Ruang publik plural sejati masih menjadi cita-cita bangsa kita, bukan ruang publik kuasiplural, yaitu ruang publik yang tampaknya plural, tetapi sesungguhnya didominasi suara kelompok tertentu.
Oleh
ANTONIUS STEVEN UN
·4 menit baca
Ruang publik Indonesia dapat saja dihantui oleh gerakan massa yang tidak ramah terhadap keragaman. Sebagai contoh perusakan rumah ibadah kaum minoritas di Kalimantan Barat pada September 2021. Apabila dibiarkan, fenomena ini akan berkembang dan menghasilkan dominasi kelompok antipluralisme di ruang publik kita.
Dominasi demikian berpeluang menciptakan model ruang publik kuasiplural (the quasi-plural public sphere) di masyarakat. Ruang publik kuasiplural adalah ruang publik yang tampaknya plural karena dimasuki oleh suara-suara multireligius, tetapi sesungguhnya didominasi oleh suara kelompok tertentu, dan yang menyedihkan, kerap kali suara kaum populis atau kaum radikal yang tidak ramah terhadap keragaman.
Sesuai dengan amanat dan semangat Pancasila dan UUD 1945 serta akar historis bangsa kita, cita-cita kita sebenarnya adalah ruang publik plural sejati (the quite-plural public sphere). Ruang publik model ini adalah ruang publik yang dimasuki secara lebih kurang seimbang oleh suara-suara multireligius yang ramah terhadap keragaman tanpa didominasi oleh suara kaum populis atau kaum radikal dan tanpa perlu dibelenggu oleh komitmen netralitas, seperti disyaratkan oleh gagasan ruang publik liberal.
Secara teoretis, cita-cita ruang publik plural sejati memperoleh topangan dari gagasan masyarakat pascasekuler, seperti yang diartikulasikan oleh filsuf gaek Jurgen Habermas.
Bagi Habermas, jaminan kebebasan beragama yang diamanatkan oleh konstitusi suatu negara seharusnya menjamin penggunaan bahasa agama di ruang publik. Insan religius yang memiliki iman sejati (genuine faith) akan melihat agama sebagai sumber energi eksistensial bagi seluruh kehidupannya sehingga ia akan terbiasa berpikir dan berkata-kata dengan bahasa agama.
Pemaksaan terhadap insan religius untuk menerjemahkan bahasa religius menjadi bahasa sekuler tatkala disampaikan di ruang publik akan menimbulkan apa yang disebut Habermas sebagai ”beban mental dan psikologis yang tidak masuk akal dan asimetris”, Pada pengertian ini, gagasan ruang publik liberal dengan komitmen netralitasnya merupakan gagasan yang tidak adil bagi warga negara religius.
Gagasan ruang publik liberal dengan komitmen netralitasnya merupakan gagasan yang tidak adil bagi warga negara religius.
Gagasan masyarakat pascasekuler, bagi Habermas, sesungguhnya merupakan suatu perubahan kesadaran, terutama pada kaum sekuler bahwa kaum religius tetap hadir dan berkontribusi di ruang publik, di tengah proses sekularisasi di dunia Barat. Habermas kemudian mendorong suatu ”proses saling belajar” antara kaum sekuler dan kaum religius.
Perubahan kesadaran
Berhubung Indonesia tidak pernah mengalami periode sekularisasi seperti dunia Barat, proses saling belajar yang lebih relevan bukan antara kaum sekuler dan kaum religius, melainkan antara kaum religius dari suatu keyakinan dan kaum yang menganut keyakinan yang lain. Penyesuaian epistemik ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh Habermas.
Habermas menganjurkan agar kaum beragama mengembangkan suatu sikap epistemik yang menyadari keberadaan agama dan pandangan dunia lain yang mereka temui dalam semesta pembicaraan di ruang publik melalui suatu refleksi diri.
Bagi saya, refleksi diri bukan dilakukan untuk mengganti ajaran suatu agama dengan ajaran agama lain atau memenuhi tuntutan netralitas dari sekularisme, melainkan dengan menggali potensi-potensi keyakinan, pemikiran, dan praksis religius yang seturut dengan semangat Pancasila. Antara lain, sejalan dengan prinsip kemanusiaan universal dan ramah terhadap keberadaan sesama nasional/lokal yang berbeda keyakinan.
Dengan menampilkan keyakinan, pemikiran, dan praksis religius yang demikian di ruang publik kita, kiranya cita-cita ruang publik plural sejati dapat menjadi kenyataan. Sebaliknya, model ruang publik liberal dan kuasiplural dapat dihindari.
Perubahan kesadaran dengan senantiasa mengingat keberadaan penganut keyakinan lain dan upaya menggali potensi-potensi religius yang ramah pluralisme perlu dilengkapi dengan gagasan toleransi intersubyektif yang diartikulasikan oleh Habermas.
Pada pemahaman lama, gagasan toleransi dituding oleh Habermas mengidap virus intoleransi karena adanya penentuan batas toleransi yang otoriter yang harus diterima oleh semua pihak. Selain itu, gagasan lama toleransi juga memerlihatkan hubungan asimetris antara pihak yang menoleransi dan pihak yang ditoleransi. Nasib pihak yang ditoleransi kerap bergantung pada otoritas pihak yang menoleransi.
Jalan keluar yang ditawarkan Habermas adalah gagasan toleransi intersubyektif. Gagasan ini mensyaratkan pihak-pihak yang terkait untuk secara bebas dan setara duduk bersama dan bertukar pikiran tentang bagaimana mengelola perbedaan tanpa harus meninggalkan keyakinan masing-masing. Apabila gagasan ini diterapkan, model ruang publik kuasiplural dapat dihindari.
Gagasan ini tidak asing bagi masyarakat kita. Sejak lama, dalam demokrasi desa, gagasan toleransi intersubyektif sebenarnya sudah dijalankan. Sebagai contoh, kita dapat belajar dari masyarakat Desa Kenalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di sini terdapat bangunan gereja yang bersebelahan dengan masjid dalam jarak kurang dari 50 meter.
Melalui musyawarah dan mufakat, mereka mencari jalan keluar bagi kesulitan yang dialami bersama, misalnya hari raya kedua agama jatuh pada waktu yang sama. Dengan begini, mereka hidup berdampingan dan cita-cita ruang publik plural sejati di salah satu desa di Lereng Merbabu ini bukanlah suatu impian belaka.
Antonius Steven Un, Meraih Gelar PhD dari Departemen Filsafat Vrije Universiteit, Amsterdam; Dosen STT Reformed Injili Internasional, Jakarta.