Putusan MK memberikan pelajaran bahwa tujuan baik tak boleh mengabaikan prosedur. Dialog harus terus dibangun.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Mahkamah Konstitusi membuat sejarah. Meskipun bukan putusan bulat, MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah cacat formil.
Dari sembilan hakim konstitusi, empat hakim membuat pandangan berbeda (dissenting opinion). MK juga memerintahkan pembuat UU—pemerintah dan DPR—untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU itu paling lama dua tahun. Jika tidak berhasil, UU Cipta Kerja pun dinyatakan inskonstitusional. Tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Batal demi hukum.
Sejak awal penyusunan dan pembahasan, serta pengesahannya di DPR lebih dari setahun lalu, UU Cipta Kerja memang mengundang perdebatan, kegaduhan, dan konflik di masyarakat. Kondisi itu berlanjut hingga hari ini. Pengujian UU Cipta Kerja ke MK pun merupakan bagian dari perbedaan pendapat yang menajam di masyarakat. Langkah konstitusional menguji di MK merupakan pilihan terbaik, dan tanpa kegaduhan.
Semangat pemerintah untuk merevisi dan mengubah 79 UU melalui sebuah UU, yang dikenal sebagai omnibus law, UU sapu jagat, juga baru pertama kali terjadi di negeri ini. Model penyusunan UU seperti ini belum diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang direvisi dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Kita memahami keinginan pemerintah untuk sesegera mungkin memadukan berbagai undang-undang, mewujudkan kepastian hukum, sehingga perekonomian nasional, khususnya di bidang investasi, bisa bertumbuh tinggi. Namun, ketergesaan itu dinilai oleh sebagian warga mengabaikan syarat formal penyusunan peraturan perundang-undangan.
Dalam putusannya, MK menilai pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai aturan pembentukan perundang-undangan, termasuk tak sesuai asas kejelasan rumusan dan tujuan, serta asas keterbukaan, sehingga dinyatakan cacat formil. Namun, mengingat besarnya tujuan yang ingin dicapai melalui UU itu, serta sudah banyak peraturan pelaksanaan yang diterbitkan dan diimplementasikan, MK menyatakan UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat. (Kompas, 26/11/2021)
Sejak awal penyusunan dan pembahasan, serta pengesahannya di DPR lebih dari setahun lalu, UU Cipta Kerja memang mengundang perdebatan, kegaduhan, dan konflik di masyarakat.
Putusan MK seperti ”jalan tengah” bagi UU Cipta Kerja. Tak harus dibatalkan, meski inkonstitusional, dan diberikan masa untuk memperbaikinya. Namun, putusan ini sesungguhnya juga menimbulkan kebingungan karena semestinya sebuah UU yang tak sejalan dengan UUD, baik dari sisi formil maupun substansi (material), adalah dibatalkan. Pembuat UU bisa membuat UU baru, apalagi yang tak sesuai adalah syarat formil. Fondasi dari penyusunan UU itu.
Memang hakim bisa menemukan hukum, dan putusan terhadap UU Cipta Kerja adalah penemuan hukum agar penyusun UU bisa memperbaiki diri, tak mengabaikan syarat formil sebuah peraturan. Warga yang keberatan atas UU Cipta Kerja pun bisa didengar kembali aspirasinya. Dialog antara wakil rakyat, pemerintah, buruh, pengusaha, atau warga yang memiliki aspirasi terhadap UU Cipta Kerja terbuka kembali.
Putusan MK memberikan pelajaran bahwa tujuan baik tak boleh mengabaikan prosedur. Dialog harus terus dibangun.