Menyehatkan Laut Indonesia
Indonesia perlu memperkuat kebijakan kelautan (”ocean policy”) dalam orientasi yang sama dengan semangat menguatkan dan memberdayakan SDM kelautan di seluruh pelosok negeri.
Laut Indonesia sedang tidak sehat. Gejalanya ditandai oleh rendahnya skor Indeks Kesehatan Laut (Ocean Health Index/OHI).
Tak cukup bersiasat dengan menambah tebal produk kebijakan, laut juga butuh sumber daya manusia (SDM) unggul sebagai jangkar pemulihannya. Ekosistem laut telah menjadi utama dalam menjaga keberlangsungan hidup dan penghidupan manusia. Sejak 70 persen permukaan Bumi berupa perairan, peran laut menjadi sangat menentukan keseimbangan iklim.
Laut menghasilkan lebih dari 50 persen oksigen, sumber penghidupan bagi lebih dari tiga miliar manusia, dan menyediakan asupan protein utama bagi lebih dari satu miliar penduduk. Laut telah menjadi rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati di planet Bumi. Maka, kesehatan laut menentukan kualitas hidup manusia dan keberlanjutan layanan alam.
Enam indikator
Laman resmi Global Ocean Health Index termutakhir menunjukkan skor OHI Indonesia hanya 65, enam angka di bawah rata-rata global. Indonesia di peringkat ke-137 dari 221 negara.
Kondisi serba minimalis ini belum bergeser sejak 2015. Secara relatif, kebijakan dan aksi kesehatan ekosistem laut Indonesia belum begitu baik dibandingkan rata-rata dunia (Kemenko Marves, 2020). Ada enam dari 10 indikator OHI yang menyebabkan terganggunya kualitas kesehatan laut Indonesia.
Sebenarnya, sejak empat dekade silam, telah banyak kebijakan dikeluarkan guna mendukung pengelolaan pangan perikanan berkelanjutan.
Pertama, indikator peran laut sebagai sumber pangan. Pada rentang penilaian nol hingga 100, skor kita hanya 34. Pengelolaan pangan perikanan, baik untuk perikanan tangkap maupun budidaya, dinilai masih jauh dari praktik berkelanjutan. Sebenarnya, sejak empat dekade silam, telah banyak kebijakan dikeluarkan guna mendukung pengelolaan pangan perikanan berkelanjutan.
Namun, implementasi di lapangan belum sepenuhnya efektif. Contoh, pelarangan penggunaan alat tangkap trawl guna mengurangi tekanan atas sumber daya perikanan dan mencegah konflik perebutan sumber daya ikan antara nelayan pengguna trawl dan tradisional. Lalu, kebijakan larangan ekspor benih lobster guna menjaga keberlanjutan benih di alam sekaligus menggalakkan budidaya lobster di dalam negeri.
Bahkan, telah tersedia pula instrumen kebijakan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) sebagai acuan pengelolaan budidaya perikanan berkelanjutan di kepulauan Indonesia.
Baca juga : Transformasi Ekonomi Perikanan
Indikator terendah kedua, peran laut sebagai penyedia jasa pariwisata dan rekreasi dengan skor 36. Parameter ini untuk mengukur proporsi total pekerja di sektor pariwisata dan wisata pantai, dengan memperhitungkan pengangguran dan keberlanjutannya. Kekayaan potensi wisata bahari Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, hingga Miangas sampai Pulau Rote, belum dimanfaatkan secara optimal.
Ketiga, skor 58 untuk indikator kebersihan perairan laut. Ini mengindikasikan masih tingginya risiko laut digunakan sebagai ”tong sampah raksasa” menampung berbagai bahan pencemar yang membahayakan kualitas hidup warga-bangsa dan ekosistem laut beserta isi.
Keempat, mengukur kesempatan berusaha dan bekerja bagi perikanan tradisional. Lebih dari 90 persen populasi nelayan kita skala kecil dan tradisional. Kita termasuk negara yang paling awal menjalankan amanat Instrumen Perlindungan Nelayan Skala Kecil (FAO Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication, 2014) dengan mengesahkan UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Skor 58 merefleksikan inisiatif baik untuk melengkapi instrumen perlindungan nelayan belum sebangun dengan prestasi mengawal implementasi kebijakan itu di kampung-kampung nelayan.
Kelima, nilai 64 untuk indikator perlindungan spesies dan tempat ikonis. Peran kearifan lokal masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang mendukung pelestarian lingkungan juga belum sepenuhnya termanfaatkan. Termasuk, belum optimal dalam menjaga sumber daya ikonik di suatu wilayah yang melambangkan manfaat budaya, spiritual, estetika, dan manfaat tak berwujud lainnya.
Terakhir, indikator fungsi laut sebagai penyimpan karbon juga mulai menurun. Referensinya dengan membandingkan luas dan kondisi penyimpanan karbon dioksida di habitat pesisir saat ini dengan kondisi awal 1980-an.
Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia dan padang lamun terluas di Asia Tenggara. Namun, skor indeks penyimpanan karbonnya hanya 67. Artinya, habitat saat ini telah menurun signifikan sejak 1980 dan harus dilakukan perlindungan dan restorasi agar peran dan fungsi penyimpanan karbonnya kembali optimal.
Menyehatkan
Di luar enam indikator minimalis itu, ada empat indikator lain yang masuk penilaian baik dan perlu terus dipertahankan: indikator sumber mata pencarian dan ekonomi (71); keanekaragaman hayati laut (85); perlindungan pesisir (88); dan, terbaik, fungsi laut sebagai sumber produk alam (98).
Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar di dunia, tak berlebihan meletakkan laut sebagai pusat solusi dari pelbagai persoalan bangsa. Mulai dari pengurangan kemiskinan, pengangguran, hingga kelaparan. Perbaikan terhadap enam indikator kunci OHI harus menjadi prioritas bersama semua kementerian dan lembaga, termasuk dalam menetapkan prioritas anggaran ke depan.
Kesehatan laut Indonesia merupakan himpunan dari kesehatan tiap-tiap perairan laut daerah.
Selain itu, pemda harus menjadi ujung tombak dari proses pemulihan ekosistem laut. Kesehatan laut Indonesia merupakan himpunan dari kesehatan tiap-tiap perairan laut daerah. Maka, Pedoman Indeks Kesehatan Laut Indonesia (IKLI) yang telah disiapkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi perlu segera diinduksi sebagai instrumen pengukuran kesehatan ekosistem laut di 34 provinsi.
SDM aparatur daerah harus memiliki kecakapan, kepekaan, dan kesungguhan untuk mengaplikasikan instrumen IKLI ke dalam arah kebijakan dan prioritas pembangunan di daerah masing-masing.
Terakhir, Indonesia perlu memperkuat kebijakan kelautan (ocean policy) dalam orientasi yang sama dengan semangat menguatkan dan memberdayakan SDM kelautan di seluruh pelosok negeri. Mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim tak akan pernah cukup walau dilengkapi dengan berjuta kebijakan. Lebih dari itu, Indonesia butuh kolaborasi sebanyak-banyaknya SDM unggul guna menggerakkan pelbagai inovasi kebijakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara operasional, 61 perguruan tinggi ilmu dan teknologi kelautan di seluruh kepulauan dapat menjadi akselerator dengan fokus kajian dan kontribusi spesifik terhadap 10 Indeks Kesehatan Laut Indonesia. Sejatinya, menyehatkan laut Indonesia adalah menyehatkan SDM kelautan Indonesia.
M Riza Damanik, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia; Analis Utama Lab45