu mereka.
Sejumlah upaya yang telah dilakukan pemerintah, mulai dari program Guru Garis Depan, pemberian tunjangan khusus guru, hingga peningkatan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sampai dengan 100 persen untuk daerah 3T belum membuahkan hasil maksimal. Program Guru Garis Depan, misalnya, tidak berjalan mulus karena sejumlah guru mengundurkan diri (Kompas, 22/7/2017). Selain karena faktor mental guru yang bersangkutan, juga karena dukungan kesejahteraan di daerah minim.
Dengan segala keterbatasan fasilitas, tak banyak guru yang bersedia ditempatkan di sana. Karena itu, sepatutnya mereka mendapatkan insentif khusus. Rencana Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan afirmasi bagi guru di daerah terpencil, berupa insentif kenaikan karier dan insentif/tunjangan khusus, patut diapresiasi.
Namun, belajar dari pengalaman program Guru Garis Depan, kebijakan tersebut hendaknya dibarengi dengan pembenahan tata kelola dan manajemen sumberdaya pendidikan yang baik. Dan di era otonomi daerah ini, sinergi pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci.