Belajar dari Covid-19
Pandemi mengungkap berbagai retakan dan ketidakefektifan dalam sistem pemerintahan kita. Dengan menyadari kelemahan kita, pandemi bisa menjadi titik balik dalam mengupayakan pembangunan dan peradaban bangsa.
Rasanya kita patut bersyukur karena pandemi Covid-19 yang sangat menakutkan, yang telah berlangsung sekian lama dan berdampak sangat besar dalam kehidupan umat manusia, kini tampaknya mulai mereda. Di Indonesia, berdasar data per 7 November 2021 pukul 13.45, jumlah yang terkonfirmasi Covid-19 sebanyak 4.247.721 orang (bertambah 401 orang), sembuh 4.093.208 orang, meninggal 143.534 orang, dan yang masih dirawat 10.979 orang.
Aktivitas dan kehidupan masyarakat tampaknya mulai berangsur pulih. Meskipun demikian, berbagai perkembangan ini tidak boleh membuat kita lengah. Kita masih harus tetap waspada dengan terus mematuhi protokol kesehatan dan aktif mengikuti program vaksinasi. Apalagi tidak jarang didengar pula bahwa ancaman virus gelombang ketiga masih akan terjadi.
Syukur kita kedua, yakni kepada pemerintah, para tenaga medis, sukarelawan, dan semua pihak yang tanpa mengenal lelah, bahkan tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri, telah bekerja keras guna mengatasi dan menyelamatkan sesamanya dari pandemi ganas dan mematikan ini.
Syukur kita ketiga, dan ini tidak kalah penting untuk kehidupan kita ke depan, karena pandemi Covid-19 telah membantu kita dalam banyak hal, khususnya dalam mengenali kekuatan dan kelemahan pembangunan nasional kita sebagai pengamalan Pancasila melalui tiga ranah sosial, yakni ”tata nilai” (mental-kultural), ”tata kelola” (institusional-politikal), dan ”tata sejahtera” (material-teknologikal).
Baca juga : Gelombang Ketiga Pandemi, Ancaman atau Ilusi
Kelemahan negara
Pada ranah mental-kultural, sisi positif terpancar dari semangat gotong royong yang relatif masih bertahan di masyarakat. Charity Aid Foundation, World Giving Index 2021, sekali lagi menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia.
Namun, sisi negatifnya terlihat dari dekadensi etis dalam dunia politik, seperti termanifestasi dalam polarisasi politik yang terus berkobar di tengah wabah serta tindak-tanduk segelintir elite yang kurang terpuji dan kurang memiliki empati terhadap suasana kebatinan rakyat yang sedang dirundung malang.
Dengan kata lain, sabuk pengaman ketahanan nasional kita bersumber dari kemampuan kita merawat nilai-nilai Pancasila di jantung masyarakat. Sementara titik kerawanan nasional kita ditimbulkan oleh tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam dunia politik. Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran.
Dalam ranah tata kelola kelembagaan politik, pandemi mengungkap berbagai retakan dan ketidakefektifan dalam sistem pemerintahan kita. Perselisihan mengemuka dalam relasi antartingkat pemerintahan serta praktik tata kelola yang bersifat sporadis tanpa mekanisme sistemik. Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tak membuat postur dan cakupan negara kian ramping, malahan kian gemuk.
Di masa Orde Baru, besarnya postur dan cakupan negara itu relatif bisa diimbangi oleh kapasitas negara untuk melaksanakan pemerintahan secara efektif kendati terkesan represif. Di masa Orde Reformasi, efektivitas pemerintahan terkendala oleh banyaknya veto players dan ”kepentingan partikular” yang menghambat pelayanan publik.
Pergeseran dari negara otoriter-sentralistik ke negara demokrasi-desentralistik dengan euforia kebebasan individu yang dihadirkan Orde Reformasi juga tidak disertai pemenuhan prasyarat fundamental yang menyertai proses desentralisasi dan liberalisasi. Prasyarat yang dimaksud adalah rule of law, meritokrasi, dan akuntabilitas. Yang terjadi di sini, rule of law acap kali ditepikan oleh rule by law, meritokrasi ditepikan oleh mediokrasi, dan akuntabilitas ditepikan oleh watak patrimonialisme dengan tendensi personalisasi kekuasaan.
Baca juga : Tata Ulang Negara
Bagaimanapun, tidak ada sistem politik yang sempurna. Maka, dua patokan perlu diperhatikan untuk tata kelola yang baik. Pertama, gerak progres itu memerlukan dukungan stabilitas. Untuk itu, perubahan yang dilakukan jangan sampai merobohkan semua tiang tradisi. Kita bisa belajar dari pengalaman gerak perubahan di negara-negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat, yang memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tidak sampai merombak struktur dasar konstitusi, dan, untuk itu, perubahan konstitusi ditempuh dengan acara adendum.
Kedua, gerak progres juga memerlukan usaha penyesuaian secara terus-menerus seiring dengan perkembangan zaman. Seperti diingatkan John Micklethwait dan Adrian Wooldrige, negara-negara sejagad saat ini berada di tengah pacuan untuk mereinvensi (tata kelola) negara dalam rangka merespon perkembangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan global.
Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, dan komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, tidak harus dengan cara ”mendayung” (rowing), yang memerlukan otot aparatur negara yang besar. Memimpin pemerintahan cukup secara ”mengemudi” (steering), dengan mengaktifkan segala peran, fungsi dan agensi secara partisipatif dan koordinatif.
Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, tidak harus dengan cara “mendayung” (rowing), yang memerlukan otot aparatur negara yang besar.
Kita bisa belajar dari pengalaman program vaksinasi. Saat program tersebut terlalu memusat pada otoritas negara, kurang melibatkan peran komunitas dan dunia usaha, program vaksinasi berjalan lamban. Baru kemudian, setelah berbagai kalangan dilibatkan, program vaksinasi berjalan lebih efektif.
Dalam ranah tata sejahtera, pandemi mengungkap kelemahan negara kita setidaknya dalam dua hal. Pertama, kesenjangan yang makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan, dan privilese sosial.
Padahal, seperti diingatkan oleh Richard Wilkinson dan Kate Picket, ketidakadilan dan kesenjangan yang lebar bukan hanya buruk bagi yang miskin, tetapi juga berbahaya bagi yang kaya. Kesenjangan yang lebar bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan dan prasangka, memudarkan rasa saling percaya, yang pada ujungnya membawa risiko kemunduran kesehatan fisik dan mental, bahkan bisa merembet pada peluluhan capaian pembangunan secara keseluruhan.
Kedua, Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (seperti pangan dan obat-obatan) secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri.
Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif.
Dengan gambaran seperti itu, krisis pandemi bisa menjadi titik balik dalam mengupayakan pembangunan kualitas hidup dan peradaban sebagai pengamalan Pancasila. Bahwa keampuhan Pancasila sebagai ideologi menuntutnya menjadi “ideologi kerja” (working ideology) dalam praksis pembangunan.
Baca juga : Pancasila dan Paradigma Pembangunan
Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu harus menjadi kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional, yang dibudayakan dalam tiga ranah peradaban. Pertama, ranah nilai budaya (mental-spiritual-karakter) dalam kerangka tata nilai”. Kedua, ranah kelembagaan sosial-politik dalam kerangka ”tata kelola” (governancy). Ketiga, ranah material-teknologikal dalam kerangka ”tata sejahtera”.
Bersamaan dengan itu, pendekatan dalam mengupayakan pembudayaan Pancasila dalam ketiga ranah itu pun harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang tecermin dalam semangat gotong royong. Dengan kata lain, pendekatannya tidak boleh lagi dikembangkan secara vertikal dengan dimonopoli oleh negara, tetapi harus dikembangkan secara horisontal, dengan melibatkan peran komunitas dan pasar (dunia usaha).
Memperadapkan Pancasila
Pembudayaan tata nilai diarahkan untuk mengembangkan kepribadian nasional dan budaya kewargaan yang inklusif. Sebagai nilai inti moral publik, Pancasila bukanlah sebatas bahan hafalan, melainkan nilai hidup yang harus dialami dan dijalani penuh integritas, dengan menjaga konsistensi antara pikiran, perkataan, sikap dan perbuatan; antara keyakinan, pengetahuan, kebijakan, dan tindakan.
Oleh karena pembangunan nilai ini harus dibudayakan sejak dini (bahkan sejak buaian), di berbagai ruang (privat, komunitas, dan publik), dijaga sepanjang siang dan malam, dan secara berkelanjutan, maka ada keterbatasan negara sebagai agen pembudaya nilai. Oleh karena itu, agen sosial yang paling berkompetern untuk mengemban urusan tata nilai ini adalah komunitas. Nilai Pancasila yang semula digali dari nilai-nilai hidup yang tumbuh di berbagai komunitas Tanah Air, sudah sepantasnya dikembalikan ke komunitas sebagai perawat utamanya.
Baca juga : Pancasila dalam Perbuatan
Ada beberapa komunitas inti pembudayaan nilai Pancasila, yakni komunitas sekolah, komunitas agama, komunitas pemukiman, komunitas kerja, komunitas media, komunitas minat-bakat, komunitas orpol dan ormas, serta komunitas adat. Setiap komunitas tersebut memiliki titik tekan dan pendekatannya tersendiri dalam membudayakan nilai Pancasila. Namun, secara keseluruhan membentuk rantai nilai Pancasila secara holistik dan integral.
Dengan dikembalikan ke komunitas, lembaga-lembaga negara (kecuali lembaga-lembaga kependidikan negara), ketimbang sibuk mengurusi sosialisasi Pancasila kepada masyarakat sebagai pemborosan sumberdaya yang tidak efektif, lebih baik mengurusi pembudayaan nilai di lingkungan komunitas kerjanya sendiri, yakni bagi penyelenggara negara dan jaringan kader kepemimpinan politik. Alhasil, sebelum mempancasilakan masyarakat, penyelenggara negara harus terlebih dahulu mempancasilakan dirinya sendiri.
Adapun lembaga-lembaga negara dengan tugas pembinaan nilai Pancasila, dalam menjalankan tugasnya harus bekerja sama dengan komunitas sesuai dengan kelompok sasaran. Tugas paling penting yang bisa dikerjakan lembaga-lembaga negara tersebut adalah sejalan dengan fungsi negara untuk (menghormati, melindungi, memfasilitasi, dan memenuhi) peran-peran individu dan komunitas dengan membuat pedoman dasar, kerangka regulasi, kode perilaku, fasilitasi, pengukuran dan monitoring, agar pembudayaan nilai yang dilakukan berbagai komunitas tadi memiliki irisan persamaan, koherensi dan jaminan mutu, sehingga secara serempak bisa memenuhi sasaran dan tujuan yang dikehendaki.
Pembudayaan tata-kelola diarahkan untuk mengembangkan kehidupan politik yang inklusif. Ini dilakukan dengan mewujudkan negara hukum dalam sistematik “kekeluargaan” (gotong-royong), yang mengintegrasikan kekuatan nasional melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Agen utama dalam urusan tata kelola ini adalah para penyelenggara negara dan kepemimpinan politik. Adapun prioritas rezim politik-kebijakan tersebut adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang.
Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, namun harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara.
Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, namun harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola mental-kultural (tata nilai), tata kelola sumberdaya material (tata sejahtera), serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.
Pembangunan tata-sejahtera diarahkan untuk mengembangkan kemakmuran yang inklusif. Ini dilakukan dengan mengupayakan perekonomian merdeka, berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat kooperatif), disertai pengusaan negara atas “karunia kekayaan bersama” serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.
Pemangku utama dalam urusan tata sejahtera ini adalah dunia usaha dan rezim perekonomian, dengan prioritas utamanya mengembangkan perekonomian berbasis semangat tolong-menolong (kooperatif). Dengan semangat itu, politik anggaran harus lebih berorientasi pada kesejahteraan umum.
Kemampuan negara untuk menguasai dan mengelola kekayaaan bersama serta cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan. Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan.
Baca juga: Pancasila, Tidak Kurang Tidak Lebih
Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan inovasi-teknologi, dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakterististik (kondisi) keindonesiaan. Untuk itu, aktivitas riset dan inovasi sebaiknya tidak hanya mengandalkan push factor dari lembaga riset negara dan perguruan tinggi, melainkan juga harus menjadi bagian integral dari dunia usaha.
Pokok pikiran paradigma Pancasila ini, yang telah kami rangkum dalam buku Memperadabkan Pancasila, tidak lain tidak bukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperadabkan bangsa. Setelah lebih dari tujuh dekade Pancasila ditahbiskan sebagai dasar (filsafat) negara, pandangan dunia, norma dasar, ideologi negara, dan kepribadian bangsa Indonesia, masih terdapat jurang yang lebar antara idealitas Pancasila dengan realitas kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Pontjo Sutowo, pengusaha; Ketua Aliansi Kebangsaan; Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB); Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI)