Kekerasan terhadap anak terus terjadi. Banyak penelitian mengungkap anak korban kekerasan akan meniru melakukan hal sama kepada orang lain atau sesuatu yang dianggap lebih inferior, misalnya adik, teman, atau hewan.
Oleh
ANGELINA THEODORA
·4 menit baca
Hampir dua tahun pandemi telah mengubah seluruh kehidupan. Orang dipaksa untuk menyesuaikan diri karena kehilangan. Kehilangan orang yang disayangi, penghasilan, kebebasan, dan fasilitas lain. Tanpa pandang bulu, semua orang ikut terdampak.
Bagi keluarga yang intensitas pertemuannya meningkat, hal itu berpotensi menimbulkan kejenuhan. Memicu permasalahan lain di rumah.
Dalam penelitiannya, Sorkam dkk (2018) menemukan bahwa parental burnout, yaitu kondisi orangtua yang merasakan kelelahan fisik ataupun mental dalam mengasuh anak, biasanya muncul tanda dalam bentuk emosi berlebihan, tidak menikmati lagi mengasuh anak dan menjauh secara emosional dari anak.
Hal-hal tersebut dapat berpengaruh dalam pengasuhan dan berdampak pada pengabaian dan kekerasan terhadap anak. Hal-hal yang berkaitan dengan parental burnout menjadi semakin parah ketika orangtua mengalami kesulitan keuangan karena pandemi, ketidakpastian, dan menghadapi tuntutan yang terus-menerus, bahkan mungkin lebih banyak dari sebelum pandemi.
Di sini kami menemukan bahwa kekerasan terhadap anak naik 12,6 persen selama pandemi.
Kekerasan domestik
Berbagai laporan menyebutkan tentang meningkatnya kekerasan domestik, baik yang terjadi pada perempuan maupun anak. Wahana Visi Indonesia (WVI) tahun 2021 ini baru saja menyelesaikan vulnerable survey terhadap 924 anak yang mewakili 29 area program di 14 provinsi. Di sini kami menemukan bahwa kekerasan terhadap anak naik 12,6 persen selama pandemi.
Jenis kekerasan fisik yang sering dialami anak adalah ditampar, didorong, diguncang, atau dilempar dengan sesuatu, sementara kekerasan verbal yang sering terjadi adalah anak diejek, direndahkan, dikatakan sebagai anak bodoh dan tidak berguna.
Data tersebut menunjukkan bahwa orang dewasa yang melakukannya kurang memiliki kemampuan untuk merespons situasi. Orangtua memang mengalami masalah karena pandemi, seperti kehilangan pekerjaan, berkurangnya mata pencarian, berubahnya pola kerja, bertambahnya tanggung jawab karena harus bekerja di rumah dan mengasuh anak. Namun, banyak orangtua yang lupa bahwa anak-anaknya pun menghadapi hal yang sama.
Anak juga kehilangan kesempatan bermain secara fisik di luar rumah, kehilangan teman dan kesempatan bersosialisasi di sekolah, harus beradaptasi dengan pola belajar dan bermain yang sama sekali baru. Belum lagi jika ternyata orangtuanya tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan sarana yang dibutuhkan untuk melakukan itu semua.
Anak-anak juga mengalami burnout. Namun, karena anak di dalam mayoritas kultur kita masih dianggap sebagai makhluk inferior, mereka tidak bisa mengekspresikan diri.
Resiliensi
Secara harfiah resiliensi diterjemahkan sebagai ketahanan psikologis dan kemampuan mental untuk kembali ke status normal dengan cepat setelah mengalami krisis. Kemampuan ini belum tentu dimiliki setiap orang, tetapi jelas pada masa seperti sekarang dibutuhkan semua orang.
Gayatri dan Irawaty (2021) melakukan sebuah review literatur tentang resiliensi keluarga terhadap delapan studi yang mewakili seluruh benua. Hasilnya adalah bahwa tekanan selama pandemi ini dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan mental.
Sebagai upaya untuk mengembalikan hubungan dalam keluarga yang retak akibat gangguan tersebut, komunikasi yang baik, praktik-praktik yang kembali pada keyakinan dan nilai luhur harus dilakukan. Pola pikir positif dan upaya saling dukung menjadi kunci untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi. Semua ini dapat membantu menghadapi ketidakpastian dan menjaga kewarasan.
Perlu bimbingan
Mengatakannya memang mudah. Masalahnya, kebanyakan keluarga bahkan tidak diajari untuk berkomunikasi dengan baik, mulai lepas dari keyakinan akan nilai-nilai positif yang mereka anut. Oleh karena itu, perlu bimbingan untuk menjadi resilien.
Dua tahun terakhir ini WVI telah berupaya membantu banyak keluarga agar memiliki resiliensi terhadap kondisi pandemi. ”Pengasuhan dengan Cinta Selama Pandemi” adalah nama pelatihan kepada 9.000 lebih orangtua penerima manfaat program WVI.
Di dalam modul pelatihan ini, selain diajarkan tentang menjaga kesehatan dasar selama masa pandemi, juga tentang menjaga kekompakan di dalam keluarga, juga pentingnya belajar dan beribadah bersama di dalam rumah.
Modul ini dapat diakses di laman WVI di www.wahanavisi.org.
Banyak peserta pelatihan yang mengatakan bahwa baru kali ini mereka diajari cara menjadi orangtua. Hal ini tentu sudah sering kita dengar karena memang pada umumnya kita menjadi orangtua dengan gaya yang kita tiru begitu saja dari generasi sebelumnya.
Masih banyak pola menggunakan kekerasan yang juga kita lakukan terhadap anak-anak kita.
Masih banyak pola menggunakan kekerasan yang juga kita lakukan terhadap anak-anak kita. Banyak penelitian yang mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan akan meniru melakukan hal yang sama kepada orang lain atau sesuatu yang dianggapnya lebih inferior, misalnya adik, teman, atau hewan.
Hentikan lingkaran
Lingkaran ini harus berhenti di kita. Pengasuhan dengan cinta mungkin bukan obat mujarab untuk segala problem pengasuhan. Yang saat ini bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa semua anggota keluarga dalam keadaan sehat lahir dan batin. Melakukan kekerasan sebagai respons dari ketidakmampuan kita menghadapi masalah hanya akan menambah masalah baru.
Klise rasanya mengatakan bahwa mengekspresikan rasa cinta, berpikir positif, dan mencoba memperbaiki hubungan dapat menjadi solusi sederhana, tetapi dari praktik yang kami temukan di lapangan, hal tersebut memang menjadi jawaban kebutuhan kita saat ini.
Sambil menunggu semesta menggeliat dan kembali ke masa sebelum pandemi, atau bahkan menjadi lebih baik lagi, lakukan saja hal yang tidak membutuhkan biaya dan memang bisa kita lakukan.
Anak-anak kita memiliki masa depan yang membentang luas, mari bekali mereka dengan ingatan akan orangtua yang memberi contoh kemampuan bertahan dan membal ketika dijatuhkan ke tanah.
Selamat Hari Anak Sedunia!
Angelina Theodora,CEO dan National Director Wahana Visi Indonesia