Investasi Asing, Siapa Menikmati
Apakah kita perlu bersikap anti investasi asing? Tidak. Tulisan ini bermaksud agar kita pandai-pandai menghitung dan bernegosiasi dengan investor asing supaya pembagian manfaatnya antara mereka dan bangsa Indonesia adil.
Setelah para pendiri bangsa kita berhasil memerdekakan Indonesia, tekad yang berlaku ketika itu ialah membangun perekonomian Indonesia.
Bung Karno beserta angkatannya berhasil membentuk sebuah negara-bangsa dalam 25 tahun setelah mengalami berbagai gejolak dan perjuangan yang berat, misalnya keinginan Belanda menjajah kembali Irian Barat, pemberontakan-pemberontakan PKI, RMS, PRRI Permesta, dan gejolak-gejolak lainnya. Dengan segala kekurangannya, pada akhir jabatannya, pemerintahan Bung Karno yang disebut Orde Lama berhasil membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita rasakan sampai saat ini.
Merupakan panggilan sejarah dan konstitusi bahwa Pak Harto bersama angkatannya memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Namun, sangat disayangkan bahwa yang menikmati kebijakan pembangunannya selama 32 tahun bukan rakyat Indonesia secara berkeadilan seperti yang diamanatkan UUD 1945.
Pembangunan ekonomi membutuhkan investasi, dan investasi membutuhkan modal yang kurang dimiliki bangsa Indonesia. Maka, diundanglah investor asing dan investor swasta Indonesia dengan berbagai kemudahan.
Salah satu investor asing yang pertama masuk ke Indonesia adalah bank asing yang sangat besar yang mempunyai cabang di seluruh dunia. Bank ini berasal dari Amerika Serikat, mempunyai nama besar. Ketika ingin mendirikan cabang di Indonesia, disyaratkan harus bersama dengan aplikasinya menyetor modal ekuitas (modal sendiri) yang didepositokan pada bank-bank BUMN dengan tingkat bunga sekitar 24 persen per tahun. Namun, bank tersebut belum boleh beroperasi sebelum izin operasi diterbitkan.
Salah satu investor asing yang pertama masuk ke Indonesia adalah bank asing yang sangat besar yang mempunyai cabang di seluruh dunia.
Karena birokrasi yang masih lemah, izin operasi baru keluar setelah dua tahun. Jadi, sambil menunggu izin operasi, bank tersebut telah menikmati 48 persen dari investasinya.
Seperti kita ketahui, perbandingan antara modal pinjaman dan modal sendiri (debt to equity ratio) bagi bank sangat tinggi. Debt to equity ratio yang tinggi melekat pada hakikat bank karena modal yang dioperasikan oleh bank adalah uang rakyat Indonesia yang disimpan pada bank asing tersebut.
Mereka lebih percaya kepada bank asing dengan nama besar dibandingkan dengan bank domestik. Jadi, bank menerima giro, tabungan, dan deposito dari masyarakat Indonesia dengan imbalan memperoleh bunga. Uang milik rakyat Indonesia yang menumpuk pada bank asing tersebut dipinjamkan dengan bunga kredit yang lebih tinggi. Selisihnya adalah laba bruto buat bank yang dinamakan ”spread”.
Yang terjadi pada waktu itu, bagian terbesar dari kredit diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing daripada kepada bangsanya sendiri. Apa artinya ini semua? Bank asing didirikan dengan modal ekuitas yang 50 persen disediakan oleh pemerintah dalam bentuk bunga sebesar 24 persen per tahun sambil menunggu terbitnya izin operasi yang prosesnya berlangsung dua tahun.
Begitu beroperasi, bank asing yang sangat terkenal dan sangat dipercaya oleh masyarakat Indonesia itu kebanjiran uang tabungan dari masyarakat Indonesia.
Baca juga : Investasi Asing Turun, Komitmen Investasi Berkelanjutan Perlu Diperkuat
Kalau debt to equity ratio 90 persen, pemilik bank asing hanya menyetor 5 persen dari keseluruhan modal yang dibutuhkan. Setelah itu bank kebanjiran giro, tabungan, dan deposito dari masyarakat Indonesia, yang bagian terbesarnya diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Saya sendiri pernah mengalami ketika saya berbisnis sebagai agen tunggal dari TV berwarna merek Graetz dan ITT. Saya memperoleh kredit dari sebuah bank Eropa yang memiliki cabang di Indonesia. Semua pembayaran dan pelaporan lancar. Namun, secara mengejutkan, bank tersebut mengakhiri fasilitas kredit saya dengan alasan bahwa dananya dibutuhkan untuk memberikan kredit kepada perusahaan Jerman yang beroperasi di Jakarta.
Kondisi yang seperti ini kurang lebih masih berlaku di Indonesia sekarang ini. Maka, kalau kita mengundang investasi asing, kondisi seperti ini perlu disadari dan pemerintah perlu mempekerjakan para analis keuangan yang benar-benar sangat ahli.
Investasi asing dalam bidang lain yang sekarang sedang dimanja dengan berbagai rayuan dan kemudahan kebanyakan juga bekerja dengan kredit dari bank-bank di Indonesia yang berasal dari uang simpanan dalam berbagai bentuk milik masyarakat Indonesia.
Euforia mengundang dan memanjakan investor asing
Lantas manfaat apa yang diperoleh bangsa Indonesia? Yang selalu didengungkan adalah kesempatan kerja, pajak, dan transfer teknologi.
Dalam hal kesempatan kerja, faktanya perusahaan-perusahaan itu ke depan akan semakin banyak mengarah ke penggunaan teknologi informasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robot dan sejenisnya, untuk menggantikan tenaga manusia.
Dalam hal pajak, kebijakan yang diberlakukan pemerintah juga cenderung untuk terus meringankan beban pajak yang dikenakan kepada para investor asing sebagai iming-iming agar mereka mau masuk. Caranya dengan menurunkan berbagai tarif pajak, menghapus Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM), dan masih banyak lagi yang akan dipermudah.
Untuk mengetahui siapa memperoleh berapa persen, kita pelajari neraca dan laporan laba/rugi dengan analisis yang tajam.
Untuk mengetahui siapa memperoleh berapa persen, kita pelajari neraca dan laporan laba/rugi dengan analisis yang tajam. Sekadar untuk memperoleh gambaran garis besarnya, hasil penjualan korporasi itu kita bagi habis ke dalam komponen-komponen harga pokok.
Hasilnya akan menunjukkan berapa persen yang jatuh ke tangan tenaga kerja Indonesia, berapa persen merupakan pajak dan seterusnya sampai pada laba bersih, yang merupakan manfaat bagi pemiliknya dalam bentuk dividen atau laba ditahan.
Sebagai contoh saya berikan analisis garis besar dari sebuah perusahaan, yaitu PT Unilever Indonesia (semua angka dikalikan dengan Rp 1 juta). Untuk tahun 2020, hasil penjualan sebesar Rp 42,972 triliun. Dari hasil penjualan ini, yang merupakan manfaat bagi Indonesia adalah biaya tenaga kerja sebesar Rp 2,086 triliun atau 5 persen, pajak sebesar Rp 2,043 triliun atau 5 persen, laba bersih Rp 71,635 triliun atau 17 persen.
Apa artinya? Investasi oleh PT Unilever Indonesia memberi manfaat kepada para pekerja hanya 5 persen dari hasil penjualan. Perolehan pajak juga hanya 5 persen, sedangkan laba bersih yang jatuh kepada para pemilik atau pemegang sahamnya 17 persen.
Manfaat lain
Seperti telah ditulis di atas, pada umumnya perusahaan-perusahaan asing bekerja dengan kredit dari bank, dan uang bank yang diberikan sebagai kredit atau modal pinjaman berasal dari giro, tabungan, dan deposito dari masyarakat Indonesia. Dalam kasus PT Unilever Indonesia, para pekerja Indonesia dan fiskus masing-masing hanya memperoleh 5 persen dari hasil penjualan.
PT Unilever Indonesia saya berikan hanya sebagai ilustrasi tentang apa yang bisa terjadi dengan investasi asing di Indonesia. Ilustrasi ini kurang lebih berlaku untuk investasi asing pada umumnya. Apakah ini berarti bahwa sebaiknya kita melarang investor asing melakukan investasi di Indonesia?
Jelas tidak! Tulisan ini bermaksud supaya kita pandai-pandai menghitung dan bernegosiasi dengan investor asing supaya pembagian manfaatnya antara mereka dan bangsa Indonesia adil. Untuk itu dibutuhkan tim ahli yang benar-benar ahli dalam bidang ekonomi perusahaan, terutama mahir dalam melakukan analisis neraca dan laporan laba/rugi dari setiap perusahaan besar, baik asing maupun swasta.
Pemerintah wajib menyediakan barang dan jasa publik yang dipakai rakyat dengan cuma-cuma.
Barang dan jasa publik
Pemerintah wajib menyediakan barang dan jasa publik yang dipakai rakyat dengan cuma-cuma. Itulah yang melatarbelakangi mengapa kita pernah mengenal badan hukum yang bernama perusahaan umum (perum) dan persero.
Perum boleh merugi karena tujuannya memberikan barang dan jasa pokok kepada rakyatnya yang membayar pajak. Persero adalah perusahaan yang 100 persen sahamnya dimiliki pemerintah, dengan sifat boleh memperoleh laba. Namun, di era Reformasi, perum dihapus, dijadikan satu dengan BUMN yang orientasinya memperoleh laba.
Sebagai gambaran, kita ambil jalan raya bebas hambatan—yang di banyak negara, yang kita juluki sebagai ”negara kapitalis”, disebut free way, high way, Autobahn, snelweg, dan sebagainya. Tidak ada kata ”tol” karena jalan-jalan tersebut digunakan tanpa membayar tol.
Di Indonesia, investasi jalan-jalan raya bebas hambatan tersebut diserahkan kepada swasta dengan motif memperoleh laba. Jalan ”tol” merupakan natural monopoly karena ruang yang disediakan untuk jalan itu bersifat monopolistik.
Hal-hal tersebut yang perlu kita pikirkan lebih mendalam agar perekonomian kita lebih mirip dengan jiwa dan spirit Pancasila.
Kwik Kian Gie Menteri Koordinator Bidang Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004