Prospek Saham Teknologi
Dari investasi Warren Buffett pada saham teknologi dapat dikatakan bahwa saham sektor teknologi terbukti merupakan pilihan investasi menarik, tetapi untuk investor dengan pola pikir investasi jangka panjang.
Di tengah masa pandemi Covid-19, Bursa Efek Indonesia tak kehilangan geliatnya. Indonesia berhasil menjadi negara dengan jumlah pencatatan saham terbanyak di Asia Tenggara selama pandemi, yakni 46 emiten selama Januari-September 2020.
Salah satu penawaran saham perdana (IPO) terbesar adalah perusahaan e-commerce PT Bukalapak Tbk dengan kode saham BUKA yang turut membukakan jalan untuk perusahaan teknologi sejawatnya.
Kita sudah mendengar wacana IPO dari perusahaan teknologi lain, seperti GoTo, Blibli, dan Traveloka. Rencana ini disambut antusias para investor ritel yang jumlahnya melonjak setahun belakangan. Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), selama pandemi terjadi peningkatan jumlah investor hingga 50 persen, setengahnya berusia di bawah 31 tahun.
Namun, euforia investor pemula ini tampaknya tak diimbangi pengetahuan yang memadai tentang mekanisme dasar pasar modal yang berfluktuasi. Kita bisa melihat beberapa investor yang kecewa terhadap turunnya harga saham BUKA mengarahkan kemarahannya lewat ulasan aplikasi Bukalapak. Oleh karena itu, diperlukan edukasi mengenai dasar-dasar investasi saham, khususnya prospek perusahaan teknologi yang digemari investor ritel.
Memahami profil risiko dan tren
Di dalam berinvestasi saham, investor harus dapat menentukan profil risiko masing-masing karena transaksi apa pun yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan tetap harus memperhitungkan potensi kerugian. Beberapa risiko, antara lain, risiko likuiditas (kebangkrutan) dan capital loss (kerugian modal investasi) apabila saham yang dibeli kemudian dijual dalam kondisi harga yang lebih rendah.
Edukasi mengenai manfaat dan risiko pada tiap jenis investasi serta toleransi atas risiko inilah yang masih harus digalakkan di Indonesia.
Investasi pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam obyek transaksi yang berwujud (real asset) maupun obyek transaksi yang tak berwujud (paper asset). Pelaku transaksi yang melakukan transaksi dalam jangka waktu pendek hingga menengah disebut trader, sementara yang melakukan transaksi jangka waktu menengah hingga panjang dapat disebut investor.
Investasi saham dapat menjadi pilihan untuk jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang. Terdapat beberapa metode dan pendekatan transaksi yang dapat digunakan dalam pendekatan instrumen saham, misalnya pendekatan analisis fundamental yang umumnya dilakukan investor jangka menengah hingga panjang, melalui analisis kinerja perusahaan dan karakter operasional perusahaan.
Terdapat juga pendekatan analisis teknikal yang diterapkan investor jangka pendek (trader), dilakukan berdasarkan kinerja harga saham dan tren harga saham suatu perusahaan.
Saham teknologi sebagai investasi jangka panjang mempercepat transformasi digital.
Selama pandemi ini kita mengamati bagaimana hidup kita sudah tak dapat hidup lepas dari teknologi. Februari tahun ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah resmi menerapkan klasifikasi sektor industri baru, yaitu IDX Industrial Classification (IDX-IC). Ada sejumlah indeks sektoral, dengan salah satunya IDXTECHNO berisi saham-saham perusahaan di sektor teknologi.
Sektor teknologi akan menjadi sektor yang paling diuntungkan atas tren menuju digitalisasi ini. Berbagai perusahaan teknologi di Indonesia yang akan IPO memiliki growth story yang menarik sehingga tak bisa menggunakan analisis fundamental biasa karena sebagian besar perusahaan teknologi ini belum membukukan keuntungan.
Pada beberapa tahun pertama Mark Zuckerberg mendirikan Facebook, dia fokus pada pertumbuhan (growth) dan bukan pada monetisasi. Konsepnya adalah jika cukup banyak pengguna yang menggunakan aplikasinya, memonetisasi platform tidak akan terlalu sulit, dan ternyata Zuckerberg terbukti benar.
Jika dibandingkan dengan harga saham pada saat IPO Facebook (NASDAQ:FB) tahun 2012, harga saham Facebook telah meningkat 866 persen pada 2021, dengan compound annual growth rate (CAGR) 28,73 persen.
Hal ini juga terjadi pada Zoom. Zoom Video Communications (NASDAQ:ZM) adalah salah satu perusahaan yang dianggap diuntungkan karena pandemi. Saham ZM go public pada April 2019 dengan harga pembukaan 65 dollar AS, dan pada Oktober 2021 harganya sedikit di bawah 290 dollar AS.
Dengan kondisi pandemi yang berangsur membaik, banyak yang meragukan prospek jangka panjang Zoom, tetapi investor jangka panjang dengan visi dua hingga tiga tahun ke depan tetap bertahan. Dengan mempertimbangkan kapitalisasi pasar sekitar 75,5 miliar dollar AS, Zoom diyakini masih akan tumbuh lebih signifikan.
Perusahaan teknologi yang berinvestasi pada growth akan berdampak positif bagi valuasinya dalam jangka panjang. Dengan kata lain, sebuah perusahaan, khususnya teknologi, tidak dinilai dari berapa banyak keuntungan yang mereka hasilkan sekarang, tetapi juga dari apa yang mereka bangun dan seberapa sukses perusahaan itu di masa depan.
Sebagai investor, bagaimana cara kita memilih perusahaan teknologi publik yang mempunyai potensi mendatangkan keuntungan?
Pertama, untuk perusahaan teknologi yang belum mencatatkan keuntungan, kita perlu melihat percepatan pertumbuhan pendapatan dan perlambatan kerugian dengan arah yang jelas menuju profitabilitas. Sebagai contoh adalah Zoom yang melakukan IPO pada tahun 2019. Pada 2018, Zoom masih mencatatkan kerugian, tetapi laporan keuangan jelas menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang kuat dengan penurunan kerugian. Ini memungkinkannya untuk menjadi menguntungkan pada 2020.
Kedua, kita perlu menganalisis total peluang pasar tempat perusahaan beroperasi dan bertumbuh atau total addressable market (TAM). Semakin besar pasarnya, investasi investor dapat dikatakan aman asalkan manajemen perusahaan melakukan eksekusi dengan baik. Perhatikan juga perusahaan yang berinovasi memperluas TAM mereka dengan pindah ke vertikal lain yang dapat menghasilkan network effect dan menciptakan suatu ekosistem.
Tidak ada analis saham yang dapat memprediksi bahwa Amazon akan berinovasi begitu banyak dengan menambah vertikal bisnis, termasuk menciptakan Amazon web services yang terbukti sukses. Kalau kita mengamati perkembangan industri teknologi di Tanah Air, merger Grup GoTo menjadikan perusahaan ini sebagai ekosistem digital terbesar di Indonesia yang terdiri dari Gojek, Tokopedia, dan GoTo Financial.
Network effect dari layanan on-demand, e-commerce, serta keuangan dan pembayaran di ekosistem ini juga menjadi sesuatu yang patut diperhitungkan oleh investor.
Belajar dari Buffett
Akhir kata, kita perlu belajar dari Warren Buffett. Selama beberapa dekade, ia menghindari saham teknologi dengan alasan tidak memahaminya. Akan tetapi, baru-baru ini Buffett melalui perusahaan investasinya, Berkshire Hathaway, menanamkan investasi sekitar Rp 7,12 triliun di Bank Digital Brasil Nubank. Berkshire Hathaway juga berinvestasi di StoneCo, perusahaan pembayaran digital yang berbasis di Brasil.
Pendekatan khas Buffett adalah long term value investing, di mana ia melihat growth story jangka panjang dari perusahaan teknologi yang kita minati. Volatilitas jangka pendek bukanlah faktor risiko bagi perusahaan dengan rencana jangka panjang yang jelas.
Justru koreksi atas harga saham merupakan kesempatan untuk mengakumulasi saham lebih banyak lagi. Dari investasi Buffett pada saham teknologi, dapat dikatakan bahwa saham sektor teknologi sudah terbukti merupakan pilihan investasi yang menarik, tetapi untuk investor dengan pola pikir (mindset) investasi jangka panjang.
Lucky Bayu Purnomo, Analis Saham, Kontributor Ekonomi Kementerian Pertahanan RI