Meski Biden mencapai sebuah kesepakatan tidak formal tentang pencegahan perang, tidak berarti perdamaian terjadi otomatis dalam relasi kedua pihak. Perdebatan dan sudut pandang yang berseberangan akan terus terjadi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kenaikan pamor China tak akan diterima Amerika Serikat. Itu pemikiran kaum strukturalis yang melihat hubungan internasional dari sisi jebakan Thucidydes.
Kekuatan lama pasti akan gelisah dan mencoba menghambat kemunculan kekuatan baru. Di sisi lain, kekuatan baru notabene juga ingin eksis, termasuk dengan niat menjungkalkan kekuatan lama.
Pola hubungan serupa itu juga terjadi dalam relasi AS-China. Oleh sebab itu, sempat ada ketakutan terutama di era kepresidenan Donald Trump bahkan setelahnya. Muncul pertanyaan, apakah AS-China akan terjebak dalam perang fisik akibat berbagai konflik?
Ketakutannya adalah sebuah perang dengan kerusakan tingkat tinggi akan terjadi jika konflik AS-China berujung pada perang fisik. Oleh karena itu, saran yang mengena dan tepat telah disampaikan mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, sebaiknya perang fisik dihindarkan.
Di sisi lain, tak banyak alasan lagi bagi AS untuk terus mendikte dunia. Kekuatan geopolitik juga harus didukung kekuatan ekonomi, sementara AS sedang memudar secara ekonomi. Menghadapi Taliban di Afghanistan saja AS tidak berhasil, apalagi China dengan kekuatan militer yang tidak pernah ada sebelumnya.
Momen telah berakhir, demikian antara lain pesan Elizabeth C Economy dalam tulisan berjudul ”China’s New Revolution”, Foreign Affairs (Mei/Juni 2018).
”Jangan pergi ke sana (Asia untuk perang) dengan medan luas dan berat,” demikian kata sejarawan Yale University, Paul Kennedy, dalam peringatan implisit kepada AS tentang China dalam sebuah diskusi pada 10 November 2017.
Faktor ini tak mau didengar oleh Trump. Namun, untunglah meski tidak langsung luluh, Presiden Joe Biden melihat arah lain. Dalam perbincangan virtual selama 3,5 jam dengan Presiden China Xi Jinping, Senin (15/11/2021), Biden mengatakan ada kesepakatan bahwa persaingan kedua negara tidak akan berakhir dengan perang, sengaja ataupun tak sengaja.
Biden mengatakan ada kesepakatan bahwa persaingan kedua negara tidak akan berakhir dengan perang, sengaja ataupun tak sengaja.
Pilihan Biden soal negosiasi bukan hal baru. Pandangan serupa sudah terjadi sejak era Bill Clinton dan George W Bush hingga Barack Obama. Trump mencoba mengalihkan persoalan dengan memakai kacamata kuda sembari menuduh bahwa tidak ada Presiden AS seperti dia, yang berani menekan China. Tentu Trump hanya seorang yang bermulut besar.
Meski Biden mencapai sebuah kesepakatan tidak formal tentang pencegahan perang, tidak berarti perdamaian terjadi otomatis dalam relasi kedua pihak. Perdebatan dan sudut pandang yang berseberangan akan terus terjadi. Itulah takdir lain dari hubungan internasional. Hanya saja, Biden membawanya ke arah yang lebih tenang.
Tampaknya China mendapatkan apresiasi atau semacam pengakuan eksistensi juga oleh AS, berupa lepasnya eksekutif keuangan Huawei, Meng Wanzhou, dari tahanan Kanada atas suruhan AS. Ini simbol dari sikap Biden yang melembek pada China. Sebuah sikap yang pantas diacungi jempol.