Indonesia belum sepenuhnya berdaulat atas wilayah udara karena wilayah informasi penerbangan Indonesia masih dikendalikan Singapura. Penegakan regulasi dalam pengelolaan wilayah informasi penerbangan harus diutamakan.
Oleh
ESRA KRIAHANTA SEMBIRING
·5 menit baca
Mengapa masih marak terjadi pelanggaran di wilayah udara nasional kita? Benarkah karena permasalahan flight information region yang masih dikelola oleh singapura atau akibat dari masalah esensi yang lain?
Dalam dunia penerbangan, wilayah informasi penerbangan (flight information region/FIR) adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan (ALRS). Layanan informasi dan peringatan merupakan layanan lalu lintas udara paling dasar, menyediakan informasi yang penting untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan dan memperingatkan otoritas terdekat seandainya ada pesawat yang mengalami kondisi darurat.
Tanda tanya besar yang masih mengganjal hingga kini, benarkah FIR kita masih dikelola Singapura karena alasan tuntutan dunia internasional yang mengatasnamakan keselamatan penerbangan, atau hanya seputar matematika bisnis penerbangan? Karena faktanya bahwa ruang udara nasional merupakan hal yang penting total harus dikuasai negara karena tingkat kerawanan yang tinggi dan dapat mengancam pertahanan serta keamanan NKRI. Namun, mengapa ada FIR kita yang dikelola negara lain?
Pertanyaan yang sedikit banyak pasti mengusik harga diri anak bangsa apabila ada otoritas bisnis penerbangan atau negara luar yang beralasan dan menilai sumber daya manusia Indonesia belum mampu mengelola FIR secara profesional. Atau benarkah sinyalemen yang menyebutkan adanya perbedaan kepentingan elite dalam negeri kita yang menjadi penghambat pengambilalihan pengelolaan FIR dari Singapura.
Apabila masalahnya pada kesiapan SDM dan sarana yang tersedia saat ini, jawabannya cukup sederhana sekali. Semua kebutuhan sarana prasarana yang dipersyaratkan dunia penerbangan internasional pasti bisa dipenuhi dan dilengkapi sebaik-baiknya dengan melibatkan semua pemangku kepentingan bangsa yang ada saat ini.
Artinya, tidak ada kendala teknis yang luar biasa. Tapi mengapa belum terlaksana? Apakah memang masih ada pihak yang menyepelekan kondisi ini atau tidak update info tentang betapa seringnya pelanggaran wilayah udara nasional Indonesia masih terjadi sampai detik ini.
Berdasarkan data yang disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo merujuk laporan Kohanudnas ternyata sudah lebih dari 1.500 kali pelanggaran wilayah udara pada tahun 2020 dan masih terjadi pada 2021 dengan jumlah pelanggaran yang nyaris sama. Apakah pelanggaran kedaulatan negara yang terjadi ribuan kali tiap tahun seperti ini masih dinilai sebagai masalah yang biasa atau sudah menyinggung masalah kedaulatan negara?
Sebagai pembanding reaksi negara lain jika terjadi pelanggaran wilayah udara oleh negara lain dapat dilihat pada kasus pelanggaran wilayah udara negara Jepang yang dilakukan China. Walaupun frekuensinya relatif sedikit (belasan kali), sudah berakibat menimbulkan protes ketersinggungan yang luar biasa bagi pemerintah dan rakyat Jepang. Ketersinggungan yang seharusnya sama dilakukan oleh tiap negara berdaulat. Ibaratnya ada tamu tak diundang bisa bebas keluar masuk berkeliaran di dalam rumahnya.
Mengapa reaksi kita berbeda?
Bukan rahasia lagi bahwa memang kondisi kekuatan militer kita saat ini memaksa kita harus menahan diri dulu dan tentu tidak bijak apabila memilih nekat bertindak keras karena berbagai pertimbangan diplomatis, politis, dan ekonomis. Realitas kekuatan angkatan udara kita saat ini memang masih perlu dilengkapi jumlah dan modernisasi alutsistanya. Belum terpenuhi MEF-nya.
Di sinilah masalahnya. Untuk menjaga tegak wibawa harga diri kedaulatan bangsa di darat, laut, dan udara kita perlu segera melengkapi kebutuhan alutsista, walaupun tidak bisa dimungkiri saat ini pemerintah juga masih berjibaku mengatasi pandemi yang juga pasti memerlukan kebutuhan dana yang sangat besar juga.
Bagi insan TNI AU, situasi dan kondisi seperti ini dipahami secara lengkap dan di berbagai kesempatan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dengan tegas menyampaikan harapannya untuk menjadikan angkatan udara yang disegani di kawasan. Pada situasi seperti ini perlu strategi win-win solution yang tepat.
Salah satu strateginya adalah dengan mengedepankan soft power dalam bentuk diplomasi pertahanan menjadi solusi yang lebih diutamakan guna menyelesaikan permasalahan terkait ruang udara dengan pihak lain. Selain itu, mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki, mendayagunakan sumber yang tersedia agar dapat memastikan kedaulatan Indonesia atas ruang udara dapat dikelola secara utuh.
Lalu bagaimana keterkaitannya dengan FIR? Konvensi Chicago tahun 1944 menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah penuh dan eksklusif. Penguasaan pengelolaan FIR jelas terkait erat dengan isu kedaulatan sebuah negara. Sangat erat keterkaitannya.
Pengelolaan FIR tidak boleh dipandang hanya sebagai urusan keselamatan penerbangan Internasional, tetapi lebih harus dipandang sebagai esensi kedaulatan sebuah negara. Terlebih utama lagi karena FIR Indonesia yang masih dikelola oleh Singapura tersebut adalah wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara, yang terbukti selalu menjadi celah sengketa antarnegara.
Dalam ilmu strategi perang modern sudah pasti sangat berbahaya jika wilayah kedaulatan udara suatu negara dikelola oleh negara lain. Keunggulan di udara adalah syarat mutlak keberhasilan perang modern. Bagaimana kita bisa unggul di udara apabila pada kenyataannya pesawat-pesawat TNI AU harus meminta izin terlebih dahulu untuk dapat berlatih di daerah wilayah kedaulatan negaranya sendiri. Seperti kondisi yang masih terjadi sampai saat ini.
Dua akar masalah yang dijelaskan di atas perlu segera dicarikan solusinya. Kedaulatan negara di ruang udara bersifat penuh dan utuh (complete and exclusive) di atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan hukum internasional juga, yaitu Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 serta Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dengan demikian, penegakan regulasi dalam pengelolaan FIR dan pemenuhan jumlah serta modernisasi alutsista harus segera diprioritaskan terwujud agar TNI AU dapat optimal menjalankan tugas utamanya menjaga dan menegakkan kedaulatan negara di udara.
Esra Kriahanta Sembiring
Mahasiswa Program Doktoral Universitas Pertahanan; Analis Kebijakan Pertahanan