Lampung merupakan salah satu lumbung sastra Indonesia. Generasi demi generasi penyair terus lahir di Lampung dan mereka mencatat kekayaan khazanah Lampung yang sering dijuluki Indonesia mini dalam puisi-puisi mereka.
Oleh
ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN
·5 menit baca
Lampung sebagai Indonesia mini, demikian julukan yang kerap kali melekat pada provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, telah ”melahirkan” banyak sastrawan, lebih khususnya penyair. Para penyair itu, dengan keberagaman ”bumi lada”, acap menghadirkan nuansa beragam dalam puisi. Baik dari segi estetika, pengucapan atau metafor yang khas. Keberagaman itu pulalah yang membuat inflasi puisi di Lampung terus saja bergemuruh.
Terlepas dari Isbedy Stiawan ZS, yang telah melanglang buana di pelbagai kegiatan sastra nasional/internasional, tidak sedikit penyair baru tumbuh dan berkembang. Meskipun ada penyair yang hanya berupa perlintasan karena tinggal atau berdomisili di Lampung, keberagaman ini seperti geliat yang terus melecut. Tumbuhnya kerja kreatif dan proses yang mendasari kerja kepenulisan (sastra) itu memberikan semacam pemantik jika Lampung merupakan salah satu lumbung sastra Indonesia.
Mengingat hal di atas, ada banyak nama yang perlu disebutkan—yang sebagian besar pula berpredikat sebagai penyair. Kita mencatat barisan penyair yang turut menorehkan puisi-puisi mereka di panggung nasional. Antara lain Syaiful Irba Tanpaka, Ahmad Yulden Erwin, Iswadi Pratama, Djuhardi Basri, Dahta Gautama, Oyos Saroso HN, Udo Z Karzi, Elly Dharmawanti, Budi P Hatees, Ari Pahala Hutabarat, M Arman AZ, Jimmy Marulli Alfian, Inggit Putria Marga, Alya Shinta, Dina Oktaviani, Dyah Indra, Agit Yogi Subandi, dan Fitriyani.
Generasi demi generasi penyair terus lahir di Lampung, beberapa di antaranya memiliki gaya ungkap yang khas atau telah mencapai ”puncak”-nya dalam kepenulisan puisi. Namun, setelah itu menghilang dari hiruk-pikuk sastra. Barangkali sibuk bergelut dengan rutinitasnya yang baru.
Adalah Plato yang pernah menyatakan secara tersirat apabila seni merupakan mimesis (tiruan) alam. Setiap citraan yang dibangun dari karya seni, termasuk sastra di dalamnya, tidak lebih merupakan bentuk yang lain dari realitas (alam) itu sendiri.
Setiap citraan yang dibangun dari karya seni, termasuk sastra di dalamnya, tidak lebih merupakan bentuk yang lain dari realitas (alam) itu sendiri.
Namun, perbedaan pemaknaan yang kadung dititipkan sebuah teks sastra, terutama dalam benak pembaca, lebih menunjukkan kerja dunia sastra yang memang tak mesti lazim sebagaimana teori yang berkembang di luarnya. Artinya memang, Lampung sebagai provinsi yang memiliki banyak kekayaan alam dengan lanskap laut dan gunung memiliki ”pukau” serupa itu.
Pun dalam hal puisi, maka memang tak mengherankan pula jika banyak penyair yang lahir dari ”negeri lada” ini. Ihwal keterpukauan terhadap citraan alam setidaknya turut memberikan sumbangsih bagi proses para penyair untuk menuliskan ulang atau mengeksplorasi setiap karya yang dihasilkannya.
Kehidupan kota
Permasalahan kehidupan kota di Lampung dalam beberapa puisi yang ditulis terasa kental. Entah itu termasuk keterpukauan atau juga semacam potret kesaksian dari para penyair. Bagi seorang yang pernah dikutuk, tulis Goenawan Mohamad dalam Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang, ada hal-hal keras dan tidak menarik demikian pula dengan pemberontakan. Namun, melalui puisi, setidaknya akan ada jalan pulang, katakanlah untuk merenung dan menafsirkan diri sendiri.
Semacam yang pernah ditulis Isbedy Stiawan ZS dalam ”Kota Cahaya”—atau dalam beberapa puisi Iswadi Pratama yang banyak mengambil nama kota. Pula, di beberapa bagian lain Udo Z Karzi turut mencatat ”Liwa”, yang memang merupakan tanah kelahirannya.
sebuah kota cahaya lahir di wajahmu / aku pun singgah. jika diperkenankan / aku hendak mendirikan rumah di sini / dengan pintu atau jendela menghadap pantai. / dan tanganmu jadi sampan, rambutmu layar. / sesekali merapat di kaca kamarku. / seperti tetesan embun yang mencair: mutiara dalam mimpiku
Lalu menutupnya dengan gairah yang telah tanak terhadap persinggungan dirinya dengan kedua kota di Lampung itu. Kota yang kerap meninggalkan cahaya baginya:
gairah apa yang melahirkan kota cahaya ini / ketika siang yang rusuh? / aku tatap parasmu / membayang kota terbuka / aku pun menyusuri / liku-sungaimu / amboi, gairah apa / yang menggetarkan hasrat ini?
Namun, pada puisi Iswadi Pratama, keberadaan kota hanya berupa sampiran, pelengkap—namun justru membuat rasa ingin tahu yang lebih jauh terhadap kehidupan kota di Lampung tersebut. Dalam ”Jalan Setapak”, Iswadi membuka puisinya:
engkau jalan setapak di pinggiran tanjungkarang / meliuk di pinggang bukit, lempang di landai pantai / rumpang-lesuh di kampung kumuh / Lalu mengakhirnya dengan ambigu luas: / engkau jalan setapak yang mengantarku / ke hutan di pinggiran tanjungkarang / hutan yang belum pernah mereka temukan.
Lain pula dengan Udo Z Karzi yang menuliskan tanah kelahirannya dengan pertanyaan akan kehilangan, keterasingan, juga kesia-siaan. Kampung halamannya yang telah berubah. Ia bertanya di puisi ”Liwa” dengan bahasa asli Lampung, yang terjemahannya seperti ini:
apa lagi yang bisa kubanggakan darimu / gemburnya tanah subur yang dulu kutinggal kini kerontang / way sindalapai, way robok, way setiwang yang mengaliri jiwaku / tak lagi membuat darah semangatku menggelegak / hijaunya bukit, birunya pesagi, lembutnya angin / tak lagi kutemui dalam percumbuan kita kemarin
Demikianlah. Kita berhadapan dengan teks-teks puisi yang kembali menyuling setiap kebeningan peristiwa. Kondisi kota besar yang acap kali meninggalkan peristiwa getir, untuk memulai pertanyaan (perenungan) terhadap kehidupan itu sendiri.
Barangkali memang Lampung merupakan Indonesia mini. Daerah yang kaya dengan pelbagai khazanah. Dan para penyair pun mencatatnya dalam puisi-puisi mereka. Dengan luas wilayah 34.623,80 kilometer persegi, Lampung seperti menjadi salah satu lumbung dan pelabuhan.
Barangkali Lampung adalah puisi itu sendiri. Tempat banyak orang berinteraksi dengan lintasan daerah menjelma pintu masuk. Ia merupakan akulturasi segala macam budaya dan tabiat sehingga membuat wilayah ini semakin beraneka.
Demikian pula dengan puisi-puisi dari para penyairnya. Untuk sesekali pulang, menjenguk silsilah atau meraba cemas yang telanjur luruh di dada setiap orang. Dan puisi-puisi itu adalah jejak dari setiap artefak yang membangunnya. Sungguh bahagia.
Alexander Robert Nainggolan, Penulis Cerpen, Esai; Facebook: Alex R Nainggolan