Di AS dan banyak negara lain harga energi yang melonjak, juga memunculkan tekanan inflasi dan tekanan politik pada rezim yang berkuasa.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Manuver bersama negara-negara konsumen terbesar minyak dunia untuk menurunkan harga minyak mentah dengan melepas Cadangan Strategis Minyak, terancam gagal.
Upaya terkoordinasi yang diprakarsai AS dengan melibat -kan China, Jepang, India, Korsel dan Inggris itu dihadapkan pada aksi perlawanan dari OPEC dan negara produsen minyak lain (termasuk Rusia)—yang tergabung dalam OPEC+.
Para pejabat OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) yang dijadwalkan bersidang pekan depan, mengancam membatalkan rencana kenaikan produksi mereka, sebagai respons atas langkah AS dkk. Jika ini terjadi, maka sia-sia upaya yang ditempuh untuk menggelontor pasar dengan Cadangan Minyak Strategis (SPR) guna menekan harga.
Sebelumnya, rencana pelepasan sebagian SPR oleh negara -negara besar itu sempat direspons positif oleh pasar, dengan harga minyak sempat turun—melanjutkan penurunan yang terjadi empat pekan sebelumnya, sebagai dampak dari lonjakan kasus korona dan pemberlakuan lockdown di Eropa.
Namun para analis pasar memperkirakan, efek ini sifatnya hanya temporer, karena pelepasan cadangan strategis tersebut belum mampu menyelesaikan problem mendasar ketimpangan antara pasokan dan permintaan yang ada sekarang ini.
Analis pasar memperkirakan, efek ini sifatnya hanya temporer.
Untuk bisa menurunkan harga minyak mentah lebih jauh, menurut Goldman Sachs Inc, perlu tambahan pasok dalam jumlah substansial di pasar. Oleh karena itu, perhatian dunia kini tertuju pada langkah apa yang akan diputuskan OPEC pada sidang pekan depan. Penolakan OPEC+ untuk bekerja sama, berpotensi memicu ketegangan geopolitik baru dan kian menyandera pemulihan ekonomi global.
Sebelumnya, desakan AS agar OPEC mempercepat penambahan produksi tak digrubris OPEC karena alasan peningkatan permintaan global yang terjadi saat ini sifatnya masih fragile. OPEC menguasai 79,4 persen cadangan minyak dunia. Pada sidang terakhir awal November 2021, OPEC+ sepakat secara bertahap menambah pasokan ke pasar global, dengan kenaikan setiap bulan 400.000 barrel per hari, hingga Juni 2022. Namun jumlah ini dinilai tak cukup oleh AS.
Tren kenaikan harga minyak di pasar dunia diprediksi akan berlanjut beberapa tahun ke depan, sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Harga minyak yang sempat menyentuh titik terendah sekitar 10 dollar AS per barrel pada masa puncak pandemi global 2020, perlahan merangkak naik sebagai akibat mulai pulihnya ekonomi dunia dari dampak pandemi.
Brent sempat menyentuh 86,70 dollar AS per barrel pada 25 Oktober 2020 (naik 60 persen lebih dari awal tahun), tertinggi tiga tahun terakhir, sebelum sedikit tertahan oleh dampak lockdown dan pembatasan ekonomi di Eropa. Bank of America memprediki harga minyak akan menembus 100 dollar AS pada musim dingin ini dan memicu krisis ekonomi baru.
Krisis energi sudah dialami sejumlah negara seperti China dan negara-negara Eropa, dan kian mengancam kelangsungan pemulihan ekonomi global. Di AS dan banyak negara lain harga energi yang melonjak, juga memunculkan tekanan inflasi dan tekanan politik pada rezim yang berkuasa.