Relasi Perkawinan di Masa Pandemi
Masa pandemi Covid-19 selama hampir dua tahun ini menempatkan relasi perkawinan berada di bawah tekanan nyata. Pasangan suami istri bisa mengurangi dampak tekanan itu dengan menjaga hubungan mereka tetap kuat.
Selama masa pandemi, berbagai area kehidupan mengalami perubahan drastis. Tak terelakkan adanya efek domino yang semula berawal dari masalah kesehatan kemudian merambat ke sejumlah permasalahan sosial dan ekonomi, termasuk pada kehidupan perkawinan. Mari kita renungkan bersama.
Kita mungkin mengalami bahwa masa pandemi hampir dua tahun ini menempatkan relasi perkawinan berada di bawah tekanan nyata.
Pasangan suami istri berjuang mengatasi kesulitan keuangan, kurangnya privasi, mendampingi anak kecilnya bersekolah di rumah, menghadapi anak remajanya yang demotivasi terkurung di kamar, stres karena masalah medis, ataupun kekhawatiran lainnya.
Kehidupan perkawinan khususnya telah diuji ketika pasangan di mana pun mencoba untuk menavigasi pengasuhan, bekerja, serta menjalankan rumah tangga sambil belajar bagaimana mengelola stres dan situasi yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Baca juga: Mempertahankan Relasi dengan Pasangan
Jadi, masa pandemi ini telah menciptakan konflik baru bagi pasangan yang sudah menikah dan juga memperburuk masalah yang telah ada sebelumnya.
Stresor bagi perkawinan
Komponen kunci dari relasi romantis yang erat dan berfungsi dengan baik adalah individu melihat pasangannya sebagai orang yang menerima, peduli dengan kesejahteraan, pengertian, dan dukungan mereka. Artinya, mereka melihat pasangan responsif terhadap kebutuhan mereka.
Adanya stresor atau penyebab stres eksternal, seperti pengangguran, kesulitan ekonomi, dan sakitnya anggota keluarga, menciptakan situasi yang lebih sulit bagi pasangan untuk responsif terhadap kebutuhan satu sama lain. Ketika dihadapkan dengan stres eksternal, individu lebih cenderung berkomunikasi dengan cara terlalu kritis atau argumentatif.
Mereka juga cenderung menyalahkan pasangan dan lebih sulit mendengarkan kekhawatiran pasangan atau mengambil perspektif pasangannya. Seiring waktu, mereka bisa jadi kurang puas dengan pasangan dan relasi mereka. (https://www.psychologicalscience.org/news/backgrounders/backgrounder-marriage-and-relationships.html, diunduh 4 November 2021). Hal ini merupakan kondisi apabila ada stresor eksternal secara umum.
Adanya stresor atau penyebab stres eksternal, seperti pengangguran, kesulitan ekonomi, dan sakitnya anggota keluarga, menciptakan situasi yang lebih sulit bagi pasangan.
Jeremy Brown (2021), penulis dan editor yang berkontribusi pada publikasi mengenai berbagai topik, termasuk pernikahan, mengumpulkan tujuh area masalah yang dapat menghancurkan pernikahan selama pandemi sebagai stresor lebih khusus.
Tujuh masalah itu meliputi: pertama, waktu tidak terjadwal. Situasi tak pasti bagi pasangan berkegiatan di rumah secara bersama dapat membangkitkan soal yang sebelumnya tak disadari.
Masalah kedua adalah kurangnya kemandirian. Terus bersama-sama dengan pasangan dapat membuat hubungan terasa basi, tak ada hal baru yang ditemukan. Individu perlu waktu bagi dirinya sendiri untuk bereksplorasi dan berkembang.
Ketiga, ketidakmampuan menghadapi stres bersama. Masalah yang berkaitan dengan penyakit serius, kematian/kehilangan, kehilangan pekerjaan, dan kesulitan ekonomi telah menyebabkan beberapa pasangan tidak kompak menghadapinya dalam suatu kerja tim.
Baca juga: Tingkatkan Relasi Diri
Keempat, beradaptasi dengan peran dan rutinitas baru terbukti terlalu sulit. Mendampingi anak-anak di rumah sepanjang waktu karena tidak dapat ke sekolah telah mengubah tanggung jawab pekerjaan di rumah bagi banyak pasangan serta meregangkan dan mengganggu relasi mereka.
Kelima, ketidakmampuan menangani tekanan dari keluarga besar. Tidak dapat mengunjungi orangtua, menengok keluarga yang sakit atau meninggal, dan menghadiri pesta, telah menciptakan pertengkaran dan kebencian pada pasangan.
Keenam, tekanan finansial. Masalah uang menjadi salah satu sumber utama konflik dalam relasi. Acapkali percakapan tentang uang juga terkait dengan kekuasaan, kendali, martabat dan rasa hormat sehingga dapat berlanjut menjadi serangan bagi pasangan yang akhirnya meretakkan relasi.
Ketujuh, berbagi ruang kerja ataupun istirahat terbukti menyebabkan frustrasi bagi pasangan.
Menjaga relasi
Meski pandemi jelas membuat pasangan perkawinan mengalami stres, tetap ada cara untuk mencegah masalah, kata Katherine Friedman (2020), konselor profesional berlisensi yang berbasis di Portland, Oregon, Amerika Serikat (AS).
Menurut dia, pasangan perlu melakukan percakapan secara halus dan lembut tentang bagaimana perasaan mereka terhadap pasangan.
Setiap pasangan perlu berhati-hati dengan emosinya, tetapi tidak memendamnya sendiri. Pasangan harus menurunkan harapan mereka satu sama lain karena mungkin tidak dapat memberikan dukungan satu sama lain dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan sebelum pandemi. Tetaplah mengingat bahwa hampir semua orang mengalami stres dan khawatir saat ini.
Dalam https://www.herdbq.com/health-wellness/love-in-the-time-of-a-pandemic-how-to-keep-it-together/ (diunduh tanggal 6 November 2021) dikatakan bahwa waktu akan memberi tahu apakah pandemi merupakan faktor dalam peningkatan tingkat perceraian. Gail Gabbert, terapis pernikahan dan keluarga di Galena, Illinois, AS, mengatakan, riset tentang hal ini bisa saling bertentangan. Ada sedikit ketidaksepakatan mengenai apakah jenis stres ini akan meningkatkan perceraian.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa biasanya perceraian meningkat setelah bencana. Riset lainnya mengatakan mungkin tidak. Itu tergantung pada kekuatan hubungan sebelum bencana, apakah pasangan akan berpisah atau tetap bersama selama masa-masa sulit.
Kuhse-Portzline, terapis pernikahan dan keluarga yang berbasis di Manchester, Iowa, AS, setuju bahwa stresor pandemi dapat memengaruhi bahkan hubungan terbaik. Pandemi ini telah mengaburkan kita semua. Tiba-tiba, hal-hal kecil menjadi hal-hal besar. Suami meletakkan piring dengan cara tertentu atau melipat handuk dengan cara yang tidak disukai istri sudah bisa menjadi titik kritis.
Namun, ada banyak hal yang dapat dilakukan pasangan agar tidak melampaui batas dalam hubungan mereka. Di antaranya, bersikap terbuka terhadap apa yang bisa diperoleh dari pengalaman tertentu, juga keluar dari pola pikir yang penuh tekanan dan melihat sisi positifnya.
Beberapa hal positif tersebut termasuk lebih mengupayakan berkencan malam di rumah, kelegaan karena tidak harus mengikuti kalender sosial atau lebih banyak waktu untuk berhubungan suami-istri. Meski seks sangat baik untuk menghilangkan stres, setiap orang sedikit berbeda dalam cara mereka akrab satu sama lain. Artinya, tidak harus seks, ada hormon yang dilepaskan di otak melalui sentuhan fisik, entah itu seksual atau tidak.
Gabbert mengatakan bahwa mengetahui kapan dan bagaimana membicarakan masalah adalah aspek penting lain untuk memperkuat relasi selama masa sulit. Ada banyak hal yang biasanya cepat diperdebatkan oleh pasangan, mulai dari uang, mengelola anak-anak, pengangguran, sampai bila salah satu atau keduanya berduka karena kehilangan orang yang dicintai. Semua ini perlu diwaspadai agar tidak memperuncing situasi.
Kuhse-Portzline setuju bahwa komunikasi adalah kuncinya. Melakukan hal-hal yang memungkinkan komunikasi sekaligus menghilangkan stres. Kita dipulihkan dalam banyak cara melalui koneksi dengan manusia lain.
Berpegangan tangan merupakan cara yang luar biasa untuk terkoneksi. Efek jangka panjang dari pandemi dan apa yang akan menjadi era ”normal baru” kita belum terungkap, tetapi pasangan perkawinan dapat mengurangi dampak dari perubahan itu dengan menjaga hubungan mereka tetap kuat. Ketika orang-orang melewati masa-masa sulit, sering kali justru membuat mereka lebih dekat.