Pranata bagi Kebutuhan Publik
Karya-karya perseorangan yang membangun kepentingan untuk publik perlu segera dilembagakan atau dipranatakan secara sosial. Selain untuk mencegah para penunggang bebas, juga untuk fungsi kontrol.
Masih ingatkah kepada Ma Eroh? Perempuan dari daerah Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ini pada pertengahan tahun 1980-an, dengan peralatan sangat sederhana, mungkin cangkul, linggis, dan golok, membuat saluran air untuk mengairi areal persawahan. Panjang saluran air ini beberapa kilometer dan harus menembus bukit.
Perlu beberapa tahun untuk menyelesaikan saluran air itu. Awalnya, Ma Eroh berusaha sendiri, barulah saat saluran sudah menembus bukit dan mendekati areal persawahan yang akan diairi, ada beberapa orang, kaum laki-laki, yang ikut membantu Ma Eroh.
Berkat usaha Ma Eroh, areal persawahan yang berada di balik bukit dapat diairi relatif rutin, bukan lagi sekadar sawah tadah hujan. Dan sawah-sawah yang dapat diairi itu bukan hanya milik Ma Eroh, melainkan juga milik orang-orang di kampungnya yang tidak ikut bekerja membuat saluran air.
Setiap tahun melalui usulan komponen-komponen masyarakat serta identifikasi dan seleksi yang ketat oleh instansi pemerintah yang berkepentingan dengan lingkungan hidup, orang-orang yang bekerja seperti Ma Eroh mendapat ganjaran Kalpataru yang langsung diserahkan presiden. Ada yang dengan usaha sendiri berupaya bertahun-tahun menjaga kelestarian hutan dari perusakan; ada yang menghijaukan bukit-bukit yang gundul atau menghijaukan kembali hutan bakau; ada yang membuat saluran air untuk irigasi persawahan atau saluran air untuk keperluan rumah tangga yang panjangnya ratusan bahkan ribuan meter. Ada juga karya-karya perseorangan lainnya yang tanpa pamrih berupaya menjaga dan memelihara lingkungan hidup agar dapat menyediakan sumber-sumber penghidupan bagi warga komunitasnya.
Baca juga : Inspirasi dari Para Pejuang Lingkungan Hidup
Mungkin ingatan juga mesti dilayangkan pada kerja-kerja tanpa pamrih yang dilakukan oleh petugas-petugas kesehatan, khususnya para bidan. Ada beberapa bidan di pelosok desa, yang desa-desa itu terisolasi atau jauh dari akses ke pusat kesehatan masyarakat dan juga warganya banyak yang miskin.
Dengan tidak banyak mengharapkan imbalan material atau prestise, bidan-bidan itu bekerja memberi penyuluhan tentang bagaimana menjaga kehamilan agar tetap sehat dan menolong persalinan. Dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter, naik turun bukit dan menyeberangi sungai, para bidan itu mendatangi rumah-rumah ibu-ibu yang sedang hamil atau menolong yang akan melahirkan atau memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan pada pertemuan-pertemuan di kampung-kampung.
Keberlanjutan
Dalam kajian ilmu sosial, orang-orang yang mau bekerja keras, berkreasi, dan membuat pembaruan, yang hasil dari karya mereka itu bukan untuk diri sendiri, termasuk orang-orang yang langka. Meski orang-orang demikian itu jarang, akan selalu ada dan ditemukan di sepanjang sejarah.
Hanya selalu ada masalah yang akan muncul dari hasil karya perseorangan ini. Bagaimana apabila orang-orang yang memiliki etos kerja tinggi itu sudah tidak ada?
Apakah saluran air akan terpelihara dan air terdistribusi secara merata setelah Ma Eroh tidak ada lagi? Apakah setelah pejuang-pejuang lingkungan yang memelihara hutan atau melakukan penghijauan bukit itu tiada, lingkungan akan tetap lestari dan hijau? Bagaimana orang-orang hamil dan yang akan melahirkan di desa-desa terisolasi bisa terjaga kehamilannya dengan baik dan mendapat persalinan yang cepat apabila bidan-bidan yang mau bekerja tanpa pamrih sudah tidak ada atau diganti bidan lain?
Sering kali apabila orang-orang yang berkarya secara perseorangan itu sudah tidak ada lagi, kondisi lingkungan akan kembali ke semula.
Sering kali apabila orang-orang yang berkarya secara perseorangan itu sudah tidak ada lagi, kondisi lingkungan akan kembali ke semula. Hutan akan kembali rusak, bukit-bukit akan gundul, dan kayu-kayu hutan bakau akan ditebangi, distribusi air akan kembali tidak merata, dan kehamilan menjadi tidak terjaga dengan baik serta sulit untuk mendapat pertolongan persalinan yang cepat.
Diktum sosiologi menyebutkan bahwa warga komunitas akan memelihara lingkungan dan kesehatan apabila pejuang-pejuang lingkungan hidup masih hidup dan bidan masih tinggal di wilayah komunitas itu. Namun apabila mereka sudah tidak ada lagi, warga komunitas cenderung akan kembali berperilaku seperti semula atau berebut mengambil keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan dirinya dari karya pejuang-pejuang lingkungan dan kesehatan itu.
Nah, itulah orang-orang yang disebut free riders (penunggang-penunggang bebas), yakni orang-orang yang tidak ikut bekerja atau memberikan sumbangan apa pun atas terpeliharanya lingkungan hidup atau kesehatan, tetapi mendapat keuntungan dan malah dengan cara tertentu mereka berusaha mendapat keuntungan yang lebih besar lagi dari hasil karya orang lain.
Sering kali dalam konteks pembangunan lingkungan hidup dan kesehatan, ditemukan adanya free riders di suatu komunitas. Masalahnya, lingkungan hidup dan kesehatan itu termasuk barang publik (common property), bukan milik perseorangan (private proverty).
Baca juga : Vaksin sebagai Barang Publik
Apabila kebutuhan publik dibangun, ditambah jumlah atau volumenya, ditingkatkan kualitasnya, orang-orang yang ada dan dekat dengan barang-barang kebutuhan publik itu bisa mendapatkan hasil pembangunan itu tanpa harus ikut bekerja atau memberi sumbangan. Air adalah barang publik! Karena itu, ketika Ma Eroh membuat saluran air, areal-areal persawahan yang terlewati saluran itu akan mendapatkan pengairan, tanpa pemilik-pemilik sawah itu ikut bekerja atau memberi sumbangan tertentu.
Untuk itulah, ilmu-ilmu sosial mencoba mengajukan pendekatan dalam rangka mengurangi orang-orang yang disebut free riders ini. Bagaimanapun kegunaan barang-barang publik harus dilembagakan atau dipranatakan (institutionalized) secara sosial.
Pranata sosial adalah tata cara atau prosedur yang dibangun dan dikembangkan untuk mengatur keperluan-keperluan warga komunitas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Di dalam pranata itu terkandung aturan-aturan normatif berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta sanksi dan ganjaran yang konkret dan disepakati warga komunitas.
Umpamanya tentang keperluan air. Kapan dan berapa banyak seorang warga komunitas bisa mendapatkan air untuk mengairi sawah atau keperluan rumah tangga dan apa yang mesti disumbangkan untuk mendapatkan air itu, mesti ada aturan yang jelas yang dibuat dan disepakati oleh warga komunitas. Apabila tidak ada aturan yang konkret, sering kali distribusi air tidak merata atau warga komunitas akan berebut (berkonflik) untuk memperoleh air tersebut. Dengan adanya aturan yang jelas, setidaknya distribusi air akan merata, baik bagi orang-orang yang dekat maupun yang lebih jauh dari sumber air tersebut.
Foto cerita : Danau Ranau, Sumber Sekaligus Pranata Sosial
Melalui pelembagaan penggunaan barang-barang publik sedikit banyak orang atau kelompok free riders ini akan terkurangi. Dalam pelembagaan itu pasti ada transaksi, untuk mendapatkan sesuatu orang mesti memberikan sumbangan, apakah berupa materi atau tenaga. Meski barang itu milik umum, kalau tidak ada aturan-aturan transaksionalnya, alokasi dan distribusi barang tidak akan merata. Pelembagaan barang publik ini mesti betul-betul hasil dari kesepakatan warga komunitas, karena mereka sendiri yang langsung berada, membutuhkan, dan berkepentingan dengan barang publik itu.
Keharusan
Pelembagaan penggunaan barang publik adalah suatu keharusan, sesuatu yang imperatif. Karena, apabila para pejuang perseorangan sudah tidak ada, cenderung barang publik itu akan rusak kembali atau distribusinya tidak merata. Dengan demikian, apabila ada karya-karya perseorangan yang membangun kepentingan untuk publik, mesti dengan segera dilembagakan atau dipranatakan, dengan tujuan agar para free rider dapat terkurangi scepatnya juga. Selain itu, pelembagaan ini berfungsi sebagai kontrol langsung dari komunitas atas perilaku warga komunitas dalam memenuhi kebutuhan akan barang publik itu.
Nah, sering kali dalam masyarakat kita karya-karya perseorangan ini tidak segera terlembagakan. Karena itu, ketika para pejuang itu sudah tidak ada lagi, kondisi lingkungan dan kesehatan tidak berkembang dengan baik, malah cenderung kemudian mengalami kemunduran, malah lebih rusak lagi dari sebelumnya.
Budi Rajab, Dosen Jurusan Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran