Disiplin Moral Kaum Intelektual
Kegiatan intelektual masa kini telah demikian pragmatis-material dan dipenuhi dengan pelbagai bentuk kekerasan dan kejahatan. Pemerintah seharusnya fokus pada permasalahan itu, yang perlu ditangani secara menyeluruh.

Supriyanto
Gilang (21), mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, dinyatakan tewas dalam kegiatan pendidikan dan latihan resimen mahasiswa, 25 Oktober 2021. Kegiatan bertajuk Pra-Gladi Patria Angkatan Ke-36 itu direncanakan berlangsung pada 23-31 Oktober 2021.
Pejabat universitas menyatakan, tidak ada luka lebam di bagian tubuhnya. Ini berbeda dengan keterangan polisi, korban tewas akibat terkena beberapa pukulan di bagian kepala.
Sebelumnya, pemerintah baru saja mengumumkan peraturan tentang kekerasan seksual di kampus melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Peraturan ini ditetapkan pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 Setember 2021, dan ramai menjadi perbincangan publik pada awal November 2021.
Baca juga : Predator Seksual di Kampus
Dua peristiwa di atas sama-sama memuat tentang kekerasan di kampus. Peristiwa pertama kekerasan fisik, sedangkan kedua adalah kekerasan seksual. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual merupakan kasus kejahatan yang terus terulang di kampus. Manakah yang perlu diprioritaskan? Kalau sama-sama penting dan mendesak, bagaimana pemberantasan kekerasan di kampus secara simultan?

Kemendikbudristek mengadakan webinar dan diskusi secara daring tentang sosialisasi Permendikbudristek PPKS serangkaian Merdeka Belajar Episode Empat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, Jumat (12/11/2021), di Jakarta. Tangkapan layar dari tayangan materi yang dipaparkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim (kotak kanan, tengah).
Penting tanpa kualitas
Segala bentuk kekerasan, baik di dalam maupun di luar kampus, adalah kejahatan. Di kampus, pemberlakukan hukuman sebagai disiplin sosial telah dilakukan negara, tetapi hukuman bukanlah solusi yang memadai. Pengelola pendidikan tinggi pernah melakukan reformasi kegiatan orientasi kampus untuk mengantisipasi kekerasan fisik, tetapi hal itu tidak mengurangi jumlah korban yang tewas akibat kegiatan kampus.
Pada masa kini, tekad pemerintah memerangi kekerasan sesual di kampus melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memang penting, tetapi tidak berkualitas. Ada tiga alasannya.
Pertama, langkah-langkah pemerintah terkesan spontan, sporadis, dan tidak mengarah pada kebijakan yang sistematis. Bayangkan saja, dalam semester kedua tahun ini, penerbitan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS tidak bisa dilepaskan dari situasi umum penyusunan perundang-undangan tentang penghapusan kekerasan seksual yang masih tertumpuk di meja legislatif.
Baca juga : Korban Pelecehan Seksual Berani Bersuara
Sejumlah klaim publik tampak bahwa Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tersebut merupakan legalisasi seks bebas. Sebagian lain menyatakan, ini merupakan langkah maju dalam melakukan perlindungan terhadap persempuan, khususnya mahasiswa yang berada pada struktur terbawah dalam relasi kekuasaan. Ini muncul sebagai respons terhadap sikap pemerintah yang latah menyikapi isu-isu yang berkembang.
Kedua, perihal kekerasan di kampus perlu diselesaikan secara menyeluruh dalam payung kebijakan yang lebih luas dan konseptual. Contoh, di kampus-kampus tertuang ”etiket mahasiswa berkomunikasi dengan dosen”, tetapi tidak pernah ada etiket komunikasi dosen terhadap mahasiswa.
Dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 diatur tata krama komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam hubungannya dengan kekerasan seksual. Di Pasal 5 ditulis, ”Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi”. Hal itu dirinci dalam bentuk ujaran tentang kondisi tubuh, memperlihatkan alat kelamin, ujaran dalam bentuk lelucon, rayuan, dan atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.
Boleh dikatakan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 merupakan solusi tambal sulam yang tidak memecahkan persoalan apa pun.
Kendati demikian, istilah korban dalam klausul ini akan mengkristal menjadi stigma untuk mahasiswi yang berada pada posisi terbawah dalam struktur kekuasaan intelektual. Karena adanya stigma itu, boleh dikatakan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 merupakan solusi tambal sulam yang tidak memecahkan persoalan apa pun.
Peraturan ini kurang tepat karena mengurusi hubungan lelaki dan perempuan dalam perspektif ketidakadilan yang diderita perempuan. Yang perlu adalah perlindungan aparat negara melalui produk hukum dan pemerintahan tidak saja pada perempuan, tetapi juga pada seluruh sivitas akademika.

Disorientasi kultural
Ketiga, terjadi disorientasi pengembangan budaya intelektual di kampus. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), pekerjaan sivitas akademika hanya berorientasi pada pembelajaran yang menghasilkan lulusan sesuai dengan kerangka kualifikasi sebagai ”standar akademis”.
Dalam pendidikan tinggi, lulusan sarjana harus mampu menerapkan teori (level 7), lulusan magister harus mampu memgembangkan teori (level 8), dan lulusan doktor harus mampu menciptakan teori (level 9). Pemikiran ini membawa universitas pada jargon-jargon layaknya partai politik, seperti universitas riset, universitas kelas dunia, bahkan jargon kampus merdeka dengan segala polemik yang muncul.
Dalam perspektif etis, kita sesungguhnya membutuhkan tata kultur yang baru dalam pergaulan intelektual.
Atas dasar alasan tersebut, dalam perspektif etis, kita sesungguhnya membutuhkan tata kultur yang baru dalam pergaulan intelektual. Dari feodalisme menuju kesetaraan, dari ekskluvisme menuju keterbukaan intelektual, dari dosen menuju mahasiswa sebagai pusat pembelajaran. Secara ideal, perlu mengembangkan tata nilai yang berorientasi pada pengembangan budaya intelektual yang didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan.
Kaum akademis pada masa kini tengah dirundung kesulitan untuk mencapai fatamorgana yang disebut dengan indeks publikasi internasional, perburuan jabatan fungsional akademis, plagiarisme, hingga jual beli gelar. Kecenderungan kegiatan intelektual tampak hanya sebagai upaya mencari uang.
Baca juga : Pudarnya Peran Intelektual Pembela Masyarakat
Bagaimana sebuah penyelenggaraan diskusi ilmiah justru menjadi bagian dari bisnis baru. Tak asing bagi kita perihal bisnis makalah, seminar, harga ISBN, bahkan bisnis karya ilmiah dalam berbagai bentuknya. Kiranya pemerintah perlu memfokuskan pada fakta bahwa kegiatan intelektual masa kini telah demikian pragmatis-material dan dipenuhi dengan pelbagai bentuk kekerasan dan kejahatan.

Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor bidang filsafat di Universitas Negeri Jakarta.