Keuangan Negara di Tengah Kenaikan Harga Komoditas
Momentum peningkatan harga komoditas harus dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengakselerasi belanja negara sehingga pemulihan ekonomi turut terakselerasi.
Oleh
IRMAN FAIZ
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Sejak pertengahan 2020, pembukaan aktivitas ekonomi mulai dilakukan pada berbagai sektor. Hal ini diikuti oleh kenaikan permintaan untuk komoditas seperti minyak mentah, kelapa sawit, dan batubara.
Namun, penyesuaian utilisasi kapasitas produksi sektor komoditas tak secepat kenaikan permintaannya sehingga harga komoditas pun melonjak. Indeks harga komoditas Bloomberg menunjukkan harga sawit sudah meningkat hingga 60 persen per September silam dari level Desember 2019 dan batubara meningkat hampir 100 persen. Harga minyak bahkan tembus 86 dollar AS per barel pada Oktober 2021, tertinggi sejak 2018.
Sebagai negara yang aktivitas ekonominya banyak terkait dengan komoditas, fenomena ini tentunya turut berdampak pada kinerja keuangan negara, terutama penerimaan. Harga komoditas dapat dikatakan searah dengan penerimaan negara, artinya penerimaan negara meningkat jika harga komoditas naik. Hal ini tecermin pada komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) yang bersumber dari pemanfaatan SDA.
Capaian ini jauh lebih tinggi dari 2020 yang hanya 89 persen pada periode sama.
Berdasarkan sensitivitas asumsi dasar makroekonomi dalam RAPBN 2022, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barel berdampak pada kenaikan penerimaan negara sebesar Rp 3 triliun, di mana Rp 2,2 triliun berasal dari kenaikan PNBP.
Oleh karena itu, realisasi PNBP hingga September 2021 menunjukkan capaian fantastis. PNBP tercatat Rp 321 triliun, setara 108 persen target PNBP untuk keseluruhan 2021. Capaian ini jauh lebih tinggi dari 2020 yang hanya 89 persen pada periode sama.
Belanja negara dan dampak ekonomi
Di sisi lain, kenaikan harga komoditas juga memengaruhi komponen belanja negara pada komponen subsidi BBM dan elpiji. Berdasarkan sensitivitas asumsi makro RAPBN 2022, setiap kenaikan 1 dollar AS per barel harga minyak akan meningkatkan belanja negara sebesar Rp 2,6 triliun.
Artinya, dampak terhadap keuangan negara masih positif, dengan penerimaan lebih tinggi Rp 0,4 triliun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (23/9/2021). Siklus superkomoditas atau supercycle diperkirakan berakhir September 2022. Meski demikian, neraca perdagangan Indonesia diperkirakan terjaga baik karena ekspor produk-produk bernilai tambah tinggi dari hasil investasi akan meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2021 sebesar 134,132 miliar dollar AS, tumbuh 37,03 persen secara tahunan.
Tingkat serapan dan pola belanja
Dalam kondisi sekarang, justru yang perlu diperhatikan dari sisi belanja adalah kemampuan pemerintah menyerap anggaran terutama stimulus. Dengan anggaran yang lebih besar pada tahun ini, upaya untuk menyalurkan anggaran harus lebih keras.
Sejauh ini, indikasi bahwa kucuran belanja negara membantu menjaga daya beli masyarakat menengah bawah dan mempercepat pemulihan kesehatan tecermin pada berbagai indikator.
Dari data dana pihak ketiga (DPK), terlihat bahwa DPK dengan nominal kurang dari Rp 100 juta meningkat pada saat dana bantuan sosial dikucurkan. Hal ini diikuti pula dengan indeks pendapatan untuk segmen pengeluaran kurang dari Rp 3 juta per bulan, yang membaik lebih cepat pascakasus varian Delta Covid-19 merebak.
Selain itu, angka vaksinasi Covid-19 yang pembiayaannya berasal dari APBN juga terus terakselerasi sehingga kepercayaan konsumen mulai berangsur membaik dan mendorong mobilitas domestik pulih lebih cepat tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.
Rendahnya capaian belanja negara terutama pada komponen transfer ke daerah dan belanja kementerian/lembaga.
Namun, kucuran belanja negara perlu dipercepat agar lebih optimal dalam mendorong pemulihan. Data per September 2021 menunjukkan, realisasi belanja negara 66 persen dari target 2021, sedikit lebih rendah dari 67 persen per September 2020. Rendahnya capaian belanja negara terutama pada komponen transfer ke daerah dan belanja kementerian/lembaga (K/L).
Selain tingkat serapan, pola belanja juga perlu dibenahi. Data historis dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa belanja negara cenderung rendah pada awal tahun dan terakselerasi pada akhir tahun (backloading). Padahal, secara empiris, dampak dari belanja negara ke perekonomian memiliki waktu tunda (lagging impact), tergantung jenis belanja. Untuk belanja barang dan pegawai, memiliki waktu tunda 1-2 triwulan, sedangkan belanja modal dapat mencapai tiga triwulan.
Artinya, untuk mengoptimalkan dampak belanja negara ke perekonomian pada tahun tersebut perlu dilakukan akselerasi serapan belanja lebih awal (frontloading).
Untuk memperbaiki pola serapan anggaran, salah satu langkah yang mungkin dapat dilakukan adalah menambah komponen evaluasi tahunan untuk anggaran setiap K/L. Sejauh ini terdapat 12 komponen yang dimasukkan dalam penilaian kinerja anggaran, salah satunya persentase serapan. Namun, pola serapan belum dipertimbangkan dalam komponen itu sehingga dapat menjadi ruang perbaikan untuk mendorong dampak belanja negara terhadap perekonomian ke depan.
Momentum peningkatan harga komoditas ini harus dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengakselerasi belanja negara sehingga pemulihan ekonomi turut terakselerasi. Sampai September 2021, defisit anggaran hanya mencapai 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih rendah dari September 2020 yang 4,4 persen dan target tahun ini yang 5,7 persen.
Jika ini berlanjut hingga akhir tahun, sisa kas pemerintah akan kian besar untuk dibawa ke tahun depan sehingga dampak ke perekonomian berpotensi lebih kecil.
Irman FaizAnalis Makroekonomi Analyst Bank Danamon Indonesia