Pustakawan harus berperan aktif dalam memberikan informasi secara terbuka mengenai hasil-hasil penelitian terbaru kepada masyarakat. Dengan begitu, diharapkan sarjana independen tak lagi tersisih dari kegiatan akademik.
Oleh
FRIAL RAMADHAN SUPRATMAN
·5 menit baca
Sebagai seorang pustakawan, saya sering kali bertemu dengan masyarakat dari beragam profesi, mulai dari profesor dari universitas ternama, mahasiswa pascasarjana, hingga sarjana independen atau independent scholar yang sedang melakukan penelitian dengan berbagai macam topik. Istilah sarjana independen tampaknya masih asing di telinga masyarakat awam. Kendati demikian, fenomena sarjana independen—terkadang juga disebut peneliti independen, peneliti lepas, atau banyak lagi—sudah ada sejak lama, bahkan mungkin kita sendiri termasuk—atau pernah—menjadi bagian di dalamnya.
Istilah sarjana independen banyak ditemukan di negara-negara Barat untuk para peneliti yang tidak terafiliasi oleh universitas atau lembaga penelitian tertentu. Mereka biasanya bekerja mandiri dengan dorongan, keinginan, dan hasrat yang kuat untuk menghasilkan penelitian berkualitas, tetapi tidak dipayungi oleh lembaga tertentu.
Mereka juga biasanya melakukan penelitian dengan sukarela tanpa mendapat dukungan dana dari lembaga, seperti universitas. Namun, sekarang ini banyak juga sarjana independen yang menerima bantuan penelitian. Di luar negeri, saya melihat sudah ada lembaga donor yang menyediakan dana penelitian untuk sarjana independen.
Ada banyak alasan dan latar belakang mengapa banyak bermunculan sarjana independen. Pertama adalah kebebasan. Para sarjana independen biasanya orang yang menyukai kebebasan. Mereka tidak ingin penelitian mereka didikte oleh kampus atau lembaga penelitian.
Mereka melakukan penelitian karena ketertarikan terhadap suatu topik penelitian. Namun, topik penelitian yang mereka ingin teliti biasanya belum tentu sejalan dengan visi-misi lembaga sehingga sulit untuk mendapatkan pendanaan untuk riset. Daripada harus ”banting setir” mengubah minat penelitian, mereka lebih memilih untuk melakukan penelitian secara mandiri.
Kedua adalah pragmatisme ekonomi. Banyak dari sarjana independen juga memiliki gelar master ataupun doktor dari dalam ataupun luar negeri. Bahkan, kualitas karya ilmiah mereka tidak kalah dari para ”akademisi profesional” yang terafiliasi oleh universitas atau lembaga penelitian.
Namun, terkadang banyak dari mereka yang memilih pekerjaan di luar dunia akademik karena ingin mencari pendapatan yang lebih baik. Atau bisa juga karena mereka ingin cepat mendapatkan pekerjaan tetap, sementara jalan untuk berkarier dalam dunia akademik tidak mudah, butuh waktu, terlebih untuk cabang ilmu tertentu persaingannya semakin ketat.
Kalaupun ada lowongan pekerjaan, misalnya, sangat jarang dan belum tentu cocok dengan jurusan, kompetensi, dan minat mereka. Dengan demikian, sarjana independen bisa juga berprofesi sebagai pegawai swasta, pengusaha, pebisnis start up, atau bahkan pensiunan, tetapi mereka memiliki komitmen untuk melakukan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan segala keterbatasannya.
Namun sayangnya, terkadang, posisi sarjana independen kurang menguntungkan. Mereka kerap kali tersisih dari lingkaran akademik. Mereka kerap kesulitan mendapatkan akses terhadap buku dan jurnal ilmiah. Mereka bahkan dianggap sebagai ”penulis populer”, ”peneliti amatir”, bahkan sekadar ”hobi”.
Konferensi atau jurnal ilmiah pun belum tentu mau—meskipun ada—menerima karya mereka karena mereka tidak terafiliasi dengan universitas dan lembaga penelitian resmi. Atau bahkan mereka sering kali tidak dianggap sebagai ”akademisi profesional” karena belum memiliki gelar doktor. Itu sah saja, karena banyak sarjana independen juga tidak terlalu menghiraukan afiliasi semacam itu.
Saya memahami bahwa menulis karya ilmiah yang serius memang tidak seperti menulis populer. Namun, mengabaikan karya-karya sarjana independen juga merupakan kekeliruan karena tidak semua karya mereka hanya bertujuan untuk kebutuhan populer saja. Ada juga sarjana independen yang memang mendalami metode dan metodologi penelitian secara serius sehingga karya mereka memiliki implikasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Peran perpustakaan
Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi kesetaraan dan hak asasi manusia, perpustakaan memiliki peran signifikan untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada siapa pun yang membutuhkan, termasuk para sarjana independen.
Berbeda dari akademisi kampus, para sarjana independen sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses jurnal, penelitian, dan buku akademik. Karena tidak terafiliasi oleh universitas atau lembaga penelitian, mereka sering kali tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui media-media tersebut.
Dalam hal ini, perpustakaan memiliki peran yang penting untuk menyediakan akses terhadap jurnal, karya penelitian, dan buku akademik secara terbuka dan gratis. Perpustakaan Nasional RI, misalnya, menyediakan akses jurnal ilmiah secara gratis melalui layanan e-resource. Para sarjana independen dapat mengakses jurnal ilmiah dan hasil penelitian berupa tesis atau disertasi secara gratis di sana.
Untuk memudahkan akses terhadap sumber pengetahuan, perpustakaan juga dapat melakukan upaya digitalisasi. Digitalisasi terhadap sumber-sumber sejarah, misalnya, sudah dilakukan oleh beberapa perpustakaan dan lembaga penelitian sehingga para sarjana independen dapat memanfaatkan sumber tersebut. Perpustakaan Nasional RI memiliki laman Khastara (Khasanah Nusantara) yang berisi koleksi langka, berupa buku langka, majalah dan surat kabar langka, peta langka, foto, hingga naskah kuno.
Institusi penelitian di luar negeri pun banyak melakukan digitalisasi terhadap sumber-sumber sejarah. Di luar negeri, Woodrow Wilson International Center for Scholars, misalnya, menyediakan arsip digital bagi sarjana yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejarah internasional, khususnya pada periode Perang Dingin.
Selain itu, saya berpendapat bahwa pustakawan harus berperan aktif dalam memberikan informasi secara terbuka mengenai hasil-hasil penelitian terbaru kepada masyarakat, baik melalui karya berupa indeks maupun abstrak tematik secara daring yang dapat diakses secara terbuka. Dengan demikian, hal ini dapat memudahkan masyarakat dan sarjana independen untuk mengikuti perkembangan terbaru dari dunia akademik. Hal ini tentu saja tidak mudah untuk dilakukan karena pekerjaan ini membutuhkan para pustakawan spesialis (subject specialist) dalam berbagai bidang ilmu.
Tidak semua pustakawan mampu memahami perkembangan semua bidang ilmu, seperti biologi, fisika, atau geografi. Untuk itu, perpustakaan harus melakukan pembinaan terhadap para pustakawan untuk menjadi seorang spesialis dalam bidang ilmu tertentu.
Pustakawan dengan spesialisasi ilmu hubungan internasional (HI), misalnya, harus dapat memberikan informasi terbaru mengenai karya-karya akademik dalam bidang HI ataupun melakukan indeks terhadap artikel-artikel terbaru mengenai perkembangan diplomasi di level internasional. Hal ini juga perlu dilakukan untuk menepis anggapan bahwa pustakawan hanyalah ”penjaga buku” yang hanya mengambilkan buku untuk pengunjung. Bagi saya, pustakawan juga harus berperan aktif dalam dunia akademik dan berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan adanya peran aktif perpustakaan dan pustakawan, diharapkan sarjana independen tidak lagi tersisih dari kegiatan akademik. Mereka dapat mengikuti perkembangan dunia akademik dan memproduksi karya penelitian yang mutunya tidak kalah dari para akademisi profesional di kampus-kampus. Bahkan, masyarakat pun nantinya dapat berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan sehingga penelitian tidak lagi hanya menjadi tugas dari para akademisi di kampus atau lembaga penelitian.
Frial Ramadhan Supratman, Pustakawan di Perpustakaan Nasional RI