Mengajak Berdo(s)a
Apakah Anda sering mengajak orang melakukan ketidakbenaran yang sesungguhnya Anda sudah tahu bahwa ajakan Anda itu menjerat orang lain?
Hari baru saja menunjukkan pukul 11.57 ketika saya tiba di sebuah warung makan di sebuah mal di bilangan Jakarta Pusat. Pukul 11.57 itu mungkin buat beberapa orang masih terlalu ”pagi” untuk makan siang. Namun, perut saya tak bisa diajak kompromi dan terus bernyanyi tanda ia perlu dibungkam.
Ahlinya
Setelah memesan lontong sayur, teh hangat, dan bubur kacang hijau, saya kembali tenggelam dalam telepon genggam sambil menanti datangnya pesanan itu. Sama seperti orang kebanyakan, tenggelam dalam aktivitas menggunakan telepon genggam sudah seperti orang sakau.
Tak lama setelah itu, kira-kira lima 15 setelah saya tenggelam, dua laki-laki datang dan memilih tempat duduk di dekat saya duduk. Karena dekatnya jarak itu, saya bisa mendengar seluruh komentar dan percakapan dua manusia yang, dari penampakan luar, terlihat sebagai profesional yang tampaknya sedang kelaparan dan sedang memindahkan ruang rapat di kantor ke meja rumah makan itu.
Hal yang membuat saya terinspirasi untuk menulis dengan judul di atas adalah mendengar seorang dari dua laki-laki itu yang mencoba merayu pelayan rumah makan untuk mengizinkan dia duduk di kursi bertanda silang, yang kita semua tahu itu berarti dilarang diduduki.
Si pelayan dengan sabar menjelaskan bahwa keinginannya tak bisa diwujudkan, tetapi pria ini bersikeras untuk mengajak pelayan ini melakukan pelanggaran hanya untuk kesenangan memenuhi tujuan dirinya sendiri.
Melihat kejadian itu, selain saya terinspirasi untuk mengisi kolom di hari Minggu ini, saya juga merasa tertampar melihat perilaku seorang yang dengan sah mengakui dirinya seorang profesional, tetapi melakukan perbuatan yang tak senonoh dengan mengajak orang lain membuat kesalahan. Mungkin ini yang namanya egois yang nyata.
Kemudian, seperti biasa, nurani saya bernyanyi. Ia selalu menunggu waktu yang tepat untuk menggampar. Begini nyanyian nurani yang menampar itu. ”Kamu, tuh, kenapa kaget gitu. Gak usah kaget dan merasa orang itu egois ngajakin orang lain berdosa. Kamu, tuh, berapa kali melakukan hal sama, cuma lokasi dan bobotnya aja yang beda. Tapi, sami mawon, masnyaaaa... kamu malah pernah memaksa seorang pelayan buat meletakkan kursi berdekatan karena kamu merasa menjaga jarak yang sudah nyata-nyata diperintahkan demikian tak masuk akal untuk bisa menikmati obrolan dan gibah. Jadi gak usah ngegas, bro. Kamu seperti tidak tahu saja. Bukannya menjerat orang berbuat dosa itu kamu ahlinya.”
Tentu tidaaak…
Saya itu kalau sudah mendengar suara nurani sendiri itu bernyanyi tanpa tedeng aling-aling, badannya suka lemes seperti kalau habis berhadapan dengan sebuah kejadian yang membuat tulang terasa lepas dari badan.
Oke, karena saya sudah lemas rasanya, giliran saya mau mengajak Anda untuk menjawab pertanyaan yang akan saya ajukan. Semoga Anda tidak lemas seperti saya. Apakah Anda sering mengajak orang melakukan ketidakbenaran di mana sesungguhnya Anda sudah tahu bahwa ajakan Anda itu menjerat orang lain?
Pertanyaan berikutnya. Mengapa Anda melakukan itu? Apakah Anda sering melakukannya? Apakah Anda mempunyai perasaan bersalah setelah ajakan itu terjadi? Saya, kok, yakin kalau sebelum peristiwa itu terjadi, perasaan bersalah itu tidak pernah ada. Mengingat bahwa kata bersalah itu eksis dalam perbendaharaan kata saja, Anda juga tak peduli. Maka, yang namanya menyesal itu, yaaa… setelah semua eksekusi dilakukan.
Kalau seandainya Anda balik bertanya kepada saya semua pertanyaan di atas, pertanyaan pertama yang ingin saya jawab adalah soal mengapa saya melakukan perbuatan menjerat itu. Sejujurnya, saya melakukan karena saya ingin tujuan saya tercapai, supaya saya tidak direpotkan dengan urusan dilarang ini dan dilarang itu. Saya mau cari gampangnya saja.
”Mas, saya boleh parkir di sini, ya. Sebentaaar… aja.” Dan saya parkir di dekat papan bertuliskan dilarang parkir. Dan ketika masnya tidak mengizinkan, saya mencoba untuk merayunya alias memaksanya agar ia merestui pelanggaran itu. Dan kalau ia mengaminkan, saya senangnya setengah mati. Saya tak akan berpikir apakah masnya juga turut senang sudah mengiyakan saya untuk melanggar aturan, atau ia kesal pada dirinya sendiri karena ia tidak tegas menindak seorang penjerat itu.
Sejauh saya mendapatkan apa yang saya ingini, maka saya tak peduli, bahkan tidak peka kalau saya sedang menjadi penjerat sesamanya ke dalam sebuah kesalahan. Apakah saya merasa bersalah? Saya yakin Anda akan bersuara bersama-sama seperti dalam paduan suara, tentu tidaaak....
Sebab, kalau saya merasa bersalah, semuanya akan baik-baik saja. Sejujurnya yang paling menyedihkan, ada satu hal lagi selain yang paling utama mengajak orang berbuat dosa atau pelanggaran.
Sedihnya, saya ini tidak malu menjadi fasilitator yang mengajar di beberapa perusahaan untuk membuka pikiran orang agar mereka menjadi manusia yang jauh lebih baik, yang jauh lebih memahami sebuah situasi, yang jauh lebih rendah hati, yang cara berpikirnya berkembang ke arah yang lebih baik.
Saya tidak malu hidup di dua dunia. Dunia seorang mulia dan dunia seorang penjerat. Saya mengajak orang untuk berdoa dan saya mengajak orang berdosa sambil berdoa. Dan saya selalu merasa dua dunia itu sangat wajar untuk dilakoni.