Buruh, Guru Honorer, dan Upah Minimum
Unjuk rasa bahkan mogok kerja jamak dilakukan buruh untuk menaikkan posisi tawar saat menuntut kenaikan upah. Nasib guru honorer sejatinya tak lebih baik dari para buruh, tetapi mereka tidak bisa beraksi seperti buruh.
Diskursus Penetapan Kenaikan Penetapan Upah Minimum 2022 (Kompas, 17 November 2021) memunculkan beragam asa penyikapan. Penetapan upah minimum 2021 yang dinilai masih terlalu rendah memberikan beragam implikasi di kalangan pekerja.
Akankah penetapan upah minimum ini menjangkau seluruh komponen pekerja atau hanya dinikmati sebagian kalangan? Hal ini mengingat selama ini ada segolongan pekerja yang standar upahnya belum sepenuhnya tegas, yakni guru.
Penyejahteraan guru menjadi elemen krusial manakala diskursus profesi ini dihadirkan. Di tengah tuntutan peningkatan kompetensi guru menghadapi tantangan peradaban baru, penyejahteraan guru belum sepenuhnya terformulasikan secara proporsional.
Permasalahan kesejahteraan guru selama ini dianggap teramat tabu dihadirkan dengan beragam apologi sehingga permasalahan krusialnya tidak kunjung terselesaikan. Fenomena ini tidak lepas dari kondisi dimana masih terdapat penyikapan serba njomplang pada korps pendidik ini. Kesetaraan profesi yang tidak linier dengan kesetaraan kesejahteraan merupakan permasalahan kronis sekaligus kritis, dan belum sepenuhnya ditemukan solusi taktisnya.
Baca juga: Paradoks Pengangkatan Sejuta Guru
Pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang digadang-gandang memberikan solusi kesetaraan pendapatan kalangan guru honorer pun sedemikian sulit diangkat kalangan edukasi negeri ini. Tidak bisa dipungkiri realitas kepegawaian tenaga pendidik di negeri ini kental dengan nuansa dikotomis.
Profesi guru terdiri dari beragam status. Ada Pegawai Negeri Sipil, Guru Tetap Non PNS, hingga Guru Tidak Tetap (GTT) atau guru honorer. Dalam posisi ini dengan perbedaan statusnya selama ini, GTT menduduki posisi paling buncit. Tuntutan perhatian pada keseteraan guru pada jenjang ini bukanlah hal baru.
GTT menduduki posisi paling buncit. Tuntutan perhatian pada keseteraan guru pada jenjang ini bukanlah hal baru.
Gonjang-ganjing tuntutan penetapan Upah Minimum Kota (UMK) lebih layak oleh buruh memunculkan energi sosial positif hingga seluruh elemen pengambil kebijakan memenuhinya. Unjuk rasa besar-besaran, ajakan mogok, hingga ancaman blokade fasilitas umum menjadi bargaining (daya tawar) kaum buruh sehingga memaksa pengusaha dan penguasa mau duduk satu meja membahas kesejahteraan kaum pekerja ini.
Di tengah derasnya aksi para buruh dengan segenap perolehan perhatian di dalamnya, guru honorer negeri ini tak kunjung mendapatkan perhatian. Menyikapi aksi buruh ini muncul sebersit pemikiran bagaimana seandainya mentalitas buruh ini menjalar pada para guru honorer. Ini mengingat nasib kondisi guru honorer tidak lebih baik dibandingkan kaum buruh yang menyuarakan peningkatan kesejahteraan berbasis UMK.
Penzaliman profesi
Keberadaan guru honorer, harus diakui, menyuburkan kastanisasi profesi guru. Bukan hanya berada di posisi paling buncit, keberpihakan pada guru honorer juga belum menunjukkan sinyal positif. Keberadaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, proses sertifikasi yang digadang-gadang meningkatkan harkat dan martabat guru, dampak sistemiknya belum dirasakan guru honorer.
Bahkan pada beberapa kasus guru honorer tidak ubahnya sansak empuk kebijakan pendidikan dengan segenap ketidakberdayaannya. Manakala guru profesional harus memenuhi besaran jam mengajar hingga 24 jam per pekan, maka jam mengajar guru honorer harus rela dipangkas. Menyesakkan, karena pola penggajian guru honorer didasarkan dengan besaran jam mengajar.
Berdasarkan perhitungan besaran jam mengajar, mayoritas guru honorer mendapatkan penghasilan jauh di bawah UMK. Ironisnya pada beberapa kasus sering ditemukan guru honorer sebatas status mengingat mereka tidak mendapatkan jam mengajar namun disampiri tugas lain di sekolah sambil berharap belas kasihan guru bersertifikasi menyisihkan beberapa jam mengajar untuk menyambung keberlangsungan hidup.
Baca juga: Guru Honorer Kerja Empat Minggu Digaji Satu Minggu
Gambaran ini membuktikan betapa memprihatinkannya kondisi guru honorer. Apakah mereka orang tidak berkualitas? Jangan salah menduga, mayoritas guru honorer memiliki kualifikasi pendidikan sarjana, namun diposisikan lebih rendah dibandingkan buruh.
Dalam sebuah status di facebook saat maraknya unjuk rasa buruh pada 31 Oktober 2013, seorang guru honorer menulis status bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan tidak perlu lulus S1, namun cukup punya nyali besar maka UMK pun membesar. Tulisan tersebut secara tidak langsung merupakan tanggapan nyinyir keberadaan buruh dengan realitas guru honorer yang tak kunjung terselesaikan.
Minimnya keberpihakan pada guru honorer ini teramat menyakitkan mengingat opini publik telah berkembang bahwa profesi guru menjelma menjadi profesi impian setelah lama termarjinalkan.
Minimnya keberpihakan pada guru honorer ini teramat menyakitkan mengingat opini publik telah berkembang bahwa profesi guru menjelma menjadi profesi impian setelah lama termarjinalkan. Persepsi jam kerja dan waktu kerja menyesuaikan siswa, guyuran tunjangan profesi hingga dua kali lipat gaji pokok menjadi kecemburuan sosial di kalangan masyarakat bahkan di kalangan PNS non guru.
Opini dialamatkan pada profesi guru tanpa terkecuali. Bahkan dalam tataran masyarakat manakala guru honorer mengurus beragam bantuan penyejahteraan bagi masyarakat miskin, persepsi miring pun mengemuka.
Karut-marut permasalahan guru honorer ini pada akhirnya memunculkan pesimisme sedemikian akut seakan tidak pernah ada harapan positif dan tinggal menunggu takdir ilahi semata. Persepsi ini teramat berbahaya apabila dibiarkan mengingat sekecil apa pun peran guru honorer secara tidak langsung memberikan fungsi pencerdasan anak bangsa. Persepsi negatif terkait guru honorer terkesan dibiarkan sehingga permasalahan sedemikian akut dan memerlukan amputasi profesi untuk menanganinya.
Feodalistik profesi
Pemberlakuan manajemen pengabdian, bukan profesionalisme, merupakan elemen utama penyusun karut-marut tenaga honorer ini. Mentalitas pengabdian dikedepankan seakan tujuan utama profesi keguruan adalah menjadi PNS.
Mekanisme pengabdian ini sedemikian kuat mengakar sehingga menisbikan kompetensi personal guru. Pengukuran kompetensi guru menjadi sedemikian bias mengingat elemen pengabdian ini lebih pada aspek lama mengabdi dibandingkan bagaimanakah mereka menjalankan peran sebagai pendidik.
Dampak sistemik mentalitas pengabdian ini membuat idealisme maupun independensi profesi guru tidak terbangun dengan optimal. Guru dipaksa menjadi manusia luar biasa patuh sehingga idealisme pendidikan tidak terwujud optimal.
Baca juga: Negara Berutang Budi kepada Guru Honorer
Sayangnya mentalitas pengabdian ini justru menjadikan pengambilan kebijakan terkait guru honorer tidak cerdas dan meninggalkan kearifan sang guru bersangkutan, tergantikan mekanisme feodalisme pendidikan. Pengambil kebijakan lebih suka memberikan gula-gula semu sehingga independensi pendidikan tidak pernah terwujud.
Berkaitan mentalitas tersebut, pada akhirnya guru honorer tidak berani menyuarakan aspirasi ketimpangan kesejahteraan karena selama ini terposisikan harus menjadi anak manis. Pengukuran prestasi guru sedemikian bias, guru dianggap berprestasi jika mengiyakan seluruh kebijakan walaupun kebijakan tersebut berupa penindasan.
Pengukuran prestasi guru sedemikian bias, guru dianggap berprestasi jika mengiyakan seluruh kebijakan walaupun kebijakan tersebut berupa penindasan.
Kebalikannya, manakala guru honorer berupaya mempertanyakan sejauh mana pola pembagian kesejahteraan, stigma miring dialamatkan kepadanya: guru provokator bahkan pada masa lalu dianggap guru berpaham non pancasialis yang mengukuhkan stigma miring ini.
Tidak jarang stigma miring ini berujung pada penonaktifan guru bersangkutan karena dianggap tidak mendukung kebijakan pendidikan. Pengambil kebijakan pun tidak ubahnya seorang raja dengan segenap sabda pandita ratunya, yang manakala guru mempertanyakan pemenuhan hak esensial maupun kebijakan dianggap sebagai pemberontak.
Pesatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) yang selama ini mengaku menjadi satu-satunya organisasi profesi guru patut mereposisi ulang, bagaimana memposisikan guru honorer agar lebih sejahtera. Pemecatan terselubung tenaga honorer sebagai implementasi pemenuhan jam mengajar guru profesional hingga saat ini belum diagendakan menjadi pembahasan utama organisasi yang mengatasnamakan guru ini.
Langkah taktis
Mengatasi permasalahan penyejahteraan guru honorer, terdapat langkah krusial yang harus dilaksanakan. Pertama, membangun opini publik yang mencerdaskan menjadi langkah utama penyelamatan guru honorer.
Jika aksi pelibatan massa dianggap melecehkan profesi guru, maka selayaknya guru honorer mengedepankan aksi yang jauh lebih elegan. Guru honorer selayaknya mau menyuarakan diskriminasi peran ini dengan langkah konkret. Bermitra dengan media massa menjadi langkah cerdas mengingat hal tersebut akan membuka opini publik bahwa masih terjadi diskriminasi di kalangan guru.
Kedua, penguatan jaringan organisasi profesi menjadi langkah lanjutan optimalisasi perjuangan guru honorer ini. Guru honorer sebaiknya melakukan studi banding organisasi profesi pada golongan buruh manakala menyuarakan tuntutannya. Di tengah keberagaman, organisasi buruh mampu membuat kesamaan tuntutan dan kejelasan arah perjuangan sehingga memunculkan daya tawar tersendiri.
Organisasi profesi guru terkesan masih berjuang sendiri-sendiri, perjuangan secara berjamaah secara efektif belum pernah dilakukan. Sangatlah beruntung di negeri ini organisasi berbasis guru tumbuh sedemikian subur. Selain PGRI, ada Ikatan Guru Indonesia (IGI), hingga Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dapat dimanfaatkan secara proporsional dalam mengembangkan penyejahteraan profesi.
Guru honorer merupakan salah satu potret karut-marut penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Teramat naif jika elemen untuk ikhtiar mencerdaskan anak bangsa ini terkatung-katung dalam menjalankan profesinya. Jika buruh yang menghadapi mesin mendapatkan UMK memadai, selayaknya guru yang menghadapi manusia dengan segenap keunikannya mendapatkan penghargaan minimal setara dengan golongan buruh ini.
Mukhlis Mustofa, Dosen FKIP Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Slamet Riyadi Surakarta