Molornya penentuan tanggal Pemilu 2024 menimbulkan ragam spekulasi di tengah-tengah masyarakat. Pandangan miring dari masyarakat berseliweran, dan ini tak dapat dielakkan. Tak sedikit yang berpandangan, itu adalah cara DPR dan Presiden Joko Widodo untuk memperpanjang masa jabatan, mempersiapkan lebih matang rencana amendemen Pasal 7 UUD 1945 dan Pasal 3 tentang kewenangan MPR, dengan memasukkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam UUD 1945.
Tak bisa ditampik, isu-isu di atas sudah telanjur singgah di benak publik. Termasuk mengaitkannya dengan penetapan tanggal pemilu serentak 2024 yang terlalu lama dan bertele-tele. Spekulasi lain yang lebih liar berpotensi muncul kembali apabila DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak juga bersepakat tentang jadwal pemungutan suara Pemilu 2024. Apabila dalam waktu dekat ini tak juga ada kepastian, tanggal Pemilu 2024 akan ditentukan oleh rakyat melalui referendum.
Rakyat pasti tahu, kapan jadwal yang cocok bagi mereka untuk memilih. Referendum penentuan tanggal Pemilu 2024 layak dipikirkan. Kendati, cara ini tidak diatur dalam UUD 1945. Ibarat main sepak bola, 5 menit jelang pertandingan usai, tak juga tercipta gol, maka penonton masuk ke lapangan untuk menjebol gawang lawan.
Baca juga : Kepastian Hukum Jadwal Pemilu
Spekulasi-spekulasi liar tersebut harus menjadi perhatian bagi DPR, pemerintah, dan KPU. Tiga lembaga negara ini diminta untuk segera menetapkan jadwal Pemilu 2024. Kapan pesta demokrasi itu dilaksanakan kembali? Apakah jadi pada 2024 atau tidak? Katakan saja, biar kami rakyat ini senang dan tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan elite kekuasaan yang belum tentu berpihak pada rakyat.
Sebab, ada pula pernyataan anggota DPR bahwa ia merasa tidak ada Pemilu 2024. Justru itulah, sekali lagi, kami rakyat ini bertanya-tanya berlama-lamanya penetapan tanggal Pemilu 2024. Jika tidak ada Pemilu 2024, maka kami rakyat bisa pula mengerjakan urusan yang lain. Mengurus anak-anak kami, pendidikannya yang kini biaya sekolah sangat mahal, kebutuhan gizinya, dan sebagainya.
Tulisan ini hendak menyigi tentang apa risiko berlama-lamanya penentuan tanggal Pemilu 2024. Pertanyaan ini sangat penting karena biasanya kalau membongkar dan merevisi RUU Pemilu tidak lama karena begitu cairnya kepentingan partai-partai politik di parlemen. Namun kali ini agak lain, penentuan tanggal pemilu yang lama dan tidak biasa seperti ini. Padahal, rakyat memiliki beban elektoral yang tidak sedikit, tiga jenis pemilihan diseleggarakan pada tahun yang sama pada 2024.
Pemilih apatis
Risiko berlama-lamanya penetapan jadwal Pemilu 2024, selain berkembangnya isu perpanjangan masa jabatan presiden dan DPR yang ditandai dengan adanya amendemen terbatas UUD 1945, terutama Pasal 7 dan Pasal 3. Pasal 7 mengatur bahwa ”presiden dan/atau wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Adapun Pasal 3 terkait dengan kewenangan MPR yang ingin dibongkar dengan menambah kewenangan MPR, yaitu menetapkan GBHN.
Sebab, MPR telah mereduksi kewenangannya sendiri dan tidak berwenang lagi menetapkan panduan bernegara itu dan saat ini diganti dengan kekuatan visi dan misi presiden. Akibatnya, negara ini berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Karena bergantung kepada program presiden yang dinilai tidak berkelanjutan, dan apabila presiden berganti maka berganti pula visi-misinya.
Risiko yang tak kalah peliknya adalah apatisnya pemilih dalam Pemilu 2024.
Risiko yang tak kalah peliknya adalah apatisnya pemilih dalam Pemilu 2024. Ada beberapa penyebab apatisnya pemilih dalam gelaran Pemilu 2024. Pertama, parpol belum berfungsi sebagai wahana untuk menyambung aspirasi rakyat dengan pengambil kebijakan. Banyak kebijakan DPR dan pemerintah, khususnya dalam bentuk UU, yang tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. UU dibahas secara kilat tanpa partisipasi luas masyarakat. Misalnya RUU MK, RUU Minerba, dan RUU KPK. Tiga RUU itu saat ini telah ditetapkan menjadi UU.
Kedua, partisipasi rakyat dalam pemilihan selama ini adalah partisipasi yang digerakkan, dimobilisasi dengan iming-iming uang dan aneka fasilitas lainnya. Jarang ada partisipasi murni dari rakyat yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, partisipasi yang lahir dari kesadaran politik menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Rakyat hanya diperkuda untuk memenuhi hasrat kekuasaan para petualang politik yang mengadu untung dan nasib setiap momentum elektoral pemilu. Setelah berkuasa, rakyat ditinggalkan bak ayam kehilangan induk.
Baca juga : Mencari Titik Temu Jadwal Pemilu
Ketiga, elite menjadikan kontestasi pemilu, terutama pilpres, sebagai sarana bagi-bagi kekuasaan semata-mata. Kontestasi hanya berlangsung dalam kampanye, setelah pemenang pilpres ditetapkan oleh KPU dan dilantik oleh MPR, kompetitor pilpres menjadi bagian dari kekuasaan. Ini pertama kali terjadi di Indonesia. Ini kerap disebut dengan pemenang mengambil semuanya sehingga tak ada yang tersisa.
Keempat, di parlemen hampir tidak ada oposisi, semua partai yang kalah dalam pilpres semua mendekat kepada kekuasaan. Akibatnya, pengawasan dan perimbangan antara DPR dan presiden tak jalan. Ini dapat mengorbankan kehendak rakyat dan sangat berbahaya, kekuasaan besar tanpa kontrol maka rentan menyimpang.
Kelima, partai yang menahbiskan diri menjadi oposisi seolah-olah tak berdaya menghadapi serangan oligarki yang bergerombol dalam lingkaran koalisi. Suara-suara kritis hilang ditelan angin dinding tembok tebal parlemen. Partai oposisi juga tak serius beroposisi dan sangat bergantung pula pada arah angin. Apabila diajak bergabung di kabinet, maka baju oposisi akan ditanggalkan segera.
Akhirnya, inilah risiko molornya penetapan tanggal pemilu yang kian lama dan membosankan pemilih. Bagaimanapun, pemilih berharap ada kepastian kapan mereka kembali untuk memilih pemimpin mereka setelah periode DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan/atau wakil presiden berakhir pada 2024. Wallahualam.
Zennis Helen
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang; Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Unissula Semarang