Akronim kekinian, yang banyak dipakai kaum muda, kini masuk ke dalam KBBI. ”Bucin” dan ”gabut”, misalnya. Inikah wujud dari kemendesakan dan kebutuhan yang harus diakomodasi KBBI?
Oleh
Yuliana
·3 menit baca
Sepertinya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—biasa disebut Badan Bahasa—yang menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia ingin mengakomodasi sejumlah kata kekinian yang ramai digunakan pemakai bahasa. KBBI terakhir melakukan pemutakhiran kosakata pada Oktober 2021. Pemutakhiran rutin dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu pada April dan Oktober.
Akronim kekinian yang ramai dipakai oleh kaum muda juga tak ketinggalan menjadi warga baru KBBI. Akronim-akronim itu menjadi alat kaum muda untuk bermedia sosial ataupun berbincang dalam keseharian.
Akronim kekinian yang ramai dipakai oleh kaum muda juga tak ketinggalan menjadi warga baru KBBI.
Saya melakukan uji kecil-kecilan terhadap orangtua saya dengan bertanya, apakah mereka tahu arti kata bucin, bumil, mager, pansos, maksi, baper, gabut, mantul, dan pulkam.
Hasilnya, mereka hanya tahu kata bumil, baper, dan pulkam. Padahal, bucin, gabut, mager, pansos, maksi, dan lain-lain yang saya sebutkan di atas dan merupakan bentuk akronim, sudah ada dalam KBBI.
Saya juga ujikan akronim itu kepada keponakan saya yang berusia remaja. Saya takjub karena ternyata ia tahu dan ”mengonsumsi” kata-kata seperti mantul, baper, mager, dan gabut, tetapi tidak tahu kata-kata itu berasal dari akronim.
Saya jelaskan beberapa akronim itu. Kata gabut berasal dari akronim gaji buta. Kata gabut dipakai dalam kalimat, misalnya, ”Duh, gabut banget nih gw. Jalan-jalan, yuk!”
Arti kata gabut dalam kalimat itu adalah tidak melakukan apa-apa sehingga menjadi bosan, sama dengan pengertian di KBBI. Gaji buta, agaknya, mengalami pergeseran makna dari arti sesungguhnya yang bahkan sudah ditulis di KBBI sebagai ”gaji yang diterima dengan tidak usah bekerja”.
Kemudian, kata baper adalah akronim dari bawa perasaan. Kata ini populer di mana-mana. Penggunaannya, misalnya, pada kalimat, ”Jangan mudah baper kalau bicara sama dia.”
Sementara pansos adalah akronim panjat sosial. Dalam KBBI artinya usaha yang dilakukan untuk mencitrakan diri sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi, dilakukan dengan cara mengunggah foto, tulisan, dan sebagainya di media sosial.
Khusus bumil, entah mengapa, sebagai perempuan saya agak terganggu jika disapa bumil ketika hamil dulu. Saya lebih senang jika disapa ibu hamil, frasa yang dikerdilkan menjadi bumil. Arti akronim lainnya bisa dicari di KBBI.
Kerap dipakai
Mengutip dari laman situs Badan Bahasa, untuk menjadi ”warga” KBBI, sebuah kata harus sesuai kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage). Persyaratan tersebut diwakili salah satunya oleh ”kerap dipakai”.
Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap dipakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas.
Bahasa memang selalu berkembang, tetapi apakah ”kebutuhan” menjadi pertimbangan Badan Bahasa untuk memasukkan sebuah entri baru di kamus?
Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, menjadikan akronim kuncitara sebagai kata baku untuk menggantikan kata lockdown. Kita butuh padanan kosakata bahasa Inggris itu karena sekarang ini sangat sering dipakai. Sama, misalnya, dengan kata luring, daring, dan nakes.
Apakah memasukkan akronim kekinian ke dalam kamus adalah hal mendesak dan menjadi sebuah kebutuhan? Jangan sampai ada jarak bahasa antara generasi bapak-ibu dan keponakan kita.